Dostum yang Licin

PIMPINAN Aliansi Utara Abdurrashid Dostum tiba-tiba menjadi pahlawan baru bagi rakyat Afghanistan. Padahal dulu laki-laki Uzbek ini kaki tangan rejim komunis Uni Soviet. Seorang veteran Tentara Merah menceritakan sepak terjang Dostum yang oportunis ini kepada saya.

Continue reading “Dostum yang Licin”

Perang yang Tidak Sederhana

PERANG di Afghanistan sangat tidak sederhana. Konflik ini tidak dimulai ketika Amerika menjatuhkan ribuan bom dari pesawat B-52 dan melepaskan ribuan rudal dari USS Theodore Roosevelt di Laut Arab yang menghancurkan kota-kota penting Afghanistan, Kabul, Kandahar, Jalalabad, Mazar I Sharif dan Herat. Continue reading “Perang yang Tidak Sederhana”

Linglung di Tengah “Kemerdekaan”

KABUL bagai kota tidak bertuan. Tidak jelas siapa yang berkuasa dan memerintah di ibu kota Afghanistan itu. Tidak jelas hukum apa yang dipegang masyarakat. Sekilas mirip hukum rimba. Siapa yang kuat, menang. Sementara yang lemah harus menyingkir atau mati berkalang tanah. Continue reading “Linglung di Tengah “Kemerdekaan””

Bom yang Ditumpahkan dari Langit

STAF PBB di Termez mulai buka mulut menentang Amerika Serikat. Diakui staf PBB serangan udara Amerika hanya membunuh penduduk sipil yang tak berdosa dan menghancurkan fasilitas umum. Continue reading “Bom yang Ditumpahkan dari Langit”

Pos Militer 9221

uz21

TERMEZ terlihat tenang.

Untuk mengamati kehidupan di sekitar garis perbatasan sebetulnya tidak perlu jauh-jauh hingga ke gurun dekat perbatasan Uzbekistan dan Tajikistan atau ke makam Bapak Termez. Beberapa pemukiman di pusat kota Termez berada persis di garis perbatasan.

Sabtu (3/11), pagi hari, saya mengelilingi beberapa pemukiman tersebut. Yang pertama saya kunjungi adalah Desa Pattakesar dan Desa Lilingrad. Empat orang laki-laki, penduduk sipil, tengah duduk di atas rel kereta api. Seorang diantara mereka berdiri menyandarkan tubuhnya pada sepeda. Sesekali mereka tertawa. Continue reading “Pos Militer 9221”

Kami Bekerjasama dengan Thaliban

JUMAT malam (02/11) pukul 21.00 waktu Termez sebuah pesawat Uzbekistan Airways yang membawa 40 ton bahan makanan berprotein tinggi milik Unicef mendarat di bandara Termez. Bahan makanan yang diproduksi oleh sebuah pabrik di Kopanhagen Denmark itu akan dikirimkan ke Mazar I Sharif. Dari bandara Termez, dengan menggunakan sebuah kontainer bahan makanan itu dikirim ke gudang PBB sebelum ditimbun di pelabuhan Amu Darya. Belum diketahui kapan bantuan kemanusiaan itu dikirim ke Mazar I Sharif.

Berikut wawancara Rakyat Merdeka dengan Kepala Unicef di Tashkent, Rudy Rodriguez.

Continue reading “Kami Bekerjasama dengan Thaliban”

Di Tepi Amu Darya

uzbekistan

TERMEZ terletak di sisi utara Sungai Amu Darya yang memisahkan ibukota Provinsi Surkhandariyah itu dengan Hairatan, Afghanistan, di sisi selatan.

