




Kompas – Apabila Presiden Abdurrahman Wahid merealisasikan niatnya untuk tidak hadir dalam Sidang Istimewa (SI) MPR hari ketiga Senin besok, hampir dapat dipastikan pada hari Kamis (26/7), Indonesia memiliki Presiden baru, saat MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.
Hari berikutnya, Jumat, sudah terpilih Wakil Presiden baru yang akan mendampingi Megawati. Bahkan, penetapan Presiden dan pengangkatan Wakil Presiden bisa lebih cepat dilakukan apabila kerja Panitia Ad Hoc (PAH) Majelis dipersingkat.
Demikian dijelaskan Wakil Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) Khusus Badan Pekerja (BP) MPR Rully Chaerul Azwar, Sabtu kemarin, tentang jadwal acara SI MPR yang kemungkinan akan berubah pada Senin besok apabila Presiden Abdurrahman Wahid menolak hadir dalam SI MPR.
Sabtu kemarin, Presiden di Istana Negara menegaskan tidak akan hadir pada Rapat Paripurna MPR dengan agenda penyampaian pertanggungjawaban. Presiden menganggap rapat paripurna itu tidak sah karena melanggar Peraturan Tata Tertib MPR.
Rully menjelaskan, apabila Presiden Abdurrahman Wahid tidak hadir Senin besok, fraksi-fraksi menyampaikan pemandangan umum atas ketidakhadirannya. Pemandangan umum dilanjutkan hari Selasa (24/7) dan pembentukan PAH MPR untuk membahas Rantap MPR. Hari Rabu pembahasan pertanggungjawaban Presiden dan Rantap MPR. Pada Kamis, merupakan laporan PAH MPR kepada paripurna untuk meminta pendapat akhir fraksi MPR. “Pada Kamis malam, pengambilan keputusan penetapan Wakil Presiden (Megawati) sebagai Presiden baru,” katanya.
Sabtu kemarin, MPR menggelar SI MPR yang pelaksanaannya dipercepat dari tanggal 1 Agustus 2001. Sembilan fraksi MPR yang hadir, yakni Fraksi PDI Perjuangan, Partai Golkar, PPP, Reformasi, Partai Bulan Bintang, Perserikatan Daulatul Ummah, Kesatuan Kebangsaan Indonesia, TNI/Polri, dan Utusan Golongan, menyatakan bahwa rapat paripurna MPR adalah SI MPR.
Alasan percepatan, Presiden Abdurrahman Wahid dianggap melanggar Ketetapan MPR No VII/ MPR/2000 karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri. Dua fraksi tidak hadir, yakni Fraksi PKB dan PDKB. Fraksi PKB yang dikenal sebagai pendukung Presiden Abdurrahman Wahid menolak percepatan SI MPR, sedangkan Fraksi PDKB menganggap pengangkatan Chaeruddin tidak bertentangan dengan Tap No VII/MPR/2000.
Rapat paripurna yang dimulai pukul 09.30 dipimpin Ketua MPR Amien Rais, didampingi lengkap para wakilnya, yakni Sutjipto, Ginandjar Kartasasmita, Husnie Thamrin, Jusuf Amir Feisal, Hari Sabarno, Nazri Adlani, dan Matori Abdul Djalil.
Setelah Amien membuka sidang, seluruh fraksi diberi kesempatan menyampaikan pemandangan umum mengenai pelaksanaan SI MPR. Fraksi PDI Perjuangan yang mendapat giliran pertama, seolah menjadi penentu. Fraksi TNI/Polri yang memiliki 38 kursi di MPR juga membuat “kejutan” dengan menyatakan setuju bahwa rapat paripurna ini merupakan SI MPR.
Amien mengatakan, latar belakang dilaksanakannya rapat paripurna karena adanya perkembangan situasi dan kondisi yang semakin memburuk, selain terjadinya krisis konstitusional dan adanya pemimpin yang lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan. Untuk itu MPR memandang perlu mengundang anggota Majelis untuk rapat paripurna dalam rangka SI MPR.
“Ini langkah demokratis dan konstitusional, sebab MPR adalah lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan rakyat. Rapat paripurna dilaksanakan akibat tindakan Presiden yang mengancam keselamatan bangsa dan negara,” kata Amien.
Interupsi Forum UD
Sekjen MPR Umar Basalim membacakan tiga surat yang masuk, yakni dari PKB dan PDKB yang menyatakan tidak hadir, dan surat dari Forum Utusan Daerah (UD) yang meminta SI MPR mengagendakan pembahasan terhadap kemungkinan dibentuknya Forum UD menjadi Fraksi UD di MPR. Surat PKB menyatakan, partai ini tidak membenarkan dan tidak menyetujui percepatan SI serta tidak ikut serta dan tidak ikut bertanggung jawab atas seluruh ketetapannya. Dengan alasan berbeda, PDKB juga menyatakan tidak hadir. Tetapi salah seorang anggotanya, Astrid Susanto, hadir di Gedung Nusantara sebagai peninjau.
