Dalam sebuah pertemuan antara pimpinan media grup kami dengan Prabowo di Hambalang menjelang Pilpres 2014, saya menjadi penanya atau komentator kedua.
Saya katakan pada Prabowo, bahwa saya tidak menyangka ia akan menyampaikan hal-hal yang disampaikannya dalam presentasi itu.
Tetapi, di sisi lain, saya katakan bahwa apa yang disampaikannya itu bagi saya bukan hal yang baru. Saya dan teman-teman sudah membicarakan sejak lama soal desain ekonomi (yang memang harus menjadi) neoliberalisme karena amandemen Pasal 33 UUD 1945.
Ini salah satu konsen utama kami di Universitas Bung Karno (UBK). Saya sendiri sampai kini masih menjabat sebagai Wakil Rektor UBK bidang Kerjasama.
UBK adalah (salah satu) elemen yang paling getol meminta agar naskah konstitusi kita dikembalikan ke naskah asli, 18 Agustus 1945.
Saya tambahkan, sebetulnya saya berharap mendengarkan apa yang akan dikerjakan olehnya apabila terpilih memimpin negara ini. Jadi, apa yang akan membuat Jenderal Prabowo berbeda dengan Jenderal SBY.
Atas komentar saya, Prabowo menjawab dengan nada lebih tegas.
Jawabannya seperti di dalam berita ini:
https://www.rmol.co/read/2014/03/16/147515/Prabowo-Ingin-Gabungkan-Kapitalisme-dan-Sosialisme-
dan ini:
Prabowo Ingin Gabungkan Kapitalisme dan Sosialisme
Tidak lama setelah pertemuan itu, Prabowo berkunjung ke rumah Mbak Rachma. Saya hadir, dan seingat saya ini adalah kunjungan pertama beliau ke Jatipadang. Fadli Zon juga hadir.
Dalam pertemuan di Jatipadang kami kembali membicarakan soal-soal yang terkait dengan desain ekonomi nasional kita.
Bedanya, kali ini ada Mbak Rachma yang barangkali lebih bisa dipercaya.
Saya katakan sedikit, bahwa hal-hal yang saya sampaikan di Hambalang dalam kesempatan sebelumnya, adalah pesan dari Mbak Rachma.
Buku “Paradoks Indonesia” diterbitkan tahun 2017. Saya senang karena di bagian akhir Prabowo sudah memasukkan soal dilema Pasal 33 hasil amandemen ini dan mengakuinya sebagai masalah utama yang kita sedang hadapi terkait disain ekonomi nasional.
Tetapi, ia masih menggunakan istilah “Ekonomi Konstitusi”.
Menurut hemat saya, ini istilah yang “keliru” dan menjadi sebuah paradoks tersendiri.
Setelah UUD 1945 (Konstitusi) diamandemen sebanyak empat kali sejak 1999 hingga 2001, disain ekonomi nasional kita memang memiliki karakter neoliberalisme. Ini artinya, dalam konteks Konstitusi yang telah diamandemen, disain ekonomi kita memang seharusnya neoliberalisme.
Kalau kita hendak menolak neoliberalisme (dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lain), maka karakter Pancasila harus kita hadirkan kembali lagi dalam Konstitusi, yang oleh Founding Fathers kita disebut sebagai “Sosialisme Indonesia”.
Soal ini penting untuk dipahami bersama, agar ketika merumuskan dan membicarakan jawaban-jawaban atas persoalan perekonomian kita hari ini, ada pijakan yang tegas. Sehingga rumus-rumus ekonomi yang hendak diambil juga akan terlihat lebih pro rakyat, berdimensi mandiri dan berdikari.
Sebagai perbandingan: saya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya Paket Ekonomi XVI pemerintahan Jokowi yang memberi kesempatan kepada asing menguasai 100 persen 28 cabang industri (sebelumnya 54), karena Konstitusi memang memerintahkan rezim ini (dan rezim manapun di bawah Konstitusi ini) untuk membawa Indonesia tergopoh-gopoh dan terseok-seok di atas jalan neoliberalisme.