Kata Pengantar untuk buku “Anak Dusun Menjaring Impian: Sebuah Biografi Insan Bhayangkara”
TIDAK mudah menulis pengantar untuk biografi seorang tokoh publik yang dalam perjalanan kariernya menghadapi pusaran citra yang kompleks. Terutama ketika nama itu adalah Firli Bahuri, seorang perwira kepolisian yang pernah memegang jabatan-jabatan strategis di republik ini —dari Kapolres, Kapolda, Ajudan Wakil Presiden, hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebuah biografi bukan ruang pengadilan. Ia adalah ruang manusia. Ruang untuk memahami perjalanan panjang seorang anak kampung, lengkap dengan luka, batu sandungan, dan pergulatannya membentuk jati diri.
“Mein Jahrhundert” yang diinggriskan menjadi “My Century” dan kalau diindonesiakan menjadi “Abadku“. Karya Gunter Grass, sastrawan asal Jerman yang mendapatkan Nobel Sastra tahun 1999. Di tahun itu juga ia menerbitkan novel ini.
Saya lupa bagaimana bisa memiliki foto copy “My Century“. Tapi ia ada di dalam tas saya, saat bersama Surya Aslim, seorang teman baik yang sekarang menetap di Arab Saudi, mengunjungi rumah Pramudya Ananta Toer di Bogor.
Tujuh puluh tujuh tahun sebelum aku lahir di Medan, dia meninggal dunia di Friedrichsruh. Otto von Bismarck politisi hebat dari Prusia, Jerman kini. Jabatan tertingginya adalah Kanselir, dari 1871 sampai 1890.
Di era Perang Dunia Kedua, Adolf Hitler menggunakan namanya untuk sebuah kapal perang raksasa. Yang terbesar di dunia pada masanya. Dikerjakan galangan kapal Blohm & Voss dari tahun 1936 sampai 1939, dan mulai berlayar di bulan Agustus 1940.
“Kalau Tak Untung” karya Selasih, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1934. Ditulis Selasih setahun sebelumnya, novel ini berkisah tentang kasih tak sampai antara jaka dan dara, Masrul dan Rasmani.
“Selasih” adalah nama pena Sariamin Ismail tercatat sebagai novelis wanita pertama di Indonesia. Selain “Selasih”, nama pena lain yang sering dia gunakan adalah “Seleguri”. Konon ada kalanya dia menggunakan “Selasih Seleguri”.
Peluncuran dua buku, “Perdamaian yang Buruk, Perang yang Baik” dan “Buldozer dari Palestina” karya CEO RMOL Network, Teguh Santosa, di Jaya Suprana School of Performing Arts di Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta, pada Minggu (30/7) terasa tidak biasa.
Saya mengenal penulis buku ini. Abu Swandana ibn Siddiq, yang dulu biasa kami sapa dengan sebutan persahabatan Endon.
Dahulu penulis saya kenal sebagai seorang wartawan dan pekerja kreatif di media. Ia penuh dengan ide dan gagasan segar, yang dengan tidak banyak bicara dibumikannya, diwujudkannya.
Sejak beberapa tahun terakhir, mungkin sudah lebih dari satu dekade, Abu Swandana giat di dunia pendidikan. Ia berasal dari keluarga pesantren di Malang, Jawa Timur.
“Menggugat Indonesia Menggugat: Catatan dari Balik Penjara” karya tokoh pergerakan Syahganda Nainggolan ini sangat menarik untuk dibaca baik dari sisi gaya penulisannya yang bertutur, ringan, dan personal, maupun dari sisi subjek yang dikenal benar oleh sang penulis: Paradoks Demokrasi Indonesia.
Bagian utama dari buku ini adalah naskah pledoi atau pembelaan diri Syahganda dalam persidangan kasus ujaran kebencian yang dituduhkan kepadanya. Namun dengan berbagai pertimbangan pledoi yang telah dipersiapkan dengan sangat cermat itu tidak jadi dibacakan. Sebaliknya, ia membacakan pledoi yang lebih singkat namun juga mengena dan menjawab tuduhan yang dialamatkan negara kepada dirinya.
Alm. Letjen (Purn) ZA Maulani. Saya mengenangnya sebagai sosok yang santun, rendah hati, berpengetahuan luas, menghargai kawan bicara tua dan muda.
Alm. pernah memimpin Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dari Mei 1998 sampai November 1999 di era Presiden BJ Habibie. Menggantikan Letjen Moetojib dan digantikan Letjen Arie J. Kumaat. Di tahun 2001, Bakin berubah nama menjadi Badan Intelijen Negara (BIN).
KEINGINAN menerbitkan kumpulan reportase dari tepi sungai Amu Darya yang memisahkan Uzbekistan dan Afghanistan, mulai muncul di pertengahan 2018.
Ya, 17 tahun setelah saya berkunjung ke kota Termez di Uzbekistan pada bulan Oktober dan November 2001. Di kota kecil yang sedang merayakan ulang tahun ke 2.500 tahun itu saya menunggu kesempatan menyeberangi Amu Darya dan menginjakkan kaki di Afghanistan.
Jaya Suprana, Pendiri Museum Rekor Dunia-Indonesia
DI samping Kelirumologi, Humorologi, Alasanologi, Malumologi saya juga menggagas Andaikatamologi sebagai telaah melalui jalur andaikata terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di planet bumi ini.
SAYA termasuk orang yang senang meluapkan kegembiraan dan ikut bahagia setiap kali ada sejawat wartawan menulis buku. Buku adalah mahkota wartawan, kata ungkapan klasik.
