PEKAN lalu dari ponsel ke ponsel beredar sebuah pesan pendek (SMS). Bunyinya:
SBY: “Andi…! Bawa semua koran ke sini!” Dengan tergopoh-gopoh Andi Mallarangeng membawa semua koran. Presiden cuma membalik-balik halaman koran dengan tergesa-gesa. “Bawa lagi,” katanya dengan lesu. Hal itu terjadi setiap pagi. Sementara para jenderal setiap hari bertanya pada Presiden, “Kapan perang di Ambalat.” Dengan kesal Presiden menjawab, “Saya menunggu iklan Freedom Institute.”
SMS ini—entah siapa pengarangnya—cukup menggelikan. Dia menggambarkan “ketergantungan” sang presiden pada sekelompok cendekiawan dan orang terpandang yang bergabung di bawah bendera Freedom Institute untuk memutuskan apakah sengketa blok minyak Ambalat di Kalimantan Timur diselesaikan melalui jalan perang, atau tidak.
Menggugat Ketimpangan dan Ketidakadilan Ekonomi Nasional, Mengurai Benang Kusut Subsidi BBM dan Defisit APBN
Mubyarto (Editor)
Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM, Maret 2005
78 + vi halaman
Si pengarang SMS mengandaikan, sang presiden punya alasan menunggu-nunggu iklan Freedom Institute. Bukankah lembaga itu yang memberi “landasan moral dan ilmiah” dalam sebuah iklan satu halaman atas kenaikan harga BBM beberapa hari sebelum pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM secara resmi? Judul iklan lembaga yang pendiriannya diprakarsai Menteri Perekonomian Aburizal Bakrie itu juga tegas: “Mengapa Kami Mendukung Pengurangan Subsidi BBM”.
Nah, pekan lalu, Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PSEP) yang digawangi beberapa ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) meluncurkan sebuah buku yang dari judulnya tampak begitu bersemangat mematahkan logika yang digunakan pemerintah, juga ekonom pendukungnya, dalam mengurangi subsidi alias menaikkan harga BBM. Pemikiran pertama dalam buku ini disampaikan Mubyarto yang juga Kepala PSEP. Dalam bab yang berjudul “Kenaikan Harga BBM Tak Sejalan dengan Pemikiran Ekonomi Pancasila”, Mubyarto menjelaskan secara mendasar penyebab defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dijadikan pemerintah sebagai alasan utama untuk menaikkan harga BBM.
Sejarah defisit APBN dimulai di era Soekarno (1959-1966). Di masa itu, pemerintah menutup defisit dengan cara mencetak uang baru via Bank Sentral yang kemudian dihitung sebagai utang.
Di masa Soeharto, di saat sistim ekonomi mulai tergantung pada investasi asing, pemerintah menutup defisit dengan berutang pada luar negeri, baik negara atau dan lembaga donor internasional. Sebetulnya, menurut Mubyarto, utang tidak akan menjerat kalau digunakan untuk memacu produktifitas. Utang akan menjadi masalah apabila digunakan untuk kegiatan-kegiatan non-produksi seperti yang dilakukan pemerintah untuk menyelamatkan perbankan dalam negeri, baik plat merah maupun swasta, yang hancur menyusul krisis moneter 1997-1998.
Program itu sangat mahal, hingga mencapai angka Rp 600 triliun, dengan bunga rata-rata Rp 60 triliun per tahun yang harus dibayar alias dimasukkan dalam pos pengeluaran APBN. Angka ini sama dengan sekitar 20 persen dari total belanja negara.
“Jelas utang luar negeri pemerintah sekarang tidak saja tidak produktif, tetapi sebagian besar sangat keliru karena hanya membantu menyelamatkan bank, yang pada gilirannya berarti mensubsidi orang-orang kaya yang bermodal besar,” tulis Mubyarto.
Maka, alasan pemerintah menaikkan harga BBM untuk menutupi defisit APBN sangat tidak tepat dan tidak adil. Karena defisit APBN justru didisain untuk mensubsidi orang-orang kaya, sambungnya.
