Menabur Angin, Menuai Badai

main_900

DALAM Perjanjian Peshawar di bulan April 1992, menyusul kehancuran pemerintahan Najibullah, kelompok mujahidin Afganistan sepakat mendirikan Negara Islam Afganistan dan membagi kekuasaan di antara mereka.

Pemimpin Masyarakat Islam atau Jamiati Islami, Burhanuddin Rabbani, diberi mandat sebagai presiden transisional. Dia juga dipercaya memimpin semacam dewan presidium yang terdiri dari pentolan-pentolan kelompok mujahidin.

Tetapi tidak semua sepakat dengan pembagian kekuasaan itu. Hezbi Islami faksi Gulbuddin Hekmatyar dengan tegas menolak. Hekmatyar yang menginginkan kekuasaan jatuh ke tangannya melancarkan serangan ke jantung-jantung pertahanan Negara Islam Afganistan dan menciptakan krisis politik baru pasca Uni Soviet.

Pemerintahan transisional yang dipimpin Rabbani pun goyah.

Saya kira tidak berlebihan pula bila kita menilai bahwa perang saudara di Afganistan pada periode itu juga merefleksikan kepentingan negara-negara tetangga Afganistan terutama Pakistan, Arab Saudi, dan Iran. Serta sudah barang tentu Amerika Serikat yang sudah lama berkepentingan dengan kawasan ini.

Ada kabar yang mengatakan bahwa Hekmatyar mendapatkan bantuan dari Pakistan yang menginginkan pemerintahan pro-Pakistan di Afganistan pasca Uni Soviet.

Arab Saudi dan Iran, juga Amerika Serikat pun begitu. Arab Saudi aktif memberikan bantuan kepada kelompok Wahabi Itehad Islami yang dipimpin Abdul Rasul Sayyaf.

Sementara Iran memberikan bantuan yang tak sedikit kepada kelompok Syiah Hizbu Wahdat yang dipimpin Abdul Ali Mazari. Kelompok yang terakhir ini mendukung sistem pemerintahan federal yang memberikan kekuasaan kepada kelompok-kelompok minoritas termasuk Syiah. Seperti namanya, Abdul Ali Mazari berasal dari Mazar I Sharif.

Bagi Amerika Serikat, Afganistan merupakan titik strategis yang harus dikuasai demi menghambat penyebaran pengaruh blok sosialis-komunis di Asia Tengah dan Asia Selatan sepanjang drama Perang Dingin.

Inilah yang disebut sebagai politics of containment, dimana blok barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok timur yang dipimpin Uni Soviet berusaha untuk menjaga dan memperluas wilayah pengaruh masing-masing.

Dari sudut pandang ini, dapat dipahami bila invasi yang dilakukan Uni Soviet ke Afganistan tahun 1979 sangat mengganggu Amerika Serikat.

Mempertahankan dan memperkuat hubungan baik dengan Afganistan merupakan salah satu hal penting dalam kebijakan politik Amerika Serikat pasca Perang Dunia Kedua. Begitu dikatakan Presiden Harry S. Truman suatu kali di tahun 1946 ketika Afganistan mengirimkan dutabesar pertama ke Washington DC.

Hubungan diplomatik kedua negara dibangun pada 1921, tak lama setelah Afganistan mengakhiri perang dengan Inggris yang berkuasa di India ketika itu.

Setahun kemudian, di bulan Maret 1947, Truman meminta Kongres AS menyetujui bantuan untuk Turki dan Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi. Menurut Truman, ini penting dilakukan sebelum Uni Soviet mendahului.

Pidato Truman ini yang dikenal sebagai Doktrin Truman dan dipandang sebagai tonggak awal Perang Dingin. Doktrin Truman mengubah cara pandang politis Amerika Serikat, membuat mereka melihat negeri-negeri yang berada di antara kedua blok itu memiliki arti strategis untuk dikuasai.