Sampai sekarang, arti nama Termez masih kerap diperdebatkan. Ada yang berpendapat nama Termez berasal dari kata dalam bahasa Iran kuno yang berarti tempat persinggahan. Pendapat ini didorong oleh kenyataan bahwa Termez dan Amu Darya yang mengalir di sisinya merupakan titik penting di kawasan itu sepanjang sejarah peradaban manusia. Continue reading “Di Tepi Amu Darya”

Bahaya Baru dari Vozrozhdeniya

TIDAK banyak orang yang tahu bahwa Uzbekistan mewarisi cadangan anthrax milik Uni Soviet dalam jumlah besar. Kuman anthrax itu disimpan di dalam ratusan drum baja yang ditanam di Pulau Vozrozhdeniya, di tengah Laut Aral, di sebelah utara Uzbekistan.

Warisan anthrax di Uzbekistan baru diketahui umum setelah Kantor Berita Rusia ITAR-TASS memberitakan rencana pemerintah Amerika Serikat mengucurkan dana sebesar 6 juta dolar AS kepada pemerintah Uzbekistan. Disebutkan, uang sebanyak itu akan dipakai untuk menetralisir timbunan drum berisi anthrax tersebut. Continue reading “Bahaya Baru dari Vozrozhdeniya”

Afghanistan, Negeri yang Jadi Rebutan

central-asia-map

PERANG yang tengah berkecamuk di negeri tetangga, Afghanistan, sejauh pengamatan saya tidak membuat masyarakat Uzbekistan gelisah.

Setidaknya belum.

Awalnya, sikap ini mengherankan saya.

Bagaimana mungkin masyarakat Uzbekistan tidak peduli? Apakah mereka mengabaikan kenyataan bahwa negara mereka berbatasan langsung dengan Afghanistan. Continue reading “Afghanistan, Negeri yang Jadi Rebutan”

Jika Presiden Tolak Hadir di SI MPR, Hari Kamis Sudah Ada Presiden Baru

Kompas – Apabila Presiden Abdurrahman Wahid merealisasikan niatnya untuk tidak hadir dalam Sidang Istimewa (SI) MPR hari ketiga Senin besok, hampir dapat dipastikan pada hari Kamis (26/7), Indonesia  memiliki Presiden baru, saat MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Hari berikutnya, Jumat, sudah terpilih Wakil Presiden baru yang akan mendampingi Megawati. Bahkan, penetapan Presiden dan pengangkatan Wakil Presiden bisa lebih cepat dilakukan apabila kerja Panitia Ad Hoc (PAH) Majelis dipersingkat.

Demikian dijelaskan Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) Khusus Badan Pekerja (BP) MPR Rully Chaerul Azwar, Sabtu kemarin, tentang jadwal acara SI MPR yang kemungkinan akan berubah pada Senin besok apabila Presiden Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam SI MPR.

Sabtu kemarin, Presiden di Istana Negara menegaskan tidak akan hadir pada Rapat Paripurna MPR dengan agenda penyampaian pertanggungjawaban. Presiden menganggap rapat paripurna itu tidak sah karena melanggar Peraturan Tata Tertib MPR.

Rully menjelaskan, apabila Presiden Abdurrahman Wahid tidak hadir Senin besok, fraksi-fraksi menyampaikan pemandangan umum atas ketidakhadirannya. Pemandangan umum dilanjutkan hari Selasa (24/7) dan pembentukan PAH MPR untuk membahas Rantap MPR. Hari Rabu pembahasan pertanggungjawaban Presiden dan Rantap MPR. Pada Kamis, merupakan laporan PAH MPR kepada paripurna untuk meminta pendapat akhir fraksi MPR. “Pada Kamis malam, pengambilan keputusan penetapan Wakil Presiden (Megawati) sebagai Presiden baru,” katanya.

Sabtu kemarin, MPR menggelar SI MPR yang pelaksanaannya dipercepat dari tanggal 1 Agustus 2001. Sembilan fraksi MPR yang hadir, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Reformasi, Partai Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, TNI/Polri, dan Utusan Golongan, menyatakan bahwa rapat paripurna MPR adalah SI MPR.

