DI Indonesia, sejak peristiwa penculikan perwira tinggi TNI Angkatan Darat pada dinihari 1 Oktober 1965, komunisme menjadi musuh masyarakat nomor satu. Oleh Orde Baru sebagai otoritas negara pasca goro-goro itu, komunisme definisikan sebagai ideologi anti Tuhan yang membenarkan tindakan anarkis dan kekerasan untuk mencapai tujuan. Komunisme menjadi ideologi terlarang.
Tetapi, apa sebenarnya komunisme itu?
Awalnya, adalah filsuf asal Jerman Karl Marx (1818-1883) yang mengembangkan pemahaman “masyarakat tanpa kelas” sebagai tujuan ideologi perjuangan melawan penindasan kaum borjuis.
Bagi para pengagumnya, Karl Marx dipandang sebagai salah satu dari sedikit orang yang menentukan perkembangan peradaban dunia. Masyarakat tanpa kelas seperti yang dicita-citakannya hanya dapat diraih melalui perjuangan politik kaum buruh, kelompok masyarakat paling tertindas dalam setting industrialisasi Jerman saat itu.
Komunisme yang dianggap sebagai masterpiece Karl Marx selanjutnya diadopsi menjadi ideologi alternatif di hampir semua negara yang mengalami fase industrialisasi akhir abad 19 dan awal abad 20.
Kembali ke Indonesia. Komunisme menemui massa keemasan ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi partai politik terbesar keempat tahun 1955. Pada dekade 1960an PKI mengklaim memiliki pendukung hingga 20 juta orang. Sebuah kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Dengan jumlah itu, PKI menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah Partai Komunis Uni Soviet (marxisme-leninisme) dan Partai Komunis Cina (maoisme). Ketika PKUS dan PKC mulai berseberangan, PKI muncul sebagai kekuatan komunis yang berdiri sendiri.
Di mata lawan politiknya, kelompok agama dan kaum nasionalis-militeris, PKI tidak punya track record bagus. Ada tiga alasan. Pertama, komunisme diidentikan dengan athiesme yang menolak eksistensi Tuhan. Kedua, komunisme dianggap telah mengacak-acak kekuatan Islam dengan menyusup ke dalam tubuh Serikat Islam (SI) cabang Semarang atau SI Merah. Ketiga, PKI punya dosa politik yang tidak dapat diampuni, pemberontakan pada September 1948 di Madiun.
Dinihari 1 Oktober 1965 tujuh orang perwira TNI AD tewas di tangan PKI. Hanya dalam hitungan jam, TNI AD melakukan serangan balik, membuat PKI kocar kacir. Tidak mau ketinggalan, kelompok agama ikut di belakang TNI AD. Akhirnya, dari sebuah partai raksasa, PKI menjadi partai sakit yang menemui ajalnya beberapa bulan kemudian, di tangan pendiri Orde Baru, Letjen Soeharto, yang memanfaatkan Supersemar. Dia mengumumkan pembubaran PKI pada tanggal 12 Maret 1966.
Kebencian pada komunisme—yang tak teridentifikasikan itu—kembali muncul satu bulan terakhir ini. Adalah Aliansi Anti Komunisme (AAK) yang kembali meniupkannya. Tidak tanggung-tanggung, AAK melakukan sweeping terhadap buku-buku yang mereka nilai mengajarkan komunisme. Lebih jauh, AAK telah mendaftar beberapa orang yang dianggap mengembangkan komunisme. Untuk apa? Mau di-sweeping juga!
Menarik, karena AAK muncul di tengah perseteruan antara DPR dan Presiden Gus Dur yang pernah mendesak agar Tap MPRS XXV/1966 tentang pelarangan ideologi komunisme dan marxisme-leninnisme dicabut. Pembakaran amal usaha Muhammadiyah dan gedung Partai Golkar di Jawa Timur oleh massa pendukung Gus Dur pasca memorandum I juga dijadikan sebagai indikasi bangkitnya kembali komunisme.
Apakah AAK gerakan ideologis atau politis? Entahlah.
Pekan lalu AAK menggelar diskusi dengan tema “Bedah Politik Komunisme Gaya Baru”.
Ini diskusi yang menarik, terlebih karena AAK juga mengundang Romo Franz Magnis Suseno sebagai pembicara. Untuk dicatat, dalam deklarasi awal Mei lalu, AAK membakar buku Romo Magnis yang berjudul “Pemikiran Karl Marx”.
Pembakaran buku Franz Magnis Suseno ini dianggap aneh, karena di dalam buku itu Romo Magnis justru menelanjangi, paling tidak mendefinisikan kembali, pemikiran Karl Marx.
Mengenai pembakaran ini, pihak AAK mengatakan saat itu mereka butuh simbol. Nah, dipilihlah buku Romo Magnis yang judulnya merangsang ini.
Bagaimana reaksi Romo Magnis di kandang lawan. Berikut laporan Teguh Santosa.
Nasib Buku Franz Magniz
Sambil menenteng sebuah map putih, sosiolog yang juga rohaniwan, Franz Magnis Suseno SJ yang akrab di sapa Romo Magnis keluar dari ruang VIP lantai tujuh Hotel Wisata. Di depan Romo Magnis yang hari itu mengenakan t-shirt abu-abu putih vertikal, berjalan Ketua Umum Presidium Aliansi Anti Komunis (AAK) Abdul Muis. Dan di belakang Romo Magnis menyusul bekas Ketua Soksi yang juga pernah menjadi Gubernur Lemhanas Suhardiman.
