DI akhir cerita Ayesha memilih bunuh diri.
Usai shalat shubuh, ia menggulung sajadah dan mukenanya. Sedetik kemudian layar menjadi gelap. Hitam. Hening. Pada adegan berikutnya, Ayesha telah berdiri di bibir sumur tua di sudut desa Charki, tanah kelahiran tempat ia dibesarkan sampai perang memaksa dirinya mengubah identitas.
Layar kembali gelap. Kembali hitam. Kembali hening. Sedetik, sebelum akhirnya Ayesha melompat ke dalam sumur tua yang sudah bertahun-tahun tidak pernah dikunjunginya itu.
Ayesha dan sumur tua itu adalah figur utama dalam film berbahasa Urdu produksi tahun 2003, “Silent Waters” atau “Khamosh Pani”. Walaupun fiksional, film ini menggambarkan kisah nyata konflik atas nama Langit yang digerakkan motif politik—yang lagi-lagi membelah-belah kemanusiaan.
***

Tahun 1947 setelah Inggris angkat kaki, Pakistan dan India memilih untuk membelah diri. India yang mayoritas Hindu berada di timur, sementara Pakistan yang mayoritas Muslim di belahan barat. Di sepanjang garis perbatasan dua negara baru itu, seperti di Punjab, sudah beratus tahun lamanya orang Islam, Hindu dan Sikh hidup berdampingan berbagi bumi.
Ketika era pembelahan (partition) dimulai tahun itu, orang Islam yang berada di wilayah India dipaksa berpindah ke Pakistan, begitu juga dengan orang Hindu dan Sikh yang berada di Pakistan. Mereka ramai-ramai mengungsi masuk India. Kedua belah pihak menghilangkan sebagian dari identitas, memisahkan masa lalu dari masa depan mereka.
Ayesha yang baru saja mengakhiri hidupnya dikisahkan lahir dan besar di sebuah desa di dekat kota kecil Rawalpindi, Pakistan. Ia melewati masa remaja di desa itu sebagai seorang Sikh bernama Verro. Ketika terusir dari Charki, ayahnya meminta Verro bersama ibu dan saudaranya perempuannya bunuh diri di sumur tua di kampung mereka. Ini permintaan yang tak masuk akal.
Tetapi ayah Ayesha, atau Verro ketika itu, juga saudara laki-laki berikut paman-pamannya tak punya pilihan lain. Mereka tak mau kaum wanita Sikh disentuh oleh orang-orang Muslim. Mereka tak mau darah mereka bercampur dengan darah orang Muslim yang kini jadi musuh mereka.

