
FEBRUARI 2006 tentara Amerika yang sedang bertugas di Eropa, khususnya di negara-negara yang didiami banyak keturunan Turki, seperti Jerman, Perancis dan Inggris, disarankan untuk tidak menonton film “Kurtlar Vadisi Irak” alias “Lembah Srigala Irak”.
Dalam rilis yang diterima pangkalan militer Amerika di Hofenfels, sebelah timur Jerman, tentara Amerika yang sedang bertugas di Eropa juga diminta untuk tidak mendatangi kerumunan yang terlihat seperti aksi protes di bioskop-bioskop yang menayangkan film itu. Bahkan, mereka diminta untuk tidak terpancing mendiskusikan isi film itu.
“Force protection advice is to avoid theaters or movie plexes showing the film and to avoid getting into discussions about the movie with persons you don’t know,” tulis dinas militer Amerika seperti dilaporan Stars and Stripes, media massa yang diperuntukkan bagi komunitas militer Amerika Serikat.
Jurubicara dinas militer Amerika di Eropa, Bob Purtiman, masih menurut Stars and Stripes, mengatakan bahwa peringatan serupa disampaikan ke seluruh pangkalan militer Amerika Serikat di seantero Eropa.
Mengapa Amerika bereaksi seperti itu? Apa yang salah dengan film thriller buatan Turki yang biaya produksinya menelan tak kurang dari $10,2 juta itu?
Bagi saya yang menonton film itu di “layar tancap” Hale Manoa, East West Center, Honolulu, Hawaii, setahun setelah ketegangan ini berlalu, tidak ada yang salah sepanjang 122 menit film itu. Seperti layaknya sebuah cerita, apapun mediumnya, film itu punya alur cerita yang bagus lagi jelas, ada tokoh antagonis, tokoh protagonis, juga tokoh abu-abu. Memadukan otak dan otot, dipenuhi adegan dar-der-dor, darah yang tumpah dan kejutan demi kejutan.
Tapi, di sisi lain, saya dapat memahami mengapa Amerika jadi begitu waswas sampai memperingatkan semua tentaranya di Eropa agar tak menonton film itu apalagi mendiskusikannya dengan orang yang tidak dikenal.
Film ini sungguh anti-Amerika. Ia bukan buatan Hollywood, serta tidak satu genre dengan film sejenis Rambo yang menceritakan kehebatan Amerika seberapapun parah keadaan medan tempur dan menggambarkan kebaikan hati tentara Amerika di banyak medan tempur. Film ini juga tidak dibanjiri stars and stripes, bendera Amerika. Namun, walau buatan Turki, hanya dua kali bendera Turki tampil di film itu—hanya satu kali lebih banyak dari penampilan bendera Amerika.
Sebaliknya, “Kurtlar Vadisi Irak” menelanjangi aksi polisional Amerika di Irak dengan merangkai beberapa kejadian nyata. Mulai dari pembantaian yang dilakukan tentara Amerika di sebuah pesta pernikahan, pelecehan yang dilakukan oleh sekelompok tentara Amerika di penjara Abu Ghraib, sampai penyerangan terhadap masjid yang dengan mudahnya dinyatakan sebagai markas teroris.
Film ini pun dibuka oleh sebuah kisah nyata yang direkonstruksi ulang. Tanggal 4 Juli 2003, pasukan Amerika menangkap 11 tentara Turki yang sedang bertugas di markas mereka, di kota Sulaymaniyah, di perbatasan Turki dan Irak. Peristiwa ini semakin memperuncing hubungan Amerika dan Turki yang sejak lama memang tidak begitu akur.
***
Menjelang perang di Irak enam tahun lalu saya mengunjungi Turki dan mengamati dari dekat keterlibatan Turki dalam perang yang digagas sepihak oleh Amerika dan sekutu utamanya, Inggris, itu. Amerika menawarkan bantuan ekonomi dalam bentuk pinjaman lunak dan hibah yang cukup menggiurkan pemerintahan Abdullah Gul—yang beberapa hari kemudian digantikan oleh temannya Recep Tayyep Erdogan. Abdullah Gul berkali-kali berusaha meyakinkan parlemen Turki untuk mau menerima bantuan Amerika itu demi memperbaiki kondisi ekonomi yang memang sedang tak menguntungkan.
Saat itu tingkat inflasi di Turki sedang menggila. Pecahan uang kertas terbesar yang dimiliki Turki senilai 20 juta Lira Turki. Baru setelah bantuan ekonomi itu diterima, akhir 2003 Turki bisa melakukan sneering dan memotong enam nol di belakang setiap pecahan mata uang mereka.
Bila sebelumnya, di tahun 2003, untuk buang air kecil di WC umum saya harus merogoh 1 juta Lira Turki, maka di tahun 2005 ketika kembali mengunjungi negeri itu, saya hanya menghabiskan 1 Lira Turki Baru di WC umum terminal utama bus di Ankara.
