Resensi: Cerita Para Pandai Besi

TENTU seorang perempuan istimewa telah melahirkan Barack Obama—presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat. Dan buku ini memperlihatkan satu sisi perempuan berkulit putih yang bernama Stanley Ann Dunham itu.

Buku ringkasan tesis doktoral Ann Dunham. Berisi pembelaan yang penuh perasaan dan hormat penulisnya kepada budaya pandai besi Nusantara.

Resensi ini dikutip dari Tempo.

Pendekar-pendekar Besi Nusantara: Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia
Penulis: Stanley Ann Dunham
Penerbit: PT Mizan Pustaka, Bandung
Terbit: November 2008, cetakan I
Halaman: 219

Beberapa tulisan di blog ini mengenai buku Ann Dunham:
Sisi Lain Obama: Cerita Alice alias Suratmi
Kisah Ibunda Barack Obama
Wartawan Rakyat Merdeka Tulis Kata Pengantar untuk Buku Ibu Obama
Pendekar-pendekar Besi Nusantara
Disertasi Ibu Obama Terbit di Indonesia

Ann yang sesungguhnya ibunda Obama itu selalu tertarik pada hal-hal asing, jauh dari asal-usulnya sebagai perempuan Amerika. Ia terpukau dan jatuh hati pada kehidupan dan budaya Indonesia, tempat ia melewatkan waktunya pada awal 1970-an dan akhir 1980-an.

Buku ini terbit pertama kali pada 1992, tiga tahun sebelum Ann meninggal karena kanker. Peasant Blacksmithing in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds merupakan ringkasan disertasi doktoral setebal 800 halaman di University of Hawaii, Manoa. Terjemahan buku yang memotret kehidupan pandai besi tradisional Jawa ini terbit dua bulan sebelum Obama dilantik.

Ann—kemudian dikenal sebagai Ibu Soetoro, setelah menikah dengan Lolo Soetoro—gemar turun ke desa. Penelitian tentang pandai besi ini ia lakukan di Desa Kajar, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, pada 1988. Ann sangat menghormati aturan dan tabu masyarakat setempat. Ia misalnya meminta seorang teman masuk ke tungku (dapur pengolahan biji besi) karena perempuan dilarang masuk ke sana.

Dalam sejarah Nusantara, terutama Jawa, pandai besi memiliki dimensi ekonomi, teknologi, dan kultural—berhubungan dengan ilmu kebatinan. Dalam bukunya, Ann berkenalan dengan dua empu keris sepuh dari desa. Dari situlah ia kian paham bahwa seorang pandai besi menggambarkan situasi anomali yang menarik.

Di balik status sosialnya yang rendah, merujuk pada keterangan Profesor Koentjaraningrat tentang pandai besi, Ann menunjukkan kesakralan posisi pandai besi—memiliki sifat keramat. Ann menduga mungkin saja para pandai besi di desa-desa di Yogyakarta itu keturunan pandai besi yang dulunya orang kuat di istana. Mereka menyebar ke desa-desa setelah Majapahit runtuh.

Buku ini jadi menarik karena perlawanan Ann terhadap teori J.H. Boeke, ekonom Belanda yang menulis tesis di Universitas Leiden pada 1910. Sebelum datang ke Hindia Belanda, Boeke menulis soal karakterisasi negatif orang pedesaan. Industri tidak menjadi denyut nadi kehidupan pedesaan dan, kalaupun ada, hanya menghasilkan uang yang sangat kecil.

Ann menilai Boeke keliru dalam melihat perkembangan industri dan usaha yang menghasilkan uang di pedesaan. Apalagi hingga 1870-an negeri Belanda sendiri belum mengenal mesin untuk mengerjakan industri keramik dan perkayuan mereka.

Ann juga mencela Clifford Geertz, yang mengiyakan Boeke serta memetakan kondisi dan masyarakat Indonesia masa kini dalam Agricultural Involution (1963). Ann menolak Geertz, yang menyebut Jawa sebagai ”antologi peluang yang terlepaskan”—pandangan yang dianggapnya menguatkan persepsi bahwa orang pedesaan itu pemalas.

Ann sangat menjiwai dunia pandai besi. Ia menjelaskan secara mendalam struktur tenaga kerja, upah, bagaimana buruh perempuan dan anak-anak ikut membesarkan industri ini, serta kendala yang dihadapi. Dengan fasih Ann menjelaskan mengapa industri besi di Jawa sangat terpengaruh oleh kualitas arang dan membandingkannya dengan pandai besi Minangkabau yang menyiasatinya dengan batu bara untuk pembakaran.

Yang unik, Ann juga menggunakan istilah ”petani pandai besi”. Ann beralasan petani tidak hanya digunakan untuk menjelaskan terminologi yang berhubungan dengan aktivitas agraris. Meski tidak dilengkapi penelitian lebih dalam mengapa industri besi di Nusantara punya daya tahan luar biasa terhadap gempuran zaman, buku Ann ini membuka mata tentang perajin besi, industri tua dan turun-temurun yang terlupakan. [Angela Dewi]

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

One thought on “Resensi: Cerita Para Pandai Besi”

  1. Aneh sekali kalau “peasant blacksmithing” diterjemahkan mennjadi “petani pandai besi”. Peasant dalam sosiologi pedesaan selalu diterjemahkan sebagai “buruh tani”. Ada penjelasan?

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s