Tidak seperti ibu dan saudara perempuannya yang dengan ikhlas melompat ke dalam sumur itu, Ayesha memilih melarikan diri. Dia meninggalkan ayah dan saudara laki-lakinya, kembali ke tengah perkampungan yang kini dimiliki orang Muslim seutuhnya.
Dalam pelarian, Verro disekap kelompok Muslim yang menangkapnya. Entah berapa lama, sampai salah seorang di antara mereka membebaskannya.
Tak ada cerita bagaimana Ayesha dan laki-laki itu saling jatuh cinta. Yang ada hanya adegan ketika mata mereka saling menatap. Tak lama, sampai Verro menyandarkan kepalanya ke dada laki-laki Muslim itu.
Pemuda inilah yang kemudian menikahi Verro, dan mengajaknya masuk Islam. Setelah mengucap dua kalimat syahadat, Verro mengubah namanya menjadi Ayesha.
Malang tak dapat ditolak, suami Ayesha lebih dahulu meninggal dunia.
Beberapa tahun berlalu, Ayesha yang dulu adalah Verro yang Sikh, kini dikenal sebagai guru mengaji di kampung itu.
Kebahagian hidup Ayesha berubah drastis dan sekejap sirna di tahun 1979. Setelah anaknya, Saleem, berkenalan dengan kelompok mujahid; dan di saat bersamaan peziarah Sikh datang ke kampung mereka.
***
5 Juli1977, Jenderal Zia-ul-Haq, petinggi militer Pakistan yang akrab dengan gerakan fundamentalis Islam dan didukung dinas intelijen Amerika, Central Intelligent Agency (CIA), mengkudeta Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto. Syahdan, sudah sejak lama Ali Bhutto si pendiri Partai Rakyat Pakistan itu tak disukai Amerika. Walau mengecap pendidikan di University of California di Berkeley dan Oxford di Inggris, Ali Bhutto tak mau begitu saja mengikuti agenda politik negeri adikuasa itu. Pakistan, menurutnya, punya hak untuk menentukan masa depan sendiri.
Puncak dari kekesalan Amerika adalah ketika Ali Bhutto bersikeras mempertahankan program nuklir Pakistan yang sudah dirintis Ali Bhutto sejak ia masih duduk di kursi menteri energi dan sumber daya mineral beberapa tahun sebelumnya. Ali Bhutto juga menjadi motor utama pembangunan Pusat Energi Atom Pakistan di tahun 1950-an.
Dalam buku “If I am Assassinated” yang ditulisnya ketika berada dalam penjara, Ali Bhutto menceritakan ancaman yang disampaikan Henry Kissinger, menteri luar negeri Amerika, setahun sebelumnya. Kissinger memastikan bahwa Ali Bhutto akan membayar mahal bila tak mengikuti keinginan Amerika menghentikan program nuklir Pakistan.
Setelah keluar dari penjara di akhir bulan Juli, Ali Bhutto menggalang kekuatan untuk mendapatkan kembali kekuasaannya.
Di bulan September 1977 Ali Bhutto lagi-lagi ditangkap, dan sebulan kemudian diadili atas tuduhan konspirasi membunuh lawan-lawan politiknya di masa lalu. Adalah Panglima Tentara Pakistan Masood Mahmood yang memberikan pengakuan di depan pengadilan tentang perintah pembunuhan itu. Ali Bhutto menolak semua tuduhan yang menurutnya sengaja diciptakan Jenderal Zia dan CIA untuk memojokkan dirinya.
Bulan Maret 1978, Pengadilan Tinggi Lahore menjatuhkan hukuman mati untuk Ali Bhutto. Ia digantung setahun kemudian, April 1979.
Setelah berkuasa penuh, Jenderal Zia menerapkan hukum Islam di seantero Pakistan. Keputusan politik ini disambut dengan tangan terbuka oleh kelompok Islam fundamentalis. Inilah awal di mana kelompok Islam fundamentalis membangun kekuatan dan jaringan untuk mengusir Uni Soviet yang tengah menjajah kaum Muslim di Afghanistan. Inilah masa di mana cikal-bakal Taliban, kelompok pelajar suku Pasthun yang melarikan diri dari Afghanistan, ditampung, dilatih dan dipersenjatai di Pakistan dengan dukungan Kongres Amerika Serikat. Ini adalah masa di mana kelompok-kelompok Islam garis keras ini masuk ke dalam perangkap.
Masih di tahun yang sama, Jenderal Zia juga menandatangani kesepakatan dengan India untuk memberikan kesempatan kepada kaum Sikh berziarah ke kuil-kuil Sikh yang ada di Pakistan, termasuk di Rawalpindi, di kampung Ayesha.
***

Konflik dalam film “Silent Waters” mulai membuncah menyusul kehadiran dua kelompok di Charki yang sama-sama membawa “misi suci”. Pertama, kelompok fundamentalis Islam yang tengah merekrut pemuda-pemuda di desa itu untuk bergabung dengan mujahiddin, dan selanjutnya akan digerakkan untuk menyerang Soviet-Komunis yang sedang bercokol di Afghanistan. Saleem, putra Ayesha yang sedang mencari jatidiri dan pekerjaan kesana kemari, adalah satu dari begitu banyak pemuda Charki yang bersedia bergabung dengan mujahiddin.
Kelompok kedua adalah kaum Sikh yang datang untuk berziarah ke kuil Sikh di Charki yang sudah begitu lama tak pernah lagi dikunjungi oleh orang Sikh. Beberapa dari peziarah itu dilahirkan dan dibesarkan di desa itu, sebelum akhirnya terpaksa angkat kaki tiga dekade yang lalu.
Sementara Saleem sedang tergila-gila dengan ide mengusir Uni Soviet dari Afghanistan dan menjadikan Pakistan sebagai negeri Islam yang sesungguhnya; Ayesha sibuk menata emosi setelah ia bertemu dengan salah seorang peziarah yang ternyata adalah adiknya dari masa lalu.
Sang adik mengajak Ayesha atau Verro mengikutinya ke India dan bertemu ayah mereka yang sedang sekarat. Verro menolak ajakan itu. Dia tak mau bertemu lagi dengan laki-laki yang pernah memintanya bunuh diri.
Konflik bathin Ayesha atau Verro semakin bertambah. Satu persatu tetangga mulai menjauhinya setelah mengetahui latar belakang Ayesha. Anak-anak tetangga tak lagi datang ke rumahnya untuk mengaji dan membantunya mengambilkan air dari sumur di desa mereka.
Adapun Saleem, begitu tahu Ayesha adalah keturuan Sikh meminta ibunya menegaskan keislaman di muka umum. Seperti tiga puluh tahun lalu Ayesha menolak. Dia memilih menenggelamkan diri ke dalam sumur itu, bertemu jiwa ibu dan saudara perempuannya, menuntaskan perintah ayahnya.
Beberapa hari setelah Ayesha bunuh diri, Saleem menghanyutkan benda-benda peninggalan kedua orang tuanya di sungai. Bagi Saleem, masa lalu biarlah berlalu. Kehidupan mujahiddin kini jauh lebih menarik perhatiannya.
Like this:
Like Loading...