Menjalin hubungan baik dengan Amerika adalah sebuah dilema bagi Turki. Hubungan baik itu tidak hanya berguna untuk mendongkrak ekonomi Turki yang sedang carut marut, namun juga memberikan kesan betapa Turki bersahabat dengan Barat; sebuah kesan yang dibutuhkan di tengah keinginan mereka menjadi anggota Uni Eropa.
Namun di sisi lain, Turki paham bahwa there is no free lunch. Mereka tahu bahwa menjalin hubungan baik dengan Amerika sama artinya dengan mengundang maling masuk ke rumah. Itu sebabnya, di samping sikap pemerintah Turki yang menyambut Amerika dengan tangan terbuka, ada juga kelompok masyarakat, termasuk di tubuh militer, yang menyambut kehadiran Amerika itu dengan kebencian membara. Bagi kelompok militer Turki ini, Amerika bukan hanya merongrong dari pintu belakang di kawasan timur yang dikuasai orang-orang Kurdi, namun juga menggedor-gedor pintu utama rumah mereka dengan memberikan bantuan penuh terhadap Yunani yang menjadi seteru abadi Turki di Cyprus.
Dalam perjalanan darat dari Damaskus, Syria, menuju Ankara, saya bermalam di Antakya dan keesokan harinya melintasi pangkalan militer Turki di kota Iskandereun di pinggir laut Mediterania yang bagaikan hamparan permadani hijau. Pangkalan itu dihijaukan oleh begitu banyak kendaraan lapis baja Amerika yang mendarat untuk memperkuat pasukan Amerika di Inclirik, di utara Antakya dekat Adana. Untuk selanjutnya pasukan Amerika ini bergerak menuju Diyarbakir, kota yang berada di mulut wilayah utara Irak yang dikuasai kaum Kurdi.
Bagi Amerika, Turki, terutama wilayah timur yang dikuasai oleh orang-orang Kurdi adalah titik yang paling tepat untuk mengontrol Timur Tengah. Dari titik ini Amerika dapat mengendalikan Irak dan Syria, juga Iran, dan “sedikit” wilayah yang masih dipengaruhi Rusia, yakni Armenia dan Georgia. Untuk menguasai kawasan ini, sejak beberapa dekade lalu Amerika memberi angin segar pada suku Kurdi. Mereka mendukung kemerdekaan yang dicita-citakan suku Kurdi, baik yang berada di wilayah Turki, Irak maupun Iran. Amerika juga melatih tentara khusus suku Kurdi yang disebut Peshmerge.
Dalam perang Iran-Irak di era 1980-an, Amerika tidak hanya memberikan senjata untuk Irak dan Saddam Hussein, namun juga untuk suku Kurdi. Dan belakangan setelah skandal Iran-Contra terbuka, Amerika diketahui juga memberikan bantuan senjata untuk Iran.
***
Kembali ke film yang dibintangi oleh Necati Sasmaz, Billy Zane, Ghassan Massoud, Gary Busey dan Diego Serrano itu.
Semua peristiwa kunci dalam film ini dikendalikan oleh seorang tokoh bernama Sam William Marshall yang diperankan aktor Amerika Billy Zane. Sam Marshall bagaikan penjelmaan dari kebijakan luar negeri Amerika di Timur Tengah. Dia mengakui bahwa dirinyalah yang mengatur semua pertikaian di antara orang Arab, Kurdi dan Turki di kawasan itu, untuk kepentingan Amerika Serikat. Politisi dari ketiga bangsa itu mendapat perlindungan abadi dari Marshall, dan sebagai imbalannya mereka mengabdi untuk Marshall.
Marshall juga yang memerintahkan pembantaian terhadap keluarga Arab-Turki yang sedang menyelenggarakan pesta pernikahan pada suatu malam. Pembantaian di pesta pernikahan itu adalah reka ulang dari kejadian nyata di Mukaradeeb, kota Irak di dekat perbatasan dengan Syria pada tanggal 19 Mei 2004. Sebanyak 42 orang tewas dalam pembantaian itu, termasuk 13 anak-anak.
Untuk menjalankan semua aksinya Marshall memelihara seorang tentara sadis. Dia juga yang memerintahkan mengangkut tahanan-tahanan Arab-Turki ke penjara Abu Ghraib, dan menyerahkan mereka kepada seorang dokter Yahudi-Amerika yang mengambil organ tubuh tahanan-tahanan itu untuk selanjutnya diperdagangkan entah dimana.
Pendeknya, di film itu, Marshall adalah perwujudan paling sempurna dari semua ambisi-ambisi politik luar negeri Amerika.
Film ini juga menampilkan adegan bom bunuh diri di sebuah pasar ketika Marshall bertemu dengan pimpinan ketiga bangsa di kawasan itu. Si pelaku bom bunuh diri adalah seorang laki-laki yang hendak membalas dendam karena anaknya tewas dalam “pembantaian Mukaradeeb”.
Laki-laki ini tewas bersama beberapa tentara Amerika di dekatnya dengan tubuh terkoyak-koyak. Tetapi Marshall selamat, dan karenanya semakin menggila.