Alasan percepatan, Presiden Abdurrahman Wahid dianggap melanggar Ketetapan MPR No VII/ MPR/2000 karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri. Dua fraksi tidak hadir, yakni Fraksi PKB dan PDKB. Fraksi PKB yang dikenal sebagai pendukung Presiden Abdurrahman Wahid menolak percepatan SI MPR, sedangkan Fraksi PDKB menganggap pengangkatan Chaeruddin tidak bertentangan dengan Tap No VII/MPR/2000.

Rapat paripurna yang dimulai pukul 09.30 dipimpin Ketua MPR Amien Rais, didampingi lengkap para wakilnya, yakni Sutjipto, Ginandjar Kartasasmita, Husnie Thamrin, Jusuf Amir Feisal, Hari Sabarno, Nazri Adlani, dan Matori Abdul Djalil.

Setelah Amien membuka sidang, seluruh fraksi diberi kesempatan menyampaikan pemandangan umum mengenai pelaksanaan SI MPR. Fraksi PDI Perjuangan yang mendapat giliran pertama, seolah menjadi penentu. Fraksi TNI/Polri yang memiliki 38 kursi di MPR juga membuat “kejutan” dengan menyatakan setuju bahwa rapat paripurna ini merupakan SI MPR.

Amien mengatakan, latar belakang dilaksanakannya rapat paripurna karena adanya perkembangan situasi dan kondisi yang semakin memburuk, selain terjadinya krisis konstitusional dan adanya pemimpin yang lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan. Untuk itu MPR memandang perlu mengundang anggota Majelis untuk rapat paripurna dalam rangka SI MPR.

“Ini langkah demokratis dan konstitusional, sebab MPR adalah lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan rakyat. Rapat paripurna dilaksanakan akibat tindakan Presiden yang mengancam keselamatan bangsa dan negara,” kata Amien.

Interupsi Forum UD

Sekjen MPR Umar Basalim membacakan tiga surat yang masuk, yakni dari PKB dan PDKB yang menyatakan tidak hadir, dan surat dari Forum Utusan Daerah (UD) yang meminta SI MPR mengagendakan pembahasan terhadap kemungkinan dibentuknya Forum UD menjadi Fraksi UD di MPR. Surat PKB menyatakan, partai ini tidak membenarkan dan tidak menyetujui percepatan SI serta tidak ikut serta dan tidak ikut bertanggung jawab atas seluruh ketetapannya. Dengan alasan berbeda, PDKB juga menyatakan tidak hadir. Tetapi salah seorang anggotanya, Astrid Susanto, hadir di Gedung Nusantara sebagai peninjau.

Tentang usulan Forum UD, Amien sempat menawarkan apakah usulan ini diselesaikan sekarang atau pada Sidang Tahunan 2001. Oesman Sapta, anggota UD dari Kalbar menginterupsi dengan mengatakan, sudah sepantasnya menghargai orang-orang daerah.

“Tidak ada salahnya kita meluluskan keinginan aspirasi seluruh daerah,” katanya. Bachtiar Ibrahim, anggota MPR UD Sumut menginterupsi dan mengatakan Fraksi UD harus dilahirkan secepatnya.

Sembilan fraksi MPR dalam pemandangan umumnya soal usulan Forum UD sepakat bahwa Fraksi UD akan dibentuk pada Sidang Tahunan MPR 2001, sebab SI MPR saat ini hanya mengagendakan pertanggungjawaban Presiden.

Soal rapat paripurna yang menetapkan SI MPR juga disetujui sembilan fraksi, termasuk Fraksi TNI/ Polri. Dari 601 anggota MPR-seluruh anggota MPR berjumlah 686-yang hadir, 592 orang menyatakan setuju rapat paripurna adalah SI MPR. Lima orang menyatakan menolak dan empat orang abstain. Mereka yang menolak dan abstain berasal dari Forum UD.