Setelah Revolusi Saur 1978 yang dimotori Partai Demokratik Rakyat Afganistan pro Uni Soviet, hubungan Amerika Serikat dan Afganistan memburuk. Di bulan Februari 1979, dutabesar Amerika Serikat, Adolph Dubs, tewas dalam sebuah kontak senjata di Kabul yang melibatkan tentara Afganistan dengan kelompok penculik.

Sejak saat itu Amerika Serikat menghentikan segala bentuk kerjasama dengan Afganistan yang dikuasai pemerintahan boneka pro Uni Soviet. Sebagai gantinya, Amerika Serikat memberikan bantuan tak sedikit untuk kelompok mujahidin yang berjuang mengusir Uni Soviet dari Afganistan. Mereka dilatih dan dipersenjatai untuk melawan balik Uni Soviet. Cyclone Operation atau Operasi Topan untuk keperluan mengusir Uni Soviet dari Afganistan tercatat sebagai salah satu operasi terpanjang dan termahal yang dilakukan Central Intelligent Agency (CIA).

Presiden Ronald Reagen, berkuasa dari 1981 hingga 1989, memberikan perhatian khusus pada upaya rakyat Afganistan menghadapi invasi Uni Soviet. Setahun setelah dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen menetapkan tanggal 12 Maret sebagai Hari Afganistan. Dokumen penetapan Hari Afghanistan itu tercatat sebagai Proklamasi 4908 dan dibacakan pada 10 Maret 1982.

Di dalam proklamasi itu antara lain disebutkan:

“Bangsa Afgan membayar dengan harga yang sangat mahal perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Kampung-kampung dan rumah-rumah mereka dihancurkan, mereka dibunuh oleh peluru, bom dan senjata kimia. Seperlima orang Afgan dipaksa hidup dalam pengasingan. Namun begitu, mereka terus melawan. Komunitas internasional, pemerintahan Amerika Serikat dan pemerintahan negara-negara lain di dunia, mengecam invasi di Afganistan sebagai pelanggaran terhadap kemanusiaan dan hukum internasional dan meminta Uni Soviet menarik pasukan dari Afganistan.”

Dalam pernyataan pengantar Proklamasi Hari Afganistan, Ronald Reagen membandingkan perlawanan bangsa Afgan dengan perlawanan bangsa Polandia ketika diinvasi Nazi Jerman di awal Perang Dunia Kedua.

“Bangsa Afgan, seperti bangsa Polandia, menginginkan tidak lebih dari hidup dalam kedamaian, beribadah secara bebas, dan mendapatkan hak mereka menentukan nasib sendiri. Sebagai konsekuensi, mereka kini bertarung untuk mendapatkan hak dasar mereka sebagai bangsa. Tidak ada pelanggaran HAM yang lebih brutal dari apa yang terjadi di Afganistan hari ini,” ujar Reagen.

Setahun kemudian, Reagen menerima perwakilan masyarakat Afganistan di Ruang Oval Gedung Putih.

Bantuan militer dan keuangan terutama diberikan Amerika Serikat kepada kelompok pelajar (talib) yang berada di Pakistan. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal Taliban.

Didirikan Mullah Muhammad Omar dari Kandahar, Taliban tidak termasuk dalam kelompok Tujuh Peshawar yang berkoalisi untuk menghadapi Uni Soviet dan Najibullah di Afganistan.

Dari Pakistan, Mullah Omar menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan dari Tujuh Peshawar yang terjebak dalam konflik kepentingan dan perang saudara berkepanjangan pasca invasi Uni Soviet.

Di tahun 1996 Taliban merebut kampung halaman Mullah Omar, Provinsi Kandahar. Dari Kandahar, kekuasaannya menyebar hingga akhirnya membuat koalisi Tujuh Peshawar tunggang langgang.

Tetapi setelah berkuasa, Taliban menjadi masalah baru bagi Amerika Serikat. Situasi yang dihadapi Amerika Serikat pun persis seperti ungkapan yang mengatakan: siapa yang menabur angin, akan menuai badai. [guh]

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s