Tokoh lain dalam film ini adalah seorang ulama sepuh berpengaruh, Syeikh Abdurrahman Helis Kerkuki yang diperankan oleh Ghassan Massoud. Pemimpin kelompok tasawuf ini menentang segala aksi kekerasan yang dilakukan oleh warga untuk membalaskan dendam mereka kepada pasukan Amerika. Dia menentang bom bunuh diri. Dia juga menghentikan upaya kelompok pemuda radikal memenggal kepala seorang jurnalis berkulit putih beberapa saat sebelum pedang mengayun ke leher sang jurnalis.
Hanya Allah, kata Helis Kerkuki, yang berhak menentukan ajal seseorang. Dan aksi kekerasan seperti bom bunuh diri dan memenggal kepala itu, menurut dia, hanya akan menjadikan tudingan terhadap Islam sebagai agama yang menganjurkan jalan kekerasan terbenarkan, dan selanjutnya memperburuk citra umat Islam. Memilih jalan kekerasan, masih kata Helis Kerkuri, sama artinya dengan menyediakan diri menjadi boneka Amerika dan kelompok-kelompok yang menginginkan kehancuran dunia Islam.
Nasib Helis Kerkuri dan jemaatnya berakhir tragis. Di suatu subuh, masjid mereka yang seperti kebanyakan bangunan di kawasan itu dibangun dari tanah lempung, dihancurkan oleh pasukan Amerika Serikat. Pengungsi, jemaat tasawuf dan Helis Kerkuri tewas dalam serangan itu.
Tokoh utama di film ini, Polat Alemdar yang diperankan Necati Sasmaz, bersama tiga rekannya dari pasukan khusus Turki, tampaknya hanya sekadar menjadi pengantar cerita. Mereka berempat dan seorang wanita yang gagal menjadi pengantin baru karena laki-laki yang baru dinikahinya di siang hari tewas diterjang peluru Amerika di malam hari, bagaikan merajut berbagai kisah yang menggambarkan kepongahan Amerika di Timur Tengah.
Di akhir cerita, wanita malang itu mengikuti jejak suaminya ke alam baqa setelah tubuhnya ditembus peluru yang ditembakkan Marshall.
Adapun Marshall akhirnya tewas di tangan Alemdar dengan satu tusukan belati di jantung.
Terus terang film ini menarik. Saya tidak tahu apakah
diputar di bioskop sini apa tidak, tetapi saya akan
cari informasinya.
Komentar saya begini. Turki adalah sebuah kawasan
penting di dunia. Secara historis, Turki, dulu disebut
ottoman empire, pernah menguasai hampir seluruh
wilayah Timur Tengah dan hampir separuh dataran Eropa.
Saking pentingnya negara ini, Sultan Iskandar Muda
yang memerintah di Aceh (1609-1636) pernah menyatakan
ketundukannya pada khalifah yang sedang berkuasa waktu
itu. Sebagai imbalannya, kerajaan Turki mengirimkan
2000 pasukan elite untuk membantu pasukan tentara Aceh
melawan Inggris yang mencoba menguasai perdagangan di
selat Malaka (Hadi, 2004).
Sejarawan yang mempelajari sejarah dunia tidak akan
pernah meninggalkan periodisasi kekuatan imperium
Turki. Lebih dari 500 tahun Turki berjaya dalam
“memimpin dunia”. Arab Saudi yang diklaim sebagai
milik keturunan Ibnu Saud adalah merupakan eks jajahan
Turki Usmani. Daerah itu jatuh ke tangan keluarga Ibnu
Saud setelah gelombang reformasi yang digerakkan kaum
Wahabi “diperalat” oleh Ibnu Saud untuk merebut
kekuasan di tanah haram tersebut.
Kejayaan Turki Usmani inilah yang menjadi cermin bagi
Hizbut Tahrir untuk membangkitkan kembali sistem
khilafah di seluruh dunia Islam. Meski pemikiran ini
adalah mitos dan sangat utopis, tetapi para
pendukungnya merasa yakin bahwa Islam akan bangkit
kembali bila dunia Islam memiliki satu khilafah yang
memerintah seluruh dunia Islam. Para pendukung paham
ini selalu mengutuk “kepongahan” Mustafa Kamal
Attaturk yang merubah Turki menjadi negara sekuler.
Meski pemikir politik Islam seperti Ali Abd Al-Raziq
mendukung gagasan sekularisme itu, tetapi kebanyakan
kelompok radikal Islam tetap tidak menerimanya.
Apa relevansi cerita di atas dengan film tersebut?