Fraksi PDI Perjuangan lewat juru bicara Sutjipno menyatakan tidak ragu lagi menyelenggarakan SI MPR yang membahas, mengkaji, dan mengambil keputusan yang berkenaan dengan rangkaian perbuatan dan sikap Presiden selama ini, yang berpuncak pada pengangkatan Chaeruddin selaku pemangku sementara Kepala Polri.

PDI Perjuangan meminta Presiden menyampaikan pertanggungjawaban 2×24 jam atau dua hari setelah pembukaan SI MPR. Fraksi Partai Golkar dengan juru bicara Rambe Kamarulzaman mengatakan, pengangkatan Chaeruddin pada hakikatnya sama dengan pemberhentian Kepala Polri S Bimantoro.

Fraksi PPP dengan juru bicara Lukman Hakiem Saifuddin menilai, pernyataan Presiden sering meresahkan masyarakat seperti ancaman mengeluarkan dekrit atau ancaman akan pisahnya sejumlah daerah. Menurut PPP, itu tidak pantas diucapkan Presiden.

Fraksi Reformasi dengan juru bicara Syamsul Balda menilai, kesalahan yang diulang membuktikan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid secara sadar memosisikan dirinya sebagai kekuatan diktatorial yang otoriter dan melecehkan konstitusi.

Fraksi PDU dengan juru bicara Asnawi Latief berpendapat, situasi semakin memburuk yang membahayakan keselamatan bangsa dan negara, khususnya di lingkungan alat negara, dengan diangkatnya Chaeruddin.

Fraksi TNI/Polri dengan juru bicara Yahya Sacawiria berpendapat yang sama dengan fraksi-fraksi lainnya soal pengangkatan Chaeruddin. “Pengangkatan pejabat sementara Kepala Polri di satu sisi dapat menyelesaikan dualisme kepemimpinan Polri, tetapi pada sisi lain diliputi nuansa kepentingan politis yang berimplikasi luas dalam kehidupan berbangsa dan negara,” katanya.

Fraksi Utusan Golongan lewat juru bicara Ahmad Zaky Siradj menilai, selama dua bulan terakhir sejak ditetapkannya SI MPR, Presiden telah melakukan kebijakan, ucapan dan tindakan yang dapat memperburuk keadaan.

Darmansyah Hussein dari Fraksi PBB menegaskan, UUD 1945 beserta penjelasannya dan Tap MPR tidak secara tegas mengatur kapan SI MPR digelar setelah ada permintaan dari DPR. Konstitusi pun, katanya, tidak mengatur siapa yang akan mengundang SI MPR, tetapi hanya menyebutkan SI bisa digelar untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Juru bicara Fraksi KKI Ismawan DS berharap, waktu dua bulan yang digunakan BP MPR untuk mempersiapkan materi SI MPR dipergunakan oleh Presiden untuk melakukan perbaikan penyelenggaraan pemerintahan. “Bukan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi, melainkan justru situasi yang membingungkan,” katanya.  (pep/tra/sah/ryi)

Akankah Amien Rais Main Api?

Amien Rais 1998

TIDAK bermaksud mengada-ada dan memecah konsentrasi, tetapi pertanyaan di atas sangat relevan untuk dimunculkan (kembali).

Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais memang dikenal sebagai tokoh reformasi. Amien bukan anak kemarin sore. Dia adalah orang pertama yang menjadikan suksesi kepemimpinan nasional sebagai wacana politik, setidaknya menjelasng Pemilu 1992 dan Sidang Umum MPR 1993.

Di ujung kekuasaan Orde Baru, Amien Rais mengundurkan diri dari posisi Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi mantel Orde Baru saat itu.

Amien Rais, tidak dapat disangkal, memiliki peran penting dalam suksesi kekuasaan dari Orde Baru ke epoch yang disebut sebagai Era Reformasi ini. Tanpa kenal lelah Amien Rais mengkampanyekan reformasi dari satu kota ke kota lain, dari satu kantong gerakan mahasiswa ke kantong gerakan mahasiswa lain. Menghadiri undangan parlemen Uni Eropa dan Amerika Serikat. Kurang apalagi? Amien Rais dirasa sudah pasti akan jadi presiden saat itu.