Tentang usulan Forum UD, Amien sempat menawarkan apakah usulan ini diselesaikan sekarang atau pada Sidang Tahunan 2001. Oesman Sapta, anggota UD dari Kalbar menginterupsi dengan mengatakan, sudah sepantasnya menghargai orang-orang daerah.
“Tidak ada salahnya kita meluluskan keinginan aspirasi seluruh daerah,” katanya. Bachtiar Ibrahim, anggota MPR UD Sumut menginterupsi dan mengatakan Fraksi UD harus dilahirkan secepatnya.
Sembilan fraksi MPR dalam pemandangan umumnya soal usulan Forum UD sepakat bahwa Fraksi UD akan dibentuk pada Sidang Tahunan MPR 2001, sebab SI MPR saat ini hanya mengagendakan pertanggungjawaban Presiden.
Soal rapat paripurna yang menetapkan SI MPR juga disetujui sembilan fraksi, termasuk Fraksi TNI/ Polri. Dari 601 anggota MPR-seluruh anggota MPR berjumlah 686-yang hadir, 592 orang menyatakan setuju rapat paripurna adalah SI MPR. Lima orang menyatakan menolak dan empat orang abstain. Mereka yang menolak dan abstain berasal dari Forum UD.
Fraksi PDI Perjuangan lewat juru bicara Sutjipno menyatakan tidak ragu lagi menyelenggarakan SI MPR yang membahas, mengkaji, dan mengambil keputusan yang berkenaan dengan rangkaian perbuatan dan sikap Presiden selama ini, yang berpuncak pada pengangkatan Chaeruddin selaku pemangku sementara Kepala Polri.
PDI Perjuangan meminta Presiden menyampaikan pertanggungjawaban 2×24 jam atau dua hari setelah pembukaan SI MPR. Fraksi Partai Golkar dengan juru bicara Rambe Kamarulzaman mengatakan, pengangkatan Chaeruddin pada hakikatnya sama dengan pemberhentian Kepala Polri S Bimantoro.
Fraksi PPP dengan juru bicara Lukman Hakiem Saifuddin menilai, pernyataan Presiden sering meresahkan masyarakat seperti ancaman mengeluarkan dekrit atau ancaman akan pisahnya sejumlah daerah. Menurut PPP, itu tidak pantas diucapkan Presiden.
Fraksi Reformasi dengan juru bicara Syamsul Balda menilai, kesalahan yang diulang membuktikan bahwa Presiden Abdurrahman Wahid secara sadar memosisikan dirinya sebagai kekuatan diktatorial yang otoriter dan melecehkan konstitusi.
Fraksi PDU dengan juru bicara Asnawi Latief berpendapat, situasi semakin memburuk yang membahayakan keselamatan bangsa dan negara, khususnya di lingkungan alat negara, dengan diangkatnya Chaeruddin.
Fraksi TNI/Polri dengan juru bicara Yahya Sacawiria berpendapat yang sama dengan fraksi-fraksi lainnya soal pengangkatan Chaeruddin. “Pengangkatan pejabat sementara Kepala Polri di satu sisi dapat menyelesaikan dualisme kepemimpinan Polri, tetapi pada sisi lain diliputi nuansa kepentingan politis yang berimplikasi luas dalam kehidupan berbangsa dan negara,” katanya.
Fraksi Utusan Golongan lewat juru bicara Ahmad Zaky Siradj menilai, selama dua bulan terakhir sejak ditetapkannya SI MPR, Presiden telah melakukan kebijakan, ucapan dan tindakan yang dapat memperburuk keadaan.
Darmansyah Hussein dari Fraksi PBB menegaskan, UUD 1945 beserta penjelasannya dan Tap MPR tidak secara tegas mengatur kapan SI MPR digelar setelah ada permintaan dari DPR. Konstitusi pun, katanya, tidak mengatur siapa yang akan mengundang SI MPR, tetapi hanya menyebutkan SI bisa digelar untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Juru bicara Fraksi KKI Ismawan DS berharap, waktu dua bulan yang digunakan BP MPR untuk mempersiapkan materi SI MPR dipergunakan oleh Presiden untuk melakukan perbaikan penyelenggaraan pemerintahan. “Bukan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang terjadi, melainkan justru situasi yang membingungkan,” katanya. (pep/tra/sah/ryi)