Mengapa Amerika tidak senang? Cerita di atas tentu
sangat relevan mengingat Turki pernah menjadi poros
dunia. Selain itu, posisi strategis Turki yang berada
di antara benua Eropa dan Asia sangat diperlukan oleh
Amerika dalam melakukan misinya untuk menaklukkan
seluruh wilayah di kawasan tersebut. Dari deskripsi
yang disampaikan dalam resensi film tersebut, film itu
adalah sebuah gugatan terhadap kejahatan kemanusiaan
yang dilakukan oleh Amerika kepada masyarakat Turki
dan juga Irak. Dengan pembuatan film tersebut, Amerika
tentu menuduh produsernya telah memprovokasi rakyat
Turki untuk menggagalkan usaha Amerika dalam membujuk
Turki untuk menyediakan panggalan militer bagi
pasukannya di negara tersebut.
Menurut saya, provokasi itu tidak saja diarahkan
kepada rakyat Turki, tetapi juga kepada masyarakat
lain di luar Turki khususnya penonton yang beragama
Islam. Bila itu terjadi, film ini tentu bisa
mendiskreditkan Amerika di mata dunia Islam.
Saya pikir, sangat tidak beralasan bagi Amerika untuk
tidak menyukai film tersebut. Sebagai negara yang
mengaku demoratis dan pembela hak asasi manusia,
mereka harus mengakui secara jantan terhadap
kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan selama ini. Di
samping itu, sebelum film itu diluncurkan, Amerika
juga pernah membuat film provokasi yang sama. Ingat,
misalnya, film 300 yang sangat populer di seluruh
Amerika. Lihat bagaimana produser film itu
mendiskriditkan bangsa Persia di masa lalu. Hanya
dengan 300 orang pasukan, kekuatan Persia yang
berjumlah puluhan ribu orang bisa dimusnahkan. Konon,
film adalah salah satu bentuk provokasi terhadap Iran
yang saat ini bersikukuh dengan program nuklirnya.
Ya itu saja saya kira ya…
Thanks for sharing me your great story about the
movie.
Salam,
Saleh PD
ehehehe akhirnya keluar pula jurus ilmunya bung saleh. penjelasan historismu mantap. sudah patut promosi doktor bah. tx, ulasannya.
pertanyaanku, apakah kejayaan turki adalah kejayaan islam ?. kalau kejayaan islam, apakah merupakan perintah teks ? atau sebaliknya, kejayaan sebuah regim kekerasan dengan motif ekonomi seperti amerika hari ini ?. atau kombinasi di antara keduanya ?. bung beri penjelasan dulu !!!.
soalnya, kita selalu dijejali dengan propaganda tentang kejayaan turki ini. yang malas berfikir kritis, malah buru-buru bersikap apologetic dengan mencopot satu dua ayat untuk membenarkan kejayaan itu. akibatnya, bisa ditebak, islam berhadap-hadapan dengan dunia non-islam. ketegangan antar peradaban jadilah teori yang dipercayai banyak fihak, dari barat sampai timur..
menurutku, penjelasan yang merujuk ke ketegangan-ketegangan antar peradaban seringkali menyesatkan. karena selalu melihat duduk masalah pada soal antar kepercayaan sebagai pemicu. ‘capek deh’, frasa anak-anak jakarta bisa dipakai menolak cara berfikir ini.
di fihak lain, motif perebutan pengaruh dan dominasi ekonomi selalu luput dari perhatian. bukankah sejarah manusia dari dulu sampai sekarang adalah gambar tentang perebutan kekuasaan ekonomi. dari zaman perbudakan paling primitif sampai perbudakan paling ilmiah di bawah neo-liberalisme hari ini. “the new rulers of the world” film dokumenter dari john pilger yang pernah diposting kathy di milis ini adalah contoh yang baik, bagaimana perbudakan modern bekerja di indonesia. bung saleh juga sudah kasih contoh kuat, dukungan turki ke aceh dalam perang melawan inggris, motifnya penguasaan dagang. terakhir, perlindungan energy security us adalah alasan di balik agresi us di iraq dan afghanistan.
tentang kurtlar, sebagai alat provokasi (ini istilah bung saleh), pendapat saya sedikit berbeda, ketika bung menulis, “ …..menurut saya, provokasi itu tidak saja diarahkan kepada rakyat Turki, tetapi juga kepada masyarakat lain di luar Turki khususnya penonton yang beragama Islam. Bila itu terjadi, film ini tentu bisa mendiskreditkan Amerika di mata dunia Islam”.
tetapi kufikir, ketakutaan us (pemerintah/militer) bukan karena film ini menjadikan turki dan masyarakat islam sebagai target. pertama, seburuk apapun wajahnya, toh us bisa mendiktekan kepentingan ekonomi dan politiknya, dengan cara diplomatik ataupun kekerasan. kedua, kalau logika ini dipakai ya sekali lagi berpotensi membangun dinding antara islam dan non-islam.