Tetapi apa daya, PAN yang didirikannya bersama tokoh-tokoh nasionalis lain menyusul era reformasi itu, kebanyakan berasal dari sayap Islam modern, tidak sebesar nama Amien Rais. Dalam Pemilu 1999 partai berlambang matahari terik ini hanya memperoleh 7 persen kursi DPR. Di sinilah ironi karier politik Amien Rais dimulai.

Kursi boleh sedikit. Tetapi pengaruh politik belum tentu kecil.

Menyadari fragmentasi di kalangan Islam sebagai kelemahan, otak Amien Rais kembali berpikir keras. Eureka, ada ide brilliant, nih. Dibangunlah Poros Tengah, kaukus politik dadakan umat Islam. Agenda utamanya, Asal Bukan Mega. Sebagai alasan dipakailah “tafsir” yang menyebut agama Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin.

Akhir cerita, Amien Rais berhasil memukul Megawati. Lawan klasik Amien Rais, Ketua PBNU Abdurahman Wahid alias Gus Dur—mereka tidak hanya berbeda dalam hal Muhammadiyah vs Nahdliyin, modernis vs tradisionalis, tetapi juga ICMI vs Fordem—didukung menjadi presiden RI. Sementara Akbar Tandjung diselamatkan ke kursi Ketua DPR. Semua itu dilakukan setelah Amien Rais memperoleh kursi Ketua MPR, tentunya.

Amien Rais segera menjadi simbol kebencian orang-orang PDIP. Tidak tanggung-tanggung pada cover sebuah tabloid yang Mega-minded, Demokrat, wajah Amien Rais terpampang dengan dua taring di giginya. Di bawah gambar yang menyeramkan itu ada tulisan “Vampire Politik Indonesia”.

Terang saja PAN sakit hati. Mereka menuntut Pemimpin Umum Taufik Kiemas dan Pemimpin Redaksi Nuah Torong secara hukum. Keduanya adalah anggota DPR dari Fraksi PDIP. Bahkan Taufik Kiemas adalah suami Megawati, Ketua Umum PDIP yang digesernya.

Begitulah. Itu konstelasi politik satu setengah tahun lalu. Sekarang semuanya berbeda. Amien Rais sedang akrab-akrabnya dengan PDIP. Sejak awal Memorandum I, Amienlah orang yang bertepuk tangan paling keras di luar ruang rapat Nusantara V. Mensyukuri goyangnya kekuasaan Gus Dur. Ada apa ini, Mas Amien?

MPR pun dengan sigap menerima operan bola DPR. Hanya dalam hitungan jam sejak DPR menjatuhkan talak SI kepada Gus Dur, MPR segera menggelar rapat kordinasi pimpinan.

Nah, kemarin (5/6) di sela-sela kesibukan transaksi dan kliring gerai Bank Mandiri di gedung DPR RI Senayan, Wakil Sekretaris Jenderal PAN Patrialis Akbar menjamin tidak akan ada udang di balik palu SI nanti. PAN adalah partai yang tulus berjuang untuk kepentingan bangsa dan negara, klaimnya. Berikut laporan Teguh Santosa.

Singa Senayan

Antri menunggu giliran, Patrialis Akbar duduk di depan customer service Bank Mandiri Gedung DPR Senayan. Mbak Febry, customer service yang disatroni anggota Komisi II DPR dari Fraksi Reformasi ini sedang sibuk melayani nasabah lain yang datang lebih awal. Hmm, tidak ada pilihan lain, kecuali harus tertib. Memang tidak ada yang boleh motong. Tidak juga anggota Dewan, pikir Patrialis.

