Mengapa Bandit Bisa Berkuasa?

DI sekolah diajarkan, bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, yang diselenggarakan oleh rakyat dan bekerja untuk rakyat. Tapi bagi Eko Prasetyo, si penulis buku ini, demokrasi berasal dari rakyat, diselenggarakan para bandit politik, serta sama sekali tidak untuk rakyat!

Buku ini, aku Eko, berawal dari rasa kecewa karena perubahan politik yang berada di bawah panji-panji agung demokrasi telah “gagal”.

Rakyat yang menjadi merek dagang demokrasi, berangsur-angsur kian terpinggirkan. Yang meminggirkan siapa lagi kalau bukan pemerintahan bandit yang melegitimasi diri lewat suara rakyat dalam pemilihan umum. Modus peminggiran itu banyak ragamnya. Mulai dari menerapkan kebijakan pengurangan subsidi dengan alasan agar rakyat lebih mandiri (pengurangan subsidi harga BBM dilakukan dengan alasan agar orang kaya tak menikmati subsidi serupa!), hingga penggusuran pemukiman rakyat.

Demokrasi Tidak Untuk Rakyat!
Eko Prasetyo
Resist Book, Februari 2005
144 halaman

Lembaga hukum yang memperoleh nafas kehidupannya dari mantra demorkasi pun tak kalah mandul. Kinerjanya semakin buruk. Berkali-kali koruptor kelas kakap, yang biasanya adalah pejabat atau seseorang yang mendapat back up penuh kelompok pejabat, lolos dari lubang jarum pengadilan. Kasus-kasus pelanggaran HAM pun makin susah diusut.

“Buku ini merupakan pelampiasan dari kinerja buruk demokrasi, yang kini bukan dari rakyat untuk rakyat, tetapi dari penguasa untuk pengusaha,” kecam Eko.

Menurut Eko, ada banyak pemikir politik yang menaruh kekecewaan serupa terhadap wajah buruk demokrasi. Sebagian kekecewaan itu dipicu cara kerja demokrasi mementaskan pertarungan modal hingga perseteruan najis sejumlah kelompok kepentingan. “Keduanya melalukan pengkhianatan atas kedaulatan rakyat, dan keduanya menempatkan rakyat seperti secarik kertas suara.”

Carl Schmitt yang dikutip Eko, misalnya, menyesalkan cara pandang demorkasi liberal yang terlalu naïf. Politik, dari sudut pandang demokrasi liberal, telah diciutkan artinya, hanya sekadar menjadi “kegiatan instrumental untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri”.

Demokrasi liberal, sambungnya, telah menghilangkan makna sebenarnya dari sebuah permainan politik. Bagaimana mungkin, demokrasi menututp mata atas relasi kekuasaan yang sarat konflik? Bagaimana mungkin, demokrasi menaruh percaya bahwa kelompok-kelompok kepentingan yang bertarung secara perlahan-lahan akan berangkulan demi kepentingan rakyat?

Sebab dalam realita, politik adalah permainan keras merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Dus, “pemenuhan atas hak-hak tertentu akan mengakibatkan pengucilan atau pengurangan atas hak (kelompok) lainnya.”

Geoff Mulgan, teoritikus politik berikutnya yang dikutip Eko, dengan sinis mengatakan bahwa demokrasi, secara sadar, meniadakan kesetaraan partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan. Demokrasi yang awalnya berkeinginan mengurangi peran dan kontrol negara terhadap rakyat, justru tak pernah memberi kesempatan yang sama kepada rakyat untuk aktif. Demokrasi lebih memilih melahirkan kelas profesional politik. Mereka inilah yang mewakilkan (baca: menggantikan) rakyat dalam permainan politik yang sesungguhnya. Keberadaan mereka pun ditunjang oleh logika hukum oligarkhi. Profesional politik yang satu, melahirkan dan mewariskan prinsip-prinsip kerja mereka kepada profesional politik berikutnya.