bagaimanapun, sikap us perlu dilihat dari sisi menguatnya tekanan domestik dan komunitas global anti perang, yang lintas bangsa, lintas agama, dan lintas orientasi seks. di kampung halaman sendiri, citra utama yang merusak bush adalah sikap cowboy-nya. selain isyu-isyu hak asasi dan demokrasi, warga us lebih peduli dengan isyu-isyu ekonomi domestik. untuk apa us alokasi dana berbilyun-bilyun dollar untuk perang. josep stiglitz, pemenang nobel ekonomi 2001 dan penentang gigih perang iraq, menghitung biaya perang us di iraq mencapai $ 2 triyun jika perang sampai 2010. juru bicara marinir amerika bilang, setiap bulannya biaya operasi tentara us di iraq mencapai $ 4,5 billion atau setara dengan 36 trilyun rupiah (rate 8000/dollar). sebagai perbandingan, sebuah organisasi think tank non-partisan di washington, memperkirakan keterlibatan us dalam perang korea menghabiskan duit sebanyak $430 billion dan perang vietnam sekitar $ 600 billion, dengan nilai mata uang sekarang, kalah dengan perang iraq dan afghan. bagaimanapun, pengeluaran perang iraq dan afghan hanya membebani taxpayers, padahal masalah ekonomi dalam negeri masih lebih banyak. so pemerintah us takut, karena film ini hanya memperpanjang daftar kebohongan administrasi bush di mata warganya sendiri. jangan-jangan serdadu-serdadu muda us dilarang menonton film ini, karena hanya merekalah satu-satunya kelompok warga us yang diharapkan terus mendukung perang.
satu lagi yang agak menggangguku, ketika bung menulis, “….mereka (amerika) harus mengakui secara jantan terhadap kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan selama ini….”. kufikir bukan saja secara jantan tetapi juga secara betina. kan ada condoleezza rice, pendukung paling gigih perang iraq dan perang melawan terorisme, bukan hanya dick cheney bung. tetapi penggunaan kata jantan (dan juga betina) saya setuju sekali. bagaimanapun, nafsu membunuh, apapun alasannya identik dengan binatang, tidak kenal kelamin. hehehehe
bagaimanapun, film, seperti juga puisi, cerpen, dan novel adalah alat kekuasaan. biasanya seni semacam ini bercerita tentang anggur dan bulan, opera sabun sarat mimpi, atau untaian kata-kata atau lirik-lirik yang susah difahami. menikmati seni model begini seperti menghisap ganja, membentuk atau melanggengkan pengetahuan dan kepercayaan palsu. film g30s, misalnya, bikin anak-anak sekolah percaya bahwa pki jahat dan suharto baik. anak-anak sekolah tidak diberitahu bahwa ratusan ribu bahkan jutaan anggota atau simpatisan pki dibantai oleh suharto dan para pendukungnya, di bawah dukungan pemerintah amerika dan inggris. film menguburkan sejarah.
sebaliknya film dan cabang-cabang seni lainnya bisa jadi alat (budaya) menggerogoti kekuasaan. biasanya seni begini memotret realitas apa adanya, sehingga membuat penonton, pembaca dan penikmat seni ada di tengah dunia nyata. itu yang membedakan pramudya ananta toer dengan novelis-novelis yang bertutur soal dunia antah-berantah. Itu yang membuat lagu-lagu joan baez terasa enak dan juga membebaskan. atau, “blowing in the wind” dan “the times they are a changing” dari bob dylan, bukan saja dari sisi musikal menarik didengar, tetapi juga mendorong jutaan orang ambil bagian dalam gerakan anti perang dan gerakan hak-hak sipil.
karena belum nonton, saya hanya bisa berharap, “kurtlar vadisi irakâ” adalah antitesa terhadap film-film hollywood, yang menjajah kesadaran kita.
as
Pertanyaan pertama, apakah kejayaan Turki adalah
kejayaan umat Islam? Banyak interpretasi dan jawaban
terhadap hal ini bung. Sama dengan polarisasi umat
Islam yang cenderung dibagi pada dua kelompok liberal
dan radikal. Bagi yang liberal, tentu menolak bahwa
kejayaan Turki adalah kejayaan umat Islam. Sementara
kelompok radikal, sebagaimana dipahami bersama, tentu
akan menyatakan itu adalah kejayaan umat Islam.
Begini bung, dalam sejarah umat Islam ada beberapa
imperium dan dinasti yang pernah berjaya. Imperium dan
dinasti itu di antaranya Dinasti Umayyah, Dinasti
Abbasiyah, dan Usmaniyah. Sementara itu, ada pula
beberapa dinasti kecil yang dibangun di atas
puing-puing keruntuhan dinasti Abbasiyah seperti
seperti dinasti bani Saljuk, dinasti Fathimiyyah
(Syiah di Mesir), dinasti Ayyubiyah (Shalahuddin
al-Ayyubi – Sunni di Mesir), dan dinasti Murabbitun
(kerajaan yang dibangun oleh para sufi).
Dari beberapa dinasti itu, hanya dua dinasti yang
diakui berhasil “mengembangkan” Islam yaitu dinasti
Abbasiyah dan dinasti Usmaniyah (Turki Usmani) itu.
Meskipun dianggap berhasil, tetapi hanya beberapa
khalifah yang terkenal dan selalu diingat orang akan
kebaikannya. Dinasti Abbasiyah, misalnya, ada dua
khalifah yaitu Khalifah Harun Al-Rasyid dan Al-Makmun.
