Sedikit tentang Sosialisme Indonesia yang Dibantai Demokrasi Ekonomi

Screen Shot 2014-11-16 at 12.49.53 PM

Sahabatku, empat asteriks pada kutipan pasal dan ayat dalam gambar ini menandakan bahwa ia adalah produk dari amandemen keempat 2001, amandemen terakhir sejauh ini.

Banyak yang mengatakan, di saat amandemen keempat itu, energi kelompok civil society yang nasionalistik sudah habis, sudah lelah karena berbagai drama politik sebelumnya.

Bahkan ada yang mengatakan, drama politik itu sengaja dibuat sedemikian agar air di kolam menjadi keruh demi mengaburkan pertarungan yang sesungguhnya: upaya melucuti semangat “sosialisme Indonesia” dari UUD 1945.

Prof. Sri Edi Swasono tidak termasuk dalam kelompok yang terjebak dalam kekalutan masa itu. Dia, dan beberapa ekonom nasionalis lain, menentang upaya kelompok ekonom pro pasar melucuti sosialisme Indonesia dengan menambahkan paham “demokrasi ekonomi” yang ditempatkan pada ayat keempat.

Demokrasi ekonomi ini sepintas tampak bagus. Mengapa harus ditentang. Hei, bukankah demokrasi selalu bagus?

Demokrasi (politik)  yang lahir di daratan Eropa sebagai antitesa terhadap monarki absolut ketika itu mengandaikan bahwa setiap individu punya hak dan kewajiban yang sama. Memiliki kebebasan yang sama, yang kini kita kenal sebagai liberalisme. Gagasan pembagian kekuasaan trias politika, human rights, civil society, dan segala yang kemudian kita pelajari sebagai pondasi demokrasi lahir dari semangat melawan kekuasaan yang terpusat tidak terbagi-bagi serta diwariskan turun temurun ini.

Demokrasi  (baca: liberalisasi bidang politik) punya semacam “saudara kembar”, yang disebut dengan “demokrasi ekonomi”. Ini adalah paham yang memberikan kesempatan yang sama untuk semua pelaku ekonomi. Masalahnya, tidak semua pelaku ekonomi memiliki kekuatan yang sama. Ada kelas kaki lima, ada kelas UKM, ada kelas korporasi raksasa, ada MNCs dan TNCs. Ada milik pribadi, ada (seharusnya) milik publik.

Fungsi negara selalu dipertanyakan. Apakah cukup sekadar menyediakan ring dan aturan main, serta mempersilakan siapapun kekuatan ekonomi untuk bertarung di atas ring itu. Atau, memberikan perlindungan khusus kepada kekuatan ekonomi kecil milik rakyat jelata, sehingga punya kemampuan minimal untuk bertarung dengan raksasa-raksasa?

Bahkan dalam primary election pilpres Amerika Serikat 2008, yang barangkali akan menjadi pilpres AS paling menarik dalam sejarah yang kita alami, persoalan ini muncul ke permukaan dan menjadi topik paling penting yang diperdebatkan dua pesaing dari Demokrat, Barack Obama dan Hillary Clinton.

Sebagai istri dari Bill Clinton, yang pada era 1990an aktif mempromosikan pasar bebas, tentu Hillary Clinton sebisa mungkin membela keyakinan “small-G” atau small government, yang mengandaikan bahwa negara dan pemerintah memiliki peran minimal dalam praktik ekonomi nasional. Negara dan pemerintah hanya menjadi penyedia ring dan aturan-aturan baku-pukul di atas ring itu.

Dampaknya, menurut Obama, pasar bebas akhirnya membunuh pelaku ekonomi kecil dan menengah di negara itu, serta menciptakan ketergantungan pada unit politik-ekonomi lain di luar AS. Obama sepintas menjadi pembela teori ketergantungan atau dependencia yang selalu curiga pada pendekatan pembangunan Barat yang menggunakan model Marshall Plan.

Teori dependencia populer pada era 1970an umumnya di Amerika Latin.

Menurut Obama, small-G harus direvisi. Pemerintah tidak bisa berpangku tangan menutup mata dan membayangan bahwa pertukaran nilai di antara warganegara berjalan dengan sempurna sebagaimana mestinya serta menciptakan kesejahteraan relatif, juga memperpendek gap kesejahteraan.

Negara dan pemerintah harus berperan besar. Small-G harus diubah menjadi Big-G. Dan saat berkuasa, Obama terlihat bergitu agresif mempraktikkan keyakinannya ini. Walaupun tentu saja perlawanan sengit dikibarkan kelompok penguasa tradisional di AS, senator dan pemangku kepentingan korporasi yang mengakumulasi kekuasaan mereka di Capitol Hill.

Dalam pertemuan APEC di Singapura beberapa saat setelah ia menjadi Presiden AS, Obama dengan tegas mengatakan bahwa gagasan pasar bebas harus direvisi. Apakah dia akan berhasil? Sejarah, atau apa yang nanti akan disebut sebagai sejarah, akan merekam dengan baik jawabannya.

Kembali ke urusan kita di Indonesia. Di tengah keputusasaan menghadapi serangan kelompok ekonom pro pasar, Prof. Sri Edi Swasono memanfaatkan lima menit terakhir sebelum pimpinan Sidang Panitia Ad Hoc I MPR RI ketika itu, Jacob Tobing, mengetuk palu.

Prof. Sri Edi Swasono mengusulkan agar ditambah kata “berkeadilan” setelah prinsip “efisiensi” yang menjadi salah satu dasar dari “demokrasi ekonomi” dalam rumusan ayat baru itu.

Efisiensi adalah salah satu keyakinan dalam praktik ekonomi. Kita semua mengenalnya sejak dari SD: dengan modal sekecil-kecilnya, mendapatkan untung sebesar-besarnya.

Efisiensi ekonomi pasar ini harus dibarengi dan dipagari dengan kata “berkeadilan”. Jadi, perlu tidak efiesien bila itu demi keadilan. Dan, efisien tapi tidak berkeadilan tidak bisa dibenarkan.

Itu lima menit terakhir, dan kebanyakan dari peserta Sidang PAH I MPR sudah tidak fokus lagi. Tak sedikit yang keluar dari ruangan karena ingin merokok, misalnya.

Tanpa banyak perdebatan, usul Prof. Sri Edi Swasono diterima.

Jadilah kata “berkeadilan” disandingkan dengan “efisiensi” yang menjadi salah satu dasar dari “demokrasi ekonomi”.

Di bandara Beijing, di PRC, dalam perjalanan pulang dari Pyongyang, Korea Utara, tahun lalu, saya bertanya pada Prof. Sri Edi Swasono, apakah upaya yang dia lakukan itu dapat meminimalisir dampak tak terbayangkan dari “demokrasi ekonomi” yang menjadi pintu masuk “neo liberalisme” itu?

Seingat saya, Prof. Sri Edi Swasono tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala.

Tetapi, sahabatku, setidaknya ia telah berupaya.

Nah, merujuk pada hal-hal di atas ini, aku punya keyakinan, bahwa “sosialisme Indonesia” seperti yang dicita-citakan pendiri bangsa (bukan hanya Sukarno) telah mati persis saat Jacob Tobing memukulkan palu menutup sidang hari itu.

Pasal 33, terutama ayat 4 inilah yang jadi masalah sistem ekonomi kita.

Membicarakan dan menentang UU lain yang kita bayangkan bertentangan dengan “hajat hidup orang banyak” adalah sia-sia belaka. Selagi pasal ini masih dibiarkan berada di situ.

Demikian sahabatku.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s