Di bagian akhir tulisan itu, Mubyarto meminta agar pemerintah meninjau ulang kenaikan harga BBM. Dia juga mencium gejala yang amat kuat bahwa pemerintahan saat ini lebih dikuasai “pemikiran pedagang” yang cenderung membela kepentingan pengusaha kuat.
Mubyarto juga mengutip kekhawatiran Adam Smith (1776) berikut ini. “Orang-orang dari bidang usaha yang sama jarang bertemu. Tetapi (kalau mereka bertemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dalam bentuk persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dalam cara-cara menaikkan harga-harga.”
Revrisond Baswir dalam bab “Mengapa Masyarakat (Perlu) Menolak Kenaikan Harga BBM?” memulai uraiannya dengan memaparkan produksi minyak Indonesia per hari. Untuk tahun 2003 dan 2004 produksi minyak nusantara mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barrel. Sementara proyeksi untuk tahun 2005 sebanyak 1,12 juta barrel.
Dengan asumsi kualitas dan harga lebih bagus, minyak tersebut diekspor ke negara lain. Sementara untuk memenuhi kebutuhan minyak domestik pemerintah mengimpor minyak dari Timur Tengah yang berkualitas lebih rendah.
Nilai ekspor minyak Indonesia, sebutnya, dibanding impor masih lebih tinggi. Tahun 2003 ekspor minyak senilai Rp 15,2 miliar (impor Rp 7,8 miliar), tahun 2004 ekspor minyak senilai Rp 19,6 miliar (impor Rp 11,5 miliar). Sementara proyeksi tahun 2005, ekspor sebesar Rp 19,7 miliar, dan impor Rp 11,3 miliar.
Jadi wajar, kalau harga minyak di dalam negeri lebih murah daripada harga minyak di pasar internasional. Maksud Revrisond, kenapa pula pemerintah sibuk-sibuk mengurusi harga minyak di sejumlah negara tetangga yang lebih tinggi.
“Mungkin benar bahwa subsidi harga BBM cenderung menimbulkan distorsi di pasar. Tapi apa salahnya “distorsi pasar”, jika hal tersebut bermanfaat bagi pengurangan beban hidup rakyat?” tanyanya.
Dia juga menyoroti kampanye yang dilakukan pemerintah menjelang kenaikan harga BBM. Dia bilang, kampanye pemerintah itu, selain cenderung mengeksploitasi kaum miskin dan memicu pertentangan kelas, secara keseluruhan sebenarnya hanya mengada-ada dan imajinatif.
Kebijakan penghapusan subsidi BBM ini pun, sebut dia lagi, berkaitan dengan Konsensus Washington yang tujuan dasarnya adalah untuk memeprbesar peranan mekanisme pasar dalam dunia ekonomi tanah air.
Sudah sejak lama perusahaan minyak multinasional seperti UNOCOAL Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf dan Shell memendam hasrat memperluas usaha di Indonesia. Mereka tidak puas dengan peranan sebagai kontraktor dalam eksplorasi minyak dan gas yang selama ini diberikan oleh UU Pertambangan Minyak dan Gas 44 Prp/1960 dan UU 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Dan kini mereka menemukan peluang itu melalui UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas.
Jadi, kesimpulan Revrisond, kenaikan harga BBM barusan adalah bagian dari rangkaian sistematis untuk meminggirkan rakyat Indonesia. Sambungnya, inilah jalan lurus menuju neokolonialisme alias penjajahan baru.
Selain Mubyarto dan Revrisond, penulis lain dalam buku ini adalah Edy Suandi Hamid (Mengapa Rakyat Tidak Mendukung Kebijakan Kenaikan Harga BBM?), Awan Santosa (Menggugat Sistem Perbankan Kapitalis), Hudiyanto (Mencabut Subsidi Atas Nama Rakyat) dan Ainun Na’im (Penghapusan Subsidi BBM dan Deregulasi Sektor Hilir Migas: Hati-hati dengan Kegagalan Pasar). Rakyat Merdeka, 20 Maret 2005 [t]