Kedua khalifah ini dinilai berhasil mengembangkan
sains di dunia Islam. Sementara di dinasti Usmaniyah
ada khalifah Sulayman Al-Qanuniyah. Khalifah ini
dianggap berhasil membangun sistem
perundangan-undangan (Qanun) yang pro-rakyat di masa
pemerintahannya. Dinasti Umayyah yang memerintah
kurang lebih 100 tahun hanya terdapat satu orang
khalifah yang dipuja-puji dalam sejarah umat Islam
yaitu Khalifah Umar ibn Abd Al-Aziz.
Saya ingin mengupas sedikit tentang dinasti Ummayyah,
dinasti pertama setelah khulafaurrasyidin. Dinasti ini
dipandang sebagai dinasti yang mencoreng “wajah
sejarah Islam”. Ada beberapa alasan mengapa muncul
penilian semacam itu. Pertama, dinasti ini didirikan
oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan dengan mengorbankan
ribuan orang Islam yang berperang melawan pasukan Ali
ibn Abu Thalib (khalifah keempat dan menantu Muhammad
SAW) di perang Siffin. Perang ini adalah perang antar
umat Islam. Dengan kelicikan dan tipu musihatnya,
Mu’awiyyah ibn Abu Sufyan berhasil mengelabui kubu Ali
Ibn Abu Thalib dalam peristiwa Tahkim. Oleh karena
mengorbankan ribuan orang umat Islam, maka peristiwa
ini dikenal sebagai fitnah al-kubra (fitnah terbesar).
Konon, lewat peristiwa inilah muncul banyak aliran
politik dan teologi dalam Islam, temasuk kelompok
Sunni-Syi’ah yang kita saksikan hari ini (Lihat Harun
Nasution, Teologi Islam). Belakangan, Thaha Husein
menulis buku (Al-Fitnah al-Kubra) yang membicarakan
peristiwa itu panjang lebar dan terbuka. Dalam buku
itu, Thaha Husein mengaku secara jujur bahwa telah
terjadi peristiwa besar dalam dunia Islam yang
menyisakan beban berat bagi umat Islam di masa kini.
Kedua, sepanjang kekuasaan dinasti ini, tercatat
sejumlah peristiwa yang dinilai sangat jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan dan juga keislaman. Lihat,
misalnya, peristiwa pembunuhan Hasan dan Husein (cucu
Muhammad SAW) yang didalangi oleh khalifah yang
berkuasa waktu itu Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Peristiwa pembunuhan itu menorehkan luka yang sangat
mendalam terutama bagi kelompok Syiah yang selalu
memperingati peristiwa Karbala (tempat terbunuhnya
Husein) pada 10 Muharram setiap tahunnya. Konon,
semangat Karbala itulah salah satu spirit yang
dikembangkan oleh Imam Khomeini dalam memimpin
jalannya revolusi Iran untuk menggulingkan kekuasaan
otoriter rezim Syah. Semangat Karbala itu sampai
sekarang terus menyala sejalan dengan dikucilkannya
Iran dari pergaulan internasional oleh AS dan para
sekutunya. Di banyak pengajian dan majelis ilmu Syiah,
kita sering mendengar ungkapan berikut, “Kullu yaumin
Asyura, wa Kullu ardhin Karbala” yang artinya setiap
hari adalah hari Asyura dan setiap bumi adalah bumi
karbala. Spirit ini harus betul-betul dipertimbangkan
oleh AS dan sekutunya apabila mereka memutuskan
menyerang Iran. Kenapa? Karena melalui spirit ini Iran
itu sangat berbeda dengan Irak ataupun Afghanistan.
Meski tidak semua rakyat Iran setuju dengan pola
wilayatul faqih (sistem demokrasi ala Syiah) yang
dikembangkan oleh para Mullah di negeri itu, tetapi
dapat dipastikan hampir 80 persen penduduknya akan
tunduk pada perkataan Imam Khamenei (pempimpin
spiritual Iran saat ini), terutama para alumni Hawzah
Ilmiyah (pesantren khas ala Iran) yang memiliki
kecintaan yang luar biasa pada ahlul bait (istilah
lain untuk menyebut nama syiah).
Ketiga, dinasti Umayyah dikenal sebagai dinasti paling
korup yang pernah ada dalam sejarah Islam. Dia juga
dikenal sebagai dinasti yang paling nepotis karena
dibangun oleh keturunan Abu Sufyan yang pada zaman
Muhammad pernah melakukan perlawanan terhadap Islam.
