TERMEZ terlihat tenang.
Untuk mengamati kehidupan di sekitar garis perbatasan sebetulnya tidak perlu jauh-jauh hingga ke gurun dekat perbatasan Uzbekistan dan Tajikistan atau ke makam Bapak Termez. Beberapa pemukiman di pusat kota Termez berada persis di garis perbatasan.
Sabtu (3/11), pagi hari, saya mengelilingi beberapa pemukiman tersebut. Yang pertama saya kunjungi adalah Desa Pattakesar dan Desa Lilingrad. Empat orang laki-laki, penduduk sipil, tengah duduk di atas rel kereta api. Seorang diantara mereka berdiri menyandarkan tubuhnya pada sepeda. Sesekali mereka tertawa.
Di Desa Normansky, satu kilometer dari Desa Pattakesar sebuah truk tentara tengah berhenti. Saya mencium gelagat tidak baik. Supir taksi yang menemani saya minta balik kanan.
Lalu kami ke Desa Kerpichny, juga tidak jauh dari tempat itu. Beberapa anak kecil tengah bermain bola di pinggir rel kereta api. Sementara ibu-ibu mereka tengah ngobrol menghabiskan waktu pagi hari.
Di balik pagar kawat berduri dua orang tentara berdiri. Saya mengarahkan kamera ke mereka. Melihat saya, seorang tentara mengambil magazine, sarang peluru, dari saku kiri baju lorengnya, memasang dan mengokang Kalashnikovnya.
Moncong senjata buatan Rusia itu diarahkan ke taksi yang saya tumpangi. Mobil balik kanan. Si tentara dengan cepat melompati pagar, berlari memutar, berdiri tepat di depan taxi. Hanya lima meter. Kini Kalashnikovnya mengarah ke tempat saya duduk, di sebelah kanan sopir.
“Saya akan keluar,” kata saya pada Azim yang kemudian menterjemahkan kata-kata saya untuk supir kami, Alim. Karena usianya lebih tua, saya menyapa Alim dengan tambahan Jon mengikuti namanya. Menjadi, Alim Jon.
Alim Jon mengatakan sesuatu dengan airmuka serius.
“Jangan turun,” kata Azim menterjemahkan ucapan Alim.
Alim Jon pernah menjadi tentara, atau setidaknya ikut wajib militer. Dia tidak bisa menerima seorang tentara muda menghentikan taksi miliknya dan menodongkan senjata ke arahnya.
Tapi saya tak mau berspekulasi terlalu jauh. Ketegangan ini harus diakhiri dengan manis.
“Saya akan tetap turun,” kata saya lagi, dan langsung diterjemahkan Azim.
Lalu pintu mobil saya buka dan melangkah keluar sambil mengangkat kedua tangan.
Azim dan Alim Jon yang masih menggerutu mengikuti di belakang.
Saya mencoba menjelaskan bahwa saya adalah seorang wartawan, dan tidak punya senjata. Saya membuka jaket panjang yang saya kenakan dan memperlihatkan bagian dalam untuk memastikan bahwa saya tak punya apa-apa yang patut dikhawatirkannya.
Tetapi muncung Kalashnikov itu masing diarahkan ke dada saya.
Azim mengatakan, tentara muda ini marah karena saya memotret mereka. Dia minta agar film saya dimusnahkan.
Saya menolak. Lama kami bertahan dalam posisi seperti itu, dia menodongkan Kalashnikov dan saya bersama Azim dan Alim berdiri dengan dua tangan ke atas. Muncung Kalashnikov digerak-gerakan. Jari telunjuk tangan kanan tentara itu sudah menempel di pelatuk. Beberapa warga sudah berkumpul di sekitar kami, menonton kejadian itu sambil berteriak-teriak meminta sang tentara menurunkan laras senjata.
Kamera saya ambil dari kantong kanan. Dengan berat hati, di depan tentara itu saya keluarkan film dari kamera.
Lalu, dari arah belakang sebuah jip hijau meluncur dengan kecepatan tinggi. Empat tentara, dua diantaranya juga menenteng Kalashnikov, turun. Seorang dari mereka, sepertinya perwira, mengambil kartu akreditasi saya yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri Uzbekistan di Tashkent. Dia minta saya ikut ke markas tentara di dekat Desa Normansky.
Setelah dua jam di markas itu, saya dibawa pakai jip putih ke markas tentara berikutnya, Pos Militer 9221. Saya dimasukkan ke ruangan seluas dua kali empat meter. Tiga bangku mengelilingi sebuah meja kecil di bagian tengah. Beberapa perwira datang ke ruangan. Mereka mengajukan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya. Siapa saya, apa yang membawa saya ke Termez, apakah saya memiliki izin untuk mengambil foto di garis perbatasan atau tidak, dan sebagainya.
Satu jam kemudian pintu kembali terbuka. Dua orang laki-laki berpakaian sipil masuk. Seorang diantara mereka saya kenal sebagai Bachtiar Minglyv, seorang konselor urusan wartawan di Termez. Seorang lagi, saya kira dari Milliy Havsizlik Hizmati atau Slujba Natsionalnaya Bezapaznosti (SNB), semacam dinas intelelijen Uzbekistan. Sama seperti tentara-tentara sebelumnya, mereka juga menanyakan hal yang sama.
Saya diminta menulis sebuah surat yang ditujukan kepada Komandan Pos Militer 9221 Mayor Syaripov R. Isinya menjelaskan siapa saya, kapan saya tiba di Termez, apa yang saya lakukan di Termez, serta bagaimana pengalaman saya sepanjang hari itu sebelum ditangkap dan diamankan ke Pos Militer 9221.
Azim dan Alim Jon juga diminta menuliskan hal-hal yang sama, di ruangan terpisah. Kelihatannya, mereka ingin mengkonfirmasi apakah cerita kami berkesesuaian atau tidak.
Selain itu, saya juga diminta menandatangani pernyataan yang salah satu isinya kira-kira berbunyi seperti ini: agar peristiwa ini tidak merusak hubungan Indonesia dan Uzbekistan.
Setelah lebih dari empat jam ditahan akhirnya saya, Azim dan Alim dilepaskan. Kami meninggalkan pos militer itu dengan tertawa. Azim Jon masih agak gusar.
“Dasar anak-anak,” katanya merujuk pada si tentara muda yang berani menghentikan taksi milik seniornya. [guh]
One thought on “Pos Militer 9221”