Patrialis berdiri. Tangan kiri Patrialis menopang tubuhnya yang terbungkus rapi dengan kemeja dan celana abu-abu serta jas hijau pada sebuah kursi kuning di depan meja customer service lainnya. Kakinya disilangkan. Tangan kanan disimpan di kantong celana. Wakil Sekretari Jenderal PAN ini memutar kepalanya mengitari ruangan. Mencari wajah yang dikenal. Lalu tersenyum satu dua kali.

Mendadak senyumnya melebar besar. Nun di sana, seorang ajudan Ketua MPR yang juga Ketua Umum DPP PAN Amien Rais datang menghampirinya. Rudi, nama ajudan Amien Rais itu mengulurkan tangannya ke arah Patrialis. Dengan sigap Patrialis mengeluarkan tangan kanannya dari kantong. Mereka berjabat tangan.

“Sini, silakan duluan,” Patrialis mempersilakan Rudi mengampil gilirannya. Sopan, Rudi menampik. Balik tangan Rudi bergerak mempersilakan Patrialis untuk lebih dahulu menyelesaikan urusannya dengan Mbak Febry. Sekilas Patrialis melirik kursi si Mbak. Masih kosong.

Ponsel Rudi berdering dari saku kiri. Diangkat, lalu bicara. Patrialis terpaksa harus dianggurin sebentar. Patrialis mencubit-cubit bibir bawahnya, sambil matanya memperhatikan kepala Rudi yang terus mengangguk-angguk mengiyakan si penelepon di seberang sana. Setelah Rudi selesai, Patrialis membisikkan sesuatu kepadanya. Rudi ngangguk-ngangguk lagi.

Mbak Febry datang, Patrialis kembali mempersilakan Rudi membereskan urusannya lebih dahulu. Rudi nurut kali ini. Sementara itu Patrialis menggeser kursi tempatnya tadi menyender. Lalu duduk terbalik. Tangannya ditopangkan di atas sanderan kursi. Dan tersenyum ke arah Rakyat Merdeka yang datang menghampiri.

Di depan meja Mas Syamsul, customer service lainnya sambil tetap duduk terbalik di kursi kuning tadi, Patrialis yang pernah menjadi ketua DPP KNPI ini kembali menegaskan komitmen partainya untuk membudidayakan prinsip-prinsip demokrasi. Tidak ada manuver nyeleneh yang akan dilakukan PAN guna kepentingan diri sendiri. Seperti mendongkrak Amien Rais, sang ketua umum partai, menduduki kursi RI-1, memotong jalan Megawati.

“PAN tidak pernah bermain untuk kepentingan seseorang, melainkan bangsa dan negara. Dalam SI nanti, PAN akan tetap berada dalam koridor konstitusi. Salah satunya pasal 8 UUD 1945. Tidak bisa ditawar lagi. PAN tidak punya agenda menaikkan Pak Amien menjadi presiden di SI ini,” katanya. Nada suaranya masih lembut.

Tapi kan politisi sekarang sedang senang-senangnya menerjemahkan konstitusi sesuai keinginan mereka? Bukankah tidak mungkin di tengah SI nanti politisi akan menggunakan tafsir baru atas konstitusi untuk melegalisir kepentingan politik? Sambil menekan alas kursi, Patrialis menjawab, tidak ada lagi penafsiran macam-macam dari pasal 8 UUD 1945 itu. Maknanya tunggal, presiden hanya bisa diganti oleh wakil presiden.

Ada jaminanan nggak? “Yang namanya PAN dan Fraksi Reformasi tidak pernah aneh. Kita melakukan sesuatu dengan landasan kuat. Misalnya, dalam SU lalu, kita kan memilih presiden dari suara terbanyak. Tidak ada aturan yang menyebutkan pemenang pemilu jadi presiden. Ini normatif,” jawabnya agak panjang.