Abu Sufyan masuk Islam pada persitiwa Fathu Makkah
(penaklukan kota Mekkah) setelah kekuasaan Islam di
Madinah cukup kuat dan sulit ditandingi oleh Abu
Sufyan. Latar belakang ini kemudian yang menyebabkan
mengapa kelompok ini tidak senang dengan keluarga
Rasulullah.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, juga ada peristiwa
yang sangat memalukan. Ada dua peristiwa yang perlu
dicatat. Pertama, ketika pendiri dinasti ini
menggulingkan dinasti Umayyah, mereka melakukan
politik bumi hangus. Artinya, seluruh keturunan
Mu’awiyah dan antek-anteknya dibumihanguskan. Dari
seluruh keturunan Mu’awiyah, hanya satu yang berhasil
selamat dari kejaran mereka yaitu Abdurrahman Addakhil
yang berhasil lari ke Andalusia (Spanyol). Dialah yang
mendirikan dinasti Ummayah di Andalusia dan berhasil
membangun peradaban Islam di sana dengan peninggalan
monumentalnya Universitas Cordova dan juga mesjid
Cordova.
Peristiwa kedua, khalifah yang berkuasa (Al-Ma’mun,
Al-Mu’tashim, dan yang paling parah Al-Mutawakkil)pada
waktu itu melakukan politik mihnah (inquisition)yaitu
politik pemeriksaan keyakinan terutama para Ulama.
Para khalifah ini memaksakan agar seluruh umat Islam
dibawah kekuasaan mereka supaya menganut Mu’tazilah
sebagai mazhab teologi resmi negara kala itu. Setiap
warga yang memiliki keyakinan yang berbeda akan
disiksa dan dimasukkan ke dalam penjara. Salah satu
korban yang mengalami inquisisi itu adalah Imam Ahmad
ibn Hambal (pendiri mazhab fiqh Hambali).
Lalu bagaimana dengan dinasti Usmaniyah (Ottoman
Empire)? Dinasti ini juga punya cerita masa silam yang
kurang baik. Pada waktu tentara Yenniseri (tentara
sufi milik kekhalifahan) berhasil memperluas wilayah
jajahan Turki Usmani, belakangan para pemimpinnya
pecah yang menyebabkan para tentara sufi ini juga ikut
pecah. Perseteruan di tingkat komando militer waktu
itu justeru bukan persoalan strategi perang, tetapi
justeru terjadi karena persoalan jabatan dan
kekuasaan. Pertanyaannya, apakah perseteruan semacam
ini dianggap Islami? Tentu tidak. Para komandan
militer waktu itu justeru menggunakan para sufi (yang
hidup secara asketis)sebagai basis kekuatannya. Di
saat para sufi itu diajarin untuk hidup secara asketis
(zuhud), para pemimpinnya malah memperebutkan
kekuasaan. Dan masih banyak lagi peristiwa yang
terjadi di masa itu yang menurut saya tidak
mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa Hizbut Tahrir
(representasi kelompok radikal) menganggap bahwa
kejayaan Turki adalah kejayaan Islam? Sebenarnya,
hizbut tahrir hanya mengambil memontum kejatuhan
sistem khilafah pada waktu itu. Yang penting bagi
mereka adalah bagaimana membangun satu sistem
kekhalifahan Islam yang sentralistik dibawah satu
komando sebagaimana pernah digagas oleh Jamaluddin
Al-Afghani dengan konsep Pan Islamisme-nya.
Dari potret buram sejarah umat Islam di atas, apakah
sistem khalifah merupakan alternatif terbaik dalam
memperbaiki kualitas umat Islam dewasa ini? Bung bisa
jawab sendiri. Saya hanya mengungkapkan beberapa fakta
sejarah yang terkadang tertutup dan dibungkus rapi
dalam terminologi-terminologi agama lainnya. Apakah
kejayaan Turki dan juga dinasti sebelumnya adalah
kejayaan Islam? Bung bisa simpulkan sendiri dari
uraian di atas.
Pertanyaan kedua, apakah membangun dinasti
kekhalifahan merupakan perintah teks? Sepanjang yang
saya pelajari dalam fiqh siyasah (political science
versi Islam), tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur’an
yang membicarakan konsep negara dan kekuasaan. Hanya
ada dua ayat dalam Al-Qur’an yang secara eskplisit
mengungkapkan kata daulah (yang dalam bahasa Arab bisa
diterjemahkan sebagai negara). Namun kedua ayat itu
tidak sama sekali tidak terkait dengan konsep negara
dan kekuasaan. Ayat pertama bebunyi “likayla dulatan
‘inda al-aghniyai minkum” yang artinya agar
harta-harta itu tidak berkumpul pada kelompok
orang-orang kaya saja. Mafhum muwafaqah (makna
denotatif) ayat ini adalah penjelasan mengenai hikmah
membayar zakat bagi umat Islam. Ayat kedua berbunyi,
“wa tilkal ayyamu nudawiluha bainannas” yang artinya
demikianlah hari-hari itu kami putarkan di antara
manusia. Ayat ini hanya menegaskan bagaimana Allah
mempertegas pentingnya kita menghargai waktu. Lihatlah
kedua ayat itu, tidak satu pun di antaranya yang
memerintahkan untuk mendirikan pemerintahan Islam.
