
INILAH faktanya: Islam selalu dihadap-hadapkan dengan produk pemikiran sekaligus produk politik yang berasal dari Barat, seperti demokrasi dan liberalisasi. Terlebih setelah blok Timur-Komunis yang sesungguhnya adalah lawan-sekandung blok Barat-Liberal runtuh di kurun akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Dalam kehidupan sehari-hari di kalangan Barat, Islam didefinisi sebagai pandangan hidup yang anti-demokrasi, dogmatis dan mengekang hak asasi manusia. Definisi ini semakin negatif setelah Amerika mengibarkan bendera perang-melawan-teroris pasca serangan yang menghancurkan WTC di New York, September 2001.
Bagi Presiden Bush dan Menlu Condoleezza Rice, bukan bagi orang-orang seperti Michael Moore, sutradara Fahrenheit 9/11 yang menentang perang-melawan-teroris, terorisme internasional dimotori oleh sekelompok orang yang beragama Islam dari Timur Tengah. Lebih detail lagi, terorisme internasional disponsori oleh Osama bin Laden, Thaliban dan Al Qaeda–yang suatu kali mendapat dukungan penuh dari Amerika dan CIA–juga semua orang Islam yang pernah bergabung dengan kelompok Mujahiddin di Pakistan dan Afghanistan saat perang besar melawan Uni Soviet berkobar di kawasan itu.
Islam, Masyarakat Sipil, dan Ekonomi Pasar
Atilla Yayla (Editor)
Friedrich Naumann Stiftung, Desember 2004
x + 140 halaman

Baru-baru ini penulis menemukan sebuah film berjudul Osama di Little India, Singapura. Tidak seperti Fahrenheit 9/11, Osama tampaknya dibuat untuk memperkuat alasan moral perang-melawan-teroris yang disponsori Amerika.
Film berbahasa Pasthun, suku terbesar di Afghanistan, yang diproduksi setelah Amerika menguasai Afghanistan itu bercerita tentang betapa kejam rezim Thaliban, dan betapa mereka tak menghargai sama sekali kaum wanita Afghanistan. Seorang bocah wanita berusia 12 tahun, bernama Osama, untuk mempertahankan hidupnya terpaksa mengubah penampilan seperti anak laki-laki dan masuk “sekolah militer” Thaliban. Rambutnya yang panjang dipotong pendek oleh sang nenek.
Di akhir cerita, penyamaran Osama terbongkar, setelah dia digantung di mulut sumur oleh para pelatih Thaliban. Pengadilan ala Thaliban hampir saja menjatuhkan hukuman mati bagi Osama. Sorry to say, untunglah seorang Mullah tua berjanggut putih, yang langkah kakinya sudah tertatih-tatih dan kalau berjalan tubuhnya bongkok, menyelamatkan gadis kecil itu. Osama lalu dibawa ke sebuah rumah yang ditempati istri-istri sang Mullah. Adegan film ditutup dengan senandung riang sang Mullah tua, sambil berendam di air hangat, setelah melewati malam pertama dengan Osama.
***
Buku Islam, Masyarakat Sipil, dan Ekonomi Pasar yang dieditori Atilla Yayla, seorang profesor politik dan ekonomi-politik dari Universitas Hacettepe, Ankara, Turki ini mencoba menjawab dua pertanyaan kunci yang memang terasa mengganjal berkaitan dengan cara pandang Barat atas Islam. Pertama, mengapa negara-negara Islam, terutama yang tersebar di jazirah Arab, seolah tak merespon ide demokrasi dan liberalisasi. Dan kedua, apakah Islam dan demokrasi punya peluang hidup bersama atau sesungguhnya memang bertolak belakang.
Chandran Kukathas, profesor filsafat politik dari Universitas New South Wales, Australia, dalam tulisannya di bab 3 mengatakan dirinya terdorong menjelaskan hubungan antara Islam, demokrasi dan masyarakat sipil, secara spesifik karena dalam dunia modern Islam ditempatkan sebagai sebuah bahaya. “Dari segi geopolitis Islam merupakan bahaya bagi Barat; dari segi sejarah dunia, bahaya bagi modernitas; dan dari segi filosofi merupakan bahaya bagi demokrasi. Bagi banyak orang, waktu itu, pandangan-pandangan Islam mempunyai hubungan yang tegang dengan—kalau bukan bahkan benar-benar antagonis dengan—demokrasi dan modernitas,” katanya. Islam juga, sebutnya lagi, diartikan sebagai “agama dan filosofi yang mundur ke abad pertengahan, dan rintangan bagi umat manusia”.
Masih kata Kukathas, ada dua pandangan mengenai posisi agama di dalam masyarakat modern yang harus ditolak. Pandangan pertama mengatakan agama mesti ditanggalkan karena tidak rasional. Sementara pandangan kedua menilai agama hanya penting bagi sebagian orang dan karenanya harus ditoleransi dalam batas-batas yang amat ketat. Perlu diingat, pandangan ini lahir dari rasa muak dunia Barat pada Abad Pertengahan yang menindas dan membenamkan mereka pada masa-masa kegelapan sebelumnya.
Kukathas menegaskan, Islam bukanlah bahaya dan tidak berbahaya seperti yang diandaikan dunia Barat. “Walau pun benar ada tiran-tiran Muslim, sebanyak, mungkin, tiran Kristen yang pernah ada, atau Hindu atau tiran sekular.”
Kukathas juga bercerita sedikit tentang sejarah Islam, yang amat jauh dari kesan angker dan anti-human. Islam, sebutnya lahir di abad ketujuh sebagai minoritas tertindas di Mekkah. Karena begitu tertindas, Muhammad sang pemimpin Islam, terpaksa membawa pengikutnya meninggalkan Mekkah menuju Yathrib atau Madinah. Di tempat itu, misi Muhammad dan Islam menemukan sinar terang dan masyarakat Islam berkembang luas. Sukses ini diikuti persoalan baru di depan mata Muhammad: bagaimana berurusan dengan berbagai orang, dan bagaimana bentuk “pemerintahan” yang bisa menerima semua keberbagaian atau perbedaan di tengah masyarakat.
“Tanggapannya adalah dengan mengembangkan suatu tradisi politis yang sangat menakjubkan (dalam hal) toleransinya terhadap komunitas non-Muslim.” Konsep pemerintahan ala Madina inilah yang di Indonesia di awal-awal gerakan Reformasi 1998 “diadopsi” dengan sebutan masyarakat Madani, yang juga dimaksudkan sebagai arti kamus bagi civil society.
Detmar Doering, Direktur Institut Liberal, Jerman, dalam tulisannya di bab berikut, menyadari dibutuhkan sejumlah syarat agar masyarakat sipil dan agama dapat bekerjasama dalam kedamaian. Misalnya, struktur komunal yang menyokong agama harus dijauhkan dari kekuasaan politik negara, yang berarti dibutuhkan pemisahan antara agama, institusi keagamaan dan negara.
Bagi Doering, yang berbahaya bukanlah moralitas agama, melainkan politik yang mengatasnamakan agama. “Teori Samuel Huntington, Clash of Civilization, yang dibesar-besarkan telah membuat kita lupa bahwa ketidaksukaan akan kekerasan terhadap seseorang dan milik pribadinya merupakan turunan dasar kebanyakan tipe moralitas yang ada, sekular maupun religius. Yang kita teliti hari ini lebih condong pada suatu pertikaian antara kelompok-kelompok kecil fundamentalis daripada pertikaian antar agama, atau pertikaian antara peradaban,” katanya. Rakyat Merdeka, 17 April 2005 [t]