Laki-laki yang kemungkinan Mas Syamsul datang. Sambil membalik-balik tumpukkan kertas di atas meja, laki-laki itu ikut menyimak ucapan Patrialis. Tersadar ada yang memperhatikan, Patrialis menolehkan kepalanya. “Wah, maaf Mas, saya pakai tempatnya,” Patrialis minta ijin. Laki-laki itu hanya tersenyum.

Kalau soal posisi wakil presiden yang kosong bagaimana? “Ada baiknya diisi. Tetapi mungkin harus dibicarakan dengan presiden baru nanti. Atau, dari sekarang forum lintas fraksi mulai membicarakan hal itu,” mata Patrialis diputar lagi, menoleh sekelilingnya. Beberapa nasabah yang sedang antre asyik mengikuti pembicaraan hangat ini.

PAN punya calon nggak untuk wakil presiden? “Kita belum menentukan sama sekali. Ya, namanya saja kemungkinan,” kali ini singkat jawabnya.

Patrialis memekik, “Allahuakbar, keajaiban dunia lagi, tuh,” ketika disebut jangan-jangan dirinya yang akan dipasang PAN jadi wakil presiden mendampingi Megawati nanti. Disusul tawa keras. Pendengar dadakan di sekitarnya pun ikut tertawa. Enak sekali jadi politisi, mungkin pikir mereka.

Seorang nasabah berdiri, urusannya sudah selesai. Kursinya ditinggal kosong. Melihat kursi kosong di depan meja Mbak Febry, Patrialis bangkit, masih menyisa senyum di wajahnya. Lalu tenggelam dalam pembicaraan lain tema bersama Mbak Febry.

Pun, Politisi Darah Tinggi

Kalau Effendi Choirie adalah politisi berdarah tinggi dari PKB, maka Patrialis, lelaki kelahiran Padang 31 Oktober 1958 ini adalah politisi berdarah tinggi dari PAN, lawan PKB hari ini—ntah besok. Ketika anggota FKB Rodjil Gufron di dalam ruang sidang menyebut perusuh di Pasuruan adalah orang PAN, Patrialis berang. Di layar kaca terlihat dengan sangat emosi Patrialis mencoba menghampiri Gufron. Beberapa teman sefraksinya sibuk menahan.

“Saya akui saya agak emosi saat itu. Saya tidak bisa mendengar fitnah. Saya bukan politisi yang baik. Kalau politisi yang baik, dalam keadaan seperti itu akan tetap tenang,” Patrialis bersemu merah.

Waktu itu, suami satu isteri dan ayah lima anak ini sudah menyambar microphone di depannya. Tapi mati. Jadilah dia kesal, dan emosinya memuncak. Namun kejadian itu ada hikmahnya juga. Kalau saja microphone-nya tidak mati tentu saja suhu di ruang sidang semakin panas. “Saya mau nanya begini ke floor, apakah saudara yakin pernyataan itu provokasi, apakah saudara yakin pernyataan itu fitnah,” ceritanya.

“Saya yakin kawan-kawan akan bilang bahwa itu adalah provokasi, itu adalah fitnah,” Patrialis yakin.(GUH)

Milih Gus Dur Jadi Presiden

Penggemar badminton dan jogging ini mengaku pengalaman paling menarik dalam hidupnya adalah ikut memilih Gus Dur menjadi presiden pada SU MPR 1999 lalu. “Waktu itu kita berharap Gus Dur sebagai pimpinan pesantren bisa memberi ketentraman,” katanya.

“Tapi sudahlah,” tambah Alumni FH Universitas Muhammadiyah Jakarta tahun 1983 ini. “Menurut mata dan hati saya Gus Dur hari ini jauh berbeda.”

Katanya, Amien Rais akan mundur dari posisi Ketua MPR kalau Gus Dur mau mengundurkan diri? “Ah, nggak ada itu. Sampai sekarang nggak ada alasan buat Pak Amien untuk mundur. Yang salah kan Gus Dur, kok Pak Amien harus ikut mundur,” tolak Ptrialis.(GUH)