Lalu darimana mereka mendapat justifikasi untuk
mendirikan khilafah islamiyah. Menurut saya,
kelompok-kelompok itu menggunakan metode eklektisisme
dalam menafsirkan teks-teks agama. Dalam filsafat,
metode eklektisisme adalah metode yang berusaha
mengaitkan dan memaksakan keterkaitan satu fenomena
dengan fenomena lain, padahal fenomena-fenomena itu
jelas-jelas tidak terkait sama sekali.
Pertanyaan bung yang terakhir. Apakah di sana ada
kekerasan? Anda bisa baca dari penjelasan di atas.
Ingat bung, the power tend to corrupt. Apa pun
motifnya, dalam sebuah kekuasaan selalu ada kekerasan
dan ada uang yang menyelimutinya. Kekerasan yang
ditimpa oleh Munir, misalnya, tentu ada motif politik
di belakangnya. Begitu juga dengan kekerasan-kekerasan
yang terjadi pada masa dinasti-dinasti Islam itu.
Mengenai sejarah politik bung, saya setuju dengan Anda
untuk mengkritisinya. Selama ini, sejarah umat manusia
memang selalu dijejali dengan isu-isu politik. Yang
ada dalam sejarah kita hanyalah sejarah politik. Dalam
kasus PKI, misalnya, yang kita dengar lebih banyak
adalah perseteruan di tubuh dewan jenderal dan usaha
coup yang dilakukan oleh kelompok komunis. Kita jarang
sekali mendengar adanya sejarah sosial bangsa
Indonesia yang menceritakan pendidikan, kesehatan,
kesenian, dan juga sistem relasi antar individu pada
satu periode waktu tertentu. Pada masa PKI,
sepantasnya kita juga melihat sosok kehidupan
masyarakat kecil dan tertindas di masa itu. Sehingga
kita tidak hanya berkutat pada sejumlah nama saja
seperti Aidit, Untung, Subandrio, dan lain-lain itu.
Padahal, eksistensi kelompok itu tidak bisa kita
pisahkan dari kehidupan sosial yang mengitari mereka
pada waktu itu.
Dalam filsafat sejarah, saat ini berkembang satu
pendekatan sejarah baru bung. Para sejarawan
kontemporer sedang berusaha untuk mengembangkan
sejarah mentalitas dan sejarah sosial. Ada beberapa
buku yang ditulis dengan menggunakan metode ini. Untuk
sejarah Islam, misalnya, Ira Lapidsus telah menulis
sebuah buku yang cukup baik yang berjudul Sejarah
Sosial Umat Islam.
Bung Anto, tulisan ini bukanlah tulisan ilmiah. Meski
saya menyebut beberapa literatur dan tokoh yang
membahas masalah ini, namun ini tetap tidak ilmiah.
Saya menulis ini tanpa membuka buku sama sekali. Hanya
menuliskan apa yang saya ingat saja. Tulisan ini,
adalah sebuah manifestasi dari “kejantanan saya” untuk
mengupas potret buram sejarah Islam di masa lalu.
Silahkan mengeritik dan memberikan penilaian anda.
Wassalam,
Saleh PD
Nun jauh di Colorado.
pengen nonton, gw bosen nonton film2 amerika yg jagoannya punya 1000 nyawa (contoh: die hard, mi 1,2,3, rambo, dan lainnya) gw penggemar film perang2n, keknya seru nih, yg bajakan ada ga ya? yg ad teksnya… teks inggris jg gpp deh… besok keknya harus hunting di kota kembang nih 😛
mungkin untuk mengomentari komentar saleh (–guh).
wah, itu sejarah islam yg bung sebutkan perlu di periksa ulang. klo cuman mengandalkan tulisan2 yg bung sebutkan sangat riskan sekali. Jadi masuk pada penggelapan sejarah.
saya sudah banyak membaca referensi2 yg berbahasa arab. apa yg anda nukil adalah salah satu dari penggelapan sejarah, buah dari ketidak senangan klompok2 sempalan rezim penguasa2 sebelum islam melebarkan sayapnya. sehingga dimunculkanlah penilaian2 yg menggambarkan perpecahan yg fatal dan mendalam antar 2 kubu yg bertikai yg kesemuanaya adalah sahabat2 Muhammad yg mendapat pujian dari beliau sendiri. tanpa dapat menyebutkan siapa yg ada di balik layar, sebagaimana pada film lembah srigala diatas.
Apa yang dituliskan Saleh PD dari Colorado tidak benar. Tulisannya sangat tidak adil alias tidak fair. Sisi-sisi gelap Khilafah yang sejatinya tidak demikian, begitu dibesar-besarkan, seolah-olah Khilafah adalah sistem yang penuh kegelapan. Padahal jika kita fair dan adil justru sistem demokrasi kapitalismelah yang penuh dengan kegelapan dan ketidakbenaran. Penuh darah, pembantaian, pemerkosaan hak-hak manusia, penjajahan dll.
Saya harap sauadara Saleh PD tidak menyuarakan anti Khilafah, karena menegakkan Khilafah adalah kewajiban setiap Muslim, termasuk anda.