KOPRAL Dua Ili Sadeli bersembunyi di balik sebatang pohon. Tanggal 3 Februari 1953, sekitar pukul 06.00 WITA. Pasukan TNI dari Divisi Infanteri Kujang 330/Siliwangi yang berkekuatan 19 orang tengah mengepung markas Kahar Muzakkar.
Hari itu bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri.
Setelah 14 bulan menyisir belantara Sulawesi akhirnya mereka menemukan markas sang Imam, pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Untuk mempersempit ruang gerak Kahar Muzakkar, pasukan Sadeli menggunakan formasi tapal kuda.
Ikuti edisi lengkap kisah misteri Kahar Muzakkar ini:
Sakit Gula, “Kahar Muzakkar” Meninggal Dunia
Misteri Kahar Muzakkar
14 Bulan di Belantara, Ili Sadeli Menembak Kahar Tiga Kali
“Dia Bukan Kahar Muzakkar, Dia Orang Banjar”
Dan tulisan pembuka:
Sepenggal Kahar Muzakkar di Parung Bingung
Ketika menceritakan kisah ini puluhan tahun kemudian (Pikiran Rakyat, 5 April 2003), Sadeli yang terakhir berpangkat sersan mayor mengatakan dirinya tidak mengetahui wajah Kahar Muzakkar si yang menjadi target utama mereka hari itu.
Yang dia tahu, di markas itu ada sekitar 20 anggota kelompok pemberontak, selain 140-an penduduk sipil.
Dari balik pohon, Sadeli melihat seorang anggota kelompok pemberontak keluar dari sarang. Laki-laki ini menenteng bren dan dua ransel besar, masing-masing di punggung dan dada. Baru saja Sadeli hendak mengejar laki-laki yang menenteng bren, seorang anggota kelompok pemberontak lainnya menyusul keluar dari rumah danmendekati pohon tempat Sadeli bersembunyi dan mengintai.
Tak mau kecolongan, Sadeli menyergap dan menangkap laki-laki itu. Secepat kilat ia menyarangkan tiga tembakan pistol hingga menembus jantung lawan. Laki-laki itu pun roboh.
Setelah lawan pertama terkapar, Sadeli melanjutkan niatnya mengejar laki-laki pertama yang menenteng bren dan dua ransel. Tetapi kali ini Thompson yang hendak dipakainya untuk menghabisi laki-laki itu ngadat. Dia akhirnya memilih kembali ke pohon yang tadi digunakannya sebagai tempat bersembunyi dan memeriksa kondisi mayat laki-laki kedua yang keluar dari markas di tengah hutan.
Sadeli masih ingat laki-laki itu memakai jam tangan bermerek Titus. Sadeli juga masih ingat sebuah pulpen Pelican terselip di kantong baju lelaki itu. Selain Titus dan Pelican, sadeli juga menemukan uang tunai sebesar Rp 65.000, jumlah yang amat besar saat itu.
Sesaat kemudian dia tersadar bahwa yang dihabisinya bukanlah pemberontak biasa. Melainkan sang Kahar Muzakar.
“Kahar beunang, Kahar beunang,” teriaknya ke arah kawan-kawannya yang juga telah melumpuhkan anggota kelompok pemberontak itu.
Selanjutnya sebuah helikopter dikirim untuk menjemput mayat Kahar. Sadeli ikut mengawal mayat itu hingga ke Makassar. Di atas helikopter, dia sempat berfoto dengan hasil buruannya.
“Rasanya amat bangga bisa menunaikan tugas-tugas negara, apalagi sudah 14 bulan hidup di tengah-tengah hutan,” kata Sadeli.
Sampai di situ Sadeli tak tahu lagi nasib mayat sang Kahar dibawa. Ia hanya mendengar kabar mayat Kahar Muzakkar dibawa pihak lain yang tidak dikenalinya. Sejak itulah (mayat) Kahar hilang. Tidak jelas dimana makamnya.
Cerita Sadeli ini kembali diangkat untuk melengkapi kisah tentang misteri Kahar Muzakkar dan seputar kematiannya yang sampai hari ini masih menyimpan misteri.
Hari Sabtu dua pekan lalu (5/8), seorang lelaki yang selama ini dikenal dengan nama Imam Besar Majelis An Nadzir Syamsuri Abdul Madjid alias Syekh Imam Muhammad Al Mahdi Abdullah meninggal dunia.
Beberapa tahun terakhir, oleh pengikutnya Syamsuri disebut-sebut sebagai Kahar Muzakkar yang selamat dari kepungan pasukan TNI yang berusaha menangkapnya hidup atau mati di Hari Raya Idul Fitri 1965 Masehi.
Kisah ini belum lagi selesai.