Cikal bakal bandit politik muncul dan dipelihara—sehingga beranak pinak—di era Soeharto. Apa yang dilakukan Soeharto untuk melahirkan oligarkhi politik dengan karakteristik setia dan loyal tegak lurus terhadap dirinya? Pertama, membentuk pakta politik yang mengandalkan ancaman dan intimidasi dengan mesin utama militer dan aparat birokrasi. Serta tak lupa, Golkar yang didirikan untuk melegitimasi kekuasaan Orde Baru.

Langkah berikutnya yang dikerjakan mesin politik Orde Baru adalah mempraktikan sistim ekonomi fasis yang berorientasi pada akumulasi modal. Di satu sisi, sistim ekonomi Orde Baru memainkan sandiwara proteksionisme, tetapi di sisi lain menjalin hubungan yang erat luar biasa dengan kekuatan kapitalis global.

Pertalian dari proteksionisme dan jaringan investasi global ini melahirkan borjuasi pribumi yang loyal pada ideologi pembangunan yang memperlebar dan memperdalam jurang kemiskinan; aliansi birokrat sipil dan intelektual yang mengemban fungsi sebagai teknokrat dan stempel akademik; serta birokrat militer sebagai penjaga keamanan dan stabilisasi nasional, yang di saat bersamaan juga menjalankan bisnis dan berpraktik sebagai pemain politik.

Soeharto jatuh. Tapi sistim yang ditinggalkannya tidak lantas lenyap. “Praktik dukung mendukung politisi selalu diwarnai oleh uang. Dan siapa yang menjalankan uang? Tak lain mereka yang sering disebut para jago. Sekelompok orang yang terbiasa memanfaatkan dan menggunakan massa dalam tawar menawar politik. Massa yang dibayar ini dikendalikan, dimanfaatkan dan dipertaruhkan dalam arena politik secara liar.”

Oposisi yang loyo semakin menambah buram wajah demokrasi di republik ini. (Parlemen sejak awal tidak bisa dipercaya sebagai kendaraan rakyat dan bagian dari kekuatan oposisi. Sebab, mentalitas dan karakteristik politik yang mereka miliki sama dengan mentalitas dan karakteristik kelompok elit penguasa.)

Kelompok NGO pro-demokrasi, misalnya, terbuai rayuan kelompok funding yang menggunakan isu demokratisasi. Kebanyakan mereka tergiur oleh kenyataan akan besarnya dana “pendidikan pemilu” yang digelontorkan pihak donor asing. “Jika dulu mereka melalukan aksi konfrontasi, kini mulai menjalankan negosiasi, kompromi, bahkan kalau perlu menjalankan negosiasi dengan sektor negara,” tulis Eko.

Media massa, sebagai bagian dari mesin oposisi, juga mengalami nasib yang nyaris tak berbeda dengan kelompok NGO pro-demokrasi. “Apa yang penting bagi media bukan lagi diukur dari kemampuannya untuk mendorong kesadaran kritis rakyat, melainkan sejauh mana bisa meningkatkan oplah dan pemasukan iklan. Kompetisi tayangan televisi menunjukkan bagaimana media mulai menjauh dari realitas keseharian rakyat, lebih banyak menonjolkan mimpi dan merangsang konsumsi.”

Dalam banyak kasus, media memilih memandulkan diri karena merasa tak nyaman dibayang-bayangi hantu represi.

Gerakan mahasiswa pun tak kalah meloyonya. Mereka terkapar tidak oleh pemasungan politik, melainkan, oleh hantaman komersialisasi pendidikan. “Menaikkan ongkos yang mahal dan memperpendek waktu kuliah adalah taktik jitu untuk melumpuhkan gerakan mahasiswa.” Pada tahap berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami krisis kader.

Bagaimana dengan partai politik? Sama saja. Loyo. “Semarak partai politik secara berangsur-angsur telah menimbulkan ‘impian’ baru akan kursi kekuasaan yang bisa diraih siapa saja. Dengan menghembuskan basis ideologi baru yang disuntikkan kepada masyarakat, partai politik telah menjelma menjadi kekuatan baru yang berusaha memanipulasi kesadaran rakyat. Massa menjadi lapisan yang ditundukkan oleh slogan dan janji.” Rakyat Merdeka, 24 April 2005 [t]

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s