Seperti biasa, Romo Magnis yang seluruh rambutnya sudah berwarna putih ini berjalan dengan langkah cepat. Selalu seperti terburu-buru. Namun belum lagi sampai ke kursi pembicara, di mulut pintu seorang peserta dikusi menghampirinya. Untuk beberapa menit Romo Magnis menjawab satu dua pertanyaan yang disampaikan peserta itu.
Si penanya agaknya masih belum puas ketika Romo Magnis meninggalkannya. Tetapi Romo Magnis memang tidak punya pilihan lain kecuali memenuhi permintaan pembawa acara agar segera menempati kursi yang sudah disediakan untuknya. Tinggal kursi paling kiri yang belum bertuan. Ke arah kursi itulah Romo Magnis melangkah.
Dari balik kacamatanya, sesaat Romo Magnis memperhatikan alas kursi kayu berukiran ala Jepara itu. Lalu duduk perlan-lahan, seperti menahan sesuatu dan sangat hati-hati. Begitu mendarat mulus, Romo Magnis menyilangkan kaki kanannya, menimpa kaki kiri. Kepalanya tegak, menatap peserta diskusi yang memenuhi ruangan Agung Utama. Senyumnya dilempar ke sana ke kemari lebih dahulu. Kepalanya mengangguk-angguk. Dalam hitungan detik, diskusi dengan tema seksi itu pun dimulai.
Romo Magnis menyempatkan diri untuk memperhatikan karangan bunga di sebelahnya, ketika pembawa acara mempersilakan Abdul Muis menyampaikan sambutan. Kedua tangannya digantung pada sandaran kursi. Puas mengamati karangan bunga, Romo Magnis menolehkan kepalanya ke arah podium di sisi kanan deretan kursi pembicara. Abdul Muis sedang bicara di sana. Menyipit, matanya menatap Abdul Musi tajam. Romo Magnis mengangguk-angguk kecil lagi. Tangannya segera sibuk mencatat beberapa point yang disampaikan Abdul Muis.
Setelah lima menit, Abdul Muis turun. Moderator diskusi Alex Paat yang juga pentolan SOKSI mengambil sebuah mikropon. Sedikit bercanda, Alex menyinggung rambut putih Romo Magnis. Lambang kesempurnaan hidup, kata Alex. Romo Magnis tersenyum lebar. Senyum lebar pertama siang itu.
Romo Magnis kembali mencatat beberapa hal yang disampaikan Alex. Maklumlah, bagi Romo Magnis diskusi siang itu sangat penting. Agaknya, Romo Magnis akan mengklarifikasi kerja ilmiah dalam buku “Pemikiran Karl Marx” yang dibakar oleh AAK.
Tidak berpanjang-panjang, Alex memberikan kesempatan pertama pada Romo Magnis.
“Saya menghargai undangan yang disampaikan AAK. Sebelum ini saudara Abdul Muis dan Naufal datang ke tempat saya untuk membicarakan soal pembakaran buku saya,” Romo Magnis membuka suara. Lalu berhenti sebentar. Nafasnya ditarik. Badannya semakin ditegakkan. Peserta diskusi ikut-ikutan menahan nafas.
“Dalam minggu-minggu terakhir ini saya berbicara cukup keras untuk ukuran saya. Mengapa? Karena saya heran, mengapa sedikit-sedikit ada Karl Marx, bakar,” suaranya meninggi.
Romo Magnis terus berbicara, memanfaatkan forum untuk mencurahkan keprihatinan sekaligus kekesalannya atas pembakaran buku yang dilakukan AAK yang mengatasnamakan gerakan anti komunisme. Sejak akhir April, tambah Romo Magnis, dirinya menerima selebaran yang berisikan daftar orang-orang komunis. Yang mengherankan penggemar nasi goreng ini, namanya tercantum di dalam daftar itu. Demikian juga dengan rekannya, Romo Sandyawan.
“Saya tidak tahu apakah AAK ada hubungan dengan selebaran itu. Tapi ini menggelikan,” tegasnya lagi. Selama bicara Romo Magnis tak mengubah sedikitpun posisi duduknya.
Terakhir, masih dengan nada suara yang terpaksa ditinggikan, Romo Magnis menggugat AAK.
“Saya keberatan terhadap AAK. Siapa yang memberi hak pada Anda untuk menentukan apa yang boleh saya pelajari atau tidak. Realitas intelektual ditanggapi dengan intelektual. Kalau Anda ingin komunisme tidak kembali besar, saya tidak keberatan. Gunakan cara-cara yang demokratis sehingga kita menolaknya dengan keyakinan. Terima kasih.”
Tepat dipuncak, Romo Magnis menghentikan orasinya. Peserta terdiam.
Romo Magnis membungkuk, meletakkan gagang mikropon pada sarangnya. Masih dengan tangan kanan, Romo Magnis meraih gelas di hadapannya. Seteguk air putih menyegarkan tenggorokannya setelah bicara berapi-api.
Manusia Gunung
Romo Franz Magnis Suseno yang dilahirkan di Eckersdorf Jerman 23 Mei 1936 ini mengaku punya hobi unik untuk ukuran seorang rohaniwan. Apa itu? Mendaki gunung, jawab Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara ini
Ketika masih menjadi warga negara Jerman, Romo Magnis yang mengubah kewarganegaraannya menjadi WNI tahun 1968 ini sering mendaki pegunungan Alpen di Swiss. Ntah sudah berapa kali pegunungan indah itu ia taklukan.
Bagaimana dengan pegunungan di Indonesia? “Gunung Semeru, Agung, Ciremei, Gede, Pangrango, Kerinci dan lain-lain yang saya lupa. Terakhir saya mendaki Gunung Welirang di Tretes, setahun lalu,” katanya.(GUH)