KABUL bagai kota tidak bertuan. Tidak jelas siapa yang berkuasa dan memerintah di ibu kota Afghanistan itu. Tidak jelas hukum apa yang dipegang masyarakat. Sekilas mirip hukum rimba. Siapa yang kuat, menang. Sementara yang lemah harus menyingkir atau mati berkalang tanah.
Orang-orang Afghanistan yang selama ini disebut media Barat sebagai kelompok manusia yang merindukan kemerdekaan, sekarang justru linglung di tengah ‘kemerdekaan’ yang baru mereka peroleh.
Kerusuhan terjadi di bioskop Bakhtar Cinema di kota Kabul dua hari lalu (19/11). Saat itu lautan manusia yang hendak menonton film Afghan berjudul Urudj atau Miraj berubah menjadi lautan amarah. Pasalnya, gedung hanya berkapasitas 650 kursi sementara yang ingin menonton ribuan orang. Kebanyakan karcis yang diedarkan tukang catut pun palsu.
Sebelumnya, beberapa laki-laki Afghan yang baru saja mencukur habis jenggot mereka bersorak kegirangan ketika seorang kawan membawa setumpuk foto wanita-wanita cantik berpakaian minim. Bagi mereka ini barang langka, nikmat pula. Foto-foto itui beredar dari satu tangan ke tangan lain. Seorang fotografer lewat. Lalu, jepret. Besoknya foto itu menjadi bagian dari kampanye ‘kemerdekaan’ baru ala Afghanistan tadi.
Aliansi Utara tidak bisa menyebut dirinya sebagai penguasa atas Afghanistan. Boro-boro mengaku sebagai penguasa Afghan, pertanyaan siapa itu Aliansi Utara sampai sekarang tidak bisa terjawab. Pasalnya, semua orang tahu, Aliansi Utara hanyalah sebuah koalisasi taktis faksi-faksi militer yang selama ini saling telikung.
Tidak jelas siapa pemegang komando atas Aliansi Utara. Terkadang Burhanuddin Rabbani, presiden yang digulingkan Taliban tahun 1996 karena praktek KKN, mengaku memegang kontrol atas Aliansi Utara. Tetapi pemimpin faksi militer suku Uzbek Abdurrashid Dostum lebih sering memimpin gerak pasukan.
Bekas gubernur Herat Ismail Khan juga seorang tokoh berpengaruh di komunitas suku Hazari. Ia tidak merasa perlu berhubungan dengan Aliansi Utara. Ismail Khan memimpin pasukannya bertempur melawan Taliban.
Bekas Raja Afghanistan Zahir Shah juga melirik kembali tahta yang ditinggalkannya tahun 1973 lalu. Begitu juga bekas pemimpin pasukan Mujahiddin Gulbudin Hikmatiyar yang mengusir Tentara Merah Uni Soviet dari Afghanistan tahun 1989.
Rabbani, Dostum, Khan, Zahir Shah dan Hikmatiyar bukan orang baru di panggung politik dalam negeri Afghanistan. Mereka pernah diberi kesempatan memimpin negara. Tetapi tidak becus. Mereka dianggap pemimpin yang tidak amanah. Mereka lebih suka memperkaya diri sendiri dan kelompoknya serta bertarung dengan kelompok lain. Sekarang, setelah Taliban menyingkir, mereka memulai kembali perang di antara mereka.
Amerika Serikat dan sekutunya adalah pihak yang paling diuntungkan. Mereka menunggu akhir dari perang saudara ini. Bila perlu Amerika Serikat akan membentuk pemerintahan boneka di Afghanistan. Persis seperti yang dilakukan Uni Soviet tahun 1979 lalu.
Lalu, sampai hari ini Amerika masih menjatuhkan bom di atas Afghanistan. Pejabat Gedung Putih dan Pentagon berdalih sedang mencari Osama bin Laden. Selama Osama belum tertangkap, kami akan terus menjatuhkan bom-bom kami apa pun akibatnya, kata mereka mengancam.
Begitulah nasib Afghanistan setelah ditinggal Taliban. Sementara para elit bertarung berebut kekuasaan, rakyat tidak terurus dan bertindak sesuka hati. Kurang lebih, tak ada beda dengan sebelumnya. [guh]