SEJARAH dan kekuasaan hanya dipisahkan oleh jarak setipis kulit bawang. Karena sejarah, menurut kaum bijak bestari, adalah catatan para pemenang yang berkuasa. Ini artinya, hanya Anda yang termasuk golongan pemenanglah—dan kemudian berkuasa—yang punya hak untuk menceritakan atau menuliskan kisah-kisah kemenangan Anda serta mengajarkannya di sekolah-sekolah.
Sementara pihak-pihak yang kalah sama sekali tidak Anda beri hak untuk menceritakan, bahkan, tentang kekalahan mereka. Dus artinya lagi, kisah kekalahan mereka pun haruslah sesuai dengan “jalan kekalahan” yang Anda inginkan.
Kekuasaan “sejarah formal” seperti ini, di saat bersamaan biasanya melahirkan pemberontakan “sejarah alternatif” yang awalnya tidak memunculkan diri, tetapi merambat menumpang tradisi lisan.
Tarakan, “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945)
Iwan Santosa
Primamedia Pustaka (Kelompok Gramedia Majalah), Maret 2005
190 + x halaman
Dari keinginan merebut “formalitas” bagi “sejarah alternatif” seperti itu, Iwan Santosa bergerak untuk menulis buku berjudul Tarakan, “Pearl Harbor” Indonesia (1942-1945). Menurut wartawan Kompas ini, sejarah Perang Pasifik sudah terlanjur di-Amerikanisasi. Akibatnya, sejarah Perang Pasifik melulu tentang kemenangan Amerika dan kekuatan Sekutu pendukungnya dalam menghadapi Jepang di ladang Pasifik. Icon-icon Perang Pasifik, menurut Iwan yang beberapa tahun terakhir ditugaskan di Pulau Kalimantan, sudah pasti adalah penaklukan Pearl Harbor, perebutan Iwo Jima, kembalinya Mac Arthur ke Filipina. Hingga episode sebelum layar ditutup: bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
“Sejarah ala Amerika ini menggambarkan Negeri Paman Sam yang bangkit, dari korban kekejaman agresor menjadi pahlawan perang mahakuasa. Catatan sejarah versi Amerika sedemikian rupa mengatur sudut pandang kita untuk membenarkan kedudukan Amerika sebagai “kubu demokrasi” menjadi korban kebrutalan “fasisme militer” Jepang,” tulis Iwan di bagian pengantar bukunya.
Sejarah Perang Pasifik yang konsisten dengan semangat Amerikanisasi ini, sambungnya, telah dengan sengaja melupakan motif yang melatari pergelaran mesin-mesin perang selama masa itu, yakni persaingan ekonomi antara kubu Amerika-Sekutu (ABDA: America, British, Dutch and Australia) dengan Jepang yang pada dekade 1930-an muncul sebagai negara industri di Asia.
Sebelum melirik Pasifik, tahun 1939 Jepang melebarkan ekspansi ekonominya hingga ke Siberia (Rusia) di luar wilayah kekuasaan mereka di Manchuria (China). Rusia pun murka dan memukul pasukan Hirohito kembali ke China daratan.
Setelah tak bisa bergerak ke utara, Jepang memikirkan cara baru: merengsek wilayah kepulauan terbesar di kawasan Asia. Tempat pertama yang mereka sasar adalah Pulau Tarakan. Pulau di pantai timur Kalimantan ini dipilih bukan saja karena letaknya yang lebih dekat dengan basis militer Jepang di Davao (Filipina), melainkan juga karena kualitas minyak buminya yang menurut pihak Sekutu adalah yang paling murni (purest).
“Kwaliteit minjak di Tarakan tjoekoep baik sehingga kapal-kapal besar bole ambil minjak dengan segra dan bisa dikasi masuk dalam tank dengan begitu saja,” sebut jurnal Amsterdam Effectenblad, bursa saham Belanda—yang saat itu menguasai Tarakan—di tahun 1932. Saking luar biasanya, antara kurun 1930-an hingga 1940-an produksi ladang minyak Tarakan bisa mencapai angka 80.000 ton per bulan.
Maka begitulah. Dinihari 11 Januari 1942, atau hanya sebulan setelah menghajar Pearl Harbor, balatentara Jepang yang berkekuatan 20.000 serdadu, gabungan dari Nihon Rikugun dan Teikoku Kaigun, mendarat di Tarakan yang hanya dijaga oleh tak kurang dari 1.300 serdadu KNIL Belanda plus para pekerja Bataafsche Petroleum Maatschapij (BMP)—perusahaan minyak Belanda—yang dalam semalam disulap menjadi milisi. Dalam dua hari Tarakan, yang letaknya tak begitu jauh dari blok minyak Ambalat yang sedang jadi bahan sengketa antara Indonesia dan Malaysia, pun jatuh ke tangan Jepang.
Penguasaan Tarakan menjadi jurus pembuka operasi Gurita Tengah (Central Octopus) yang diperkenalkan Panglima Angkatan Laut Jepang, Takeo Kurita. Dari Tarakan, pasukan Jepang memiliki kesempatan luas untuk bergerak ke selatan, ke sumber-sumber minyak lainnya: Balikpapan, Tanjung, Pangkalan Brandan, Palembang serta Cepu dalam serangan mematikan di Maret 1942.
Sejak hari itu, Tarakan yang sebelumnya “damai” dalam kolonialisasi Barat bagaikan pulau neraka yang sepanjang hari dihantui aksi pembalasan pihak Sekutu. Beberapa bombardemen yang dilakukan pasukan udara Inggris (RAF) membuat Tarakan menyala. Rakyat Merdeka, 13 Maret 2005 [t]