SETIAP terjadi gejolak, wartawan bergolak. Dalam hatinya. Ingin terjun ke pergolakan itu. Melaporkan dari tangan pertama. Apa yang terjadi di sana.
Itulah yang dialami Teguh Santosa. Wartawan Rakyat Merdeka. Yang masih muda. Yang darah wartawannya terus bergolak.
Tahun 2001 Teguh nekat ingin ke Afghanistan. Meliput perang di sana. Tapi lewat mana? Lewat Pakistan? Lalu ke Peshawar? Masuk perbatasan?
Di situlah gejolak paling brutal. Mungkin sulit juga lewat Pakistan. Saya baca novel-novel tentang Afghanistan. Termasuk kisah penyelundupan manusia di perbatasan Peshawar itu. Menegangkan. Mengharukan.
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika (2014-2019)
PADA era yang disebut-sebut sebagai era post-truth saat ini, informasi menjadi senjata untuk menguasai. Pada era post-truth, informasi digelontorkan bertubi-tubi agar menjadi opini, tak peduli benar atau salah. Pada gilirannya, opini masyarakat atau seseorang terbentuk hanya oleh saking intensnya sebuah informasi terpapar, bukan oleh faktual atau tidaknya informasi tersebut.
Indonesia memiliki modal yang cukup untuk tumbuh menjadi bangsa dan negara terpandang di dunia. Founding fathers Indonesia merajut rasa kebangsaan di atas penderitaan hidup di bawah penjajahan bangsa asing, dan mendirikan negara untuk melindungi dan mensejahterahkan rakyat.
Setelah kemerdekaan diproklamasikan, rakyat Indonesia melanjutkan hidup sebagai satu bangsa yang sama. Perkawinan dan berbagai bentuk hubungan kekerabatan dan pertemanan membuat rajutan kebangsaan itu semakin kuat.
FOTO BERSAMA: Penulis buku Di Tepi Amu Darya, Teguh Santosa (kiri) berfoto bersama para pembahas bukunya yang memegang kaos bergambar sampul buku tersebut. (suaramerdeka.com / Hartono Harimurti)
Berpengalaman menulis konflik Afghanistan, yang kemudian dituliskan dalam buku berjudul ‘Di Tepi Amu Darya’, belum mendorong Teguh Santosa untuk menulis tentang konflik di dalam negeri. Teguh, wartawan senior yang kini CEO Kantor Berita Politik RMOL tersebut mengaku bahwa dirinya takut salah tulis bila menuliskan konflik nasional.
Persoalan politik rente di Indonesia sudah lama menjadi keprihatinan kalangan akademisi dan aktivis pro demokrasi.
Di era 1990an yang lalu Prof. Arief Budiman dalam salah satu bukunya yang berjudul Negara dan Pembangunan memperlihatkan bukti-bukti yang membuat proses pembangunan di Indonesia tersendat-sendat, tidak berkeadilan dan menyisakan jejak kesenjangan yang luar biasa. Continue reading “Ironi Politik Rente”
READING James Ferguson’s The Anti-Politics Machine: “development,” depoliticization and bureaucratic power in Lesotho (2005) reminds me of what the global developmentalist regime has done in Indonesia from the second half of 1960s until recent time; even though these two countries have different characteristics in many ways.
Nevertheless Ferguson’s presentation tells how the idea of developmentalism being spread through out what is then called and categorized the third world, developing, or under developed countries mostly in Africa and Asia. This idea has been used as political banners to widen and strengthen the developed countries’ power in the regions. Continue reading “Politik Anti-Politik”
JAMES C. Scott’s Domination and the Arts of Resistance: Hidden Transcript deals with conflicting circumstances between the powerful and powerless group, between colonizer and colonized people, between the rulers and the ruled. Continue reading “Question on Resistance and Hegemony”
INDONESIAN study was directly and indirectly shaped by dynamic of the conflict between the West-capitalist and East-communist blocks throughout the Cold War drama. Continue reading “Imagined Community, Imagined Study”
THIS is a colorful, sparkling, and rich narratives of how an imagination of a particular nationality, society, and polity has been assembled, shaped, campaigned and delivered by the radicals and avant-garde persons, scholars and political activists among the colonized people during the second half of the nineteenth century in an archipelago that later become the Philippines. The story line in this book is full of dramatic intrigues and conflicts, agreements and schisms, comradeship and resistances, treason, and sacrifices as well. The author, Benedict Anderson, once again shows his talent and capability to provide vivid and detail accounts about the making process of nationalism and external factor that influenced its trajectory.
TENTU seorang perempuan istimewa telah melahirkan Barack Obama—presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat. Dan buku ini memperlihatkan satu sisi perempuan berkulit putih yang bernama Stanley Ann Dunham itu. Continue reading “Resensi: Cerita Para Pandai Besi”
SUKSES Barack Husein Obama Jr dalam pemilu presiden AS membuat apa pun di sekitar dirinya menarik, termasuk buku Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriiving Against All Odds yang diterjemahkan menjadi Pendekar-Pendekar Besi Nusantara. Demikian juga buku yang ditulis Barack Obama sendiri yang berjudul Dreams from My Father yang juga menyebut sosok S. Ann Dunham, ibundanya. Continue reading “Resensi: Kisah Ibunda Barack Obama”
Penulis : S. Ann Dunham (Ibu Barack Obama, Presiden Terpilih AS)
Tebal : 220 halaman
Penerbit : Mizan Pustaka
Harga : Rp 44500.00
ISBN : 978-979-433-534-5