ENOLA GAY tiba kemarin pagi. Di halaman pertama saya menemukan tandatangan sang penulis, Paul W. Tibbets, tertanggal 9-12-02 dengan tinta biru.
Saya sedang terburu-buru dan tak punya banyak waktu. Maka di lobby Hale Manoa saya bolak-balik halaman demi halaman, meneliti daftar isi, lalu membaca bab paling akhir: 44 Epilog.
Pada bagian awal bab itu, Tibbets mengutip pidato Perdana Menteri Inggris, Winston S. Churchill, tanggal 16 Agustus 1945 di depan parlemen Inggris.
“There are voices, which assert that the bomb should never have been used at all. I cannot associate myself with such ideas. Six year of total war have convinced most people that had the Germans or the Japanese discover this new weapon, they would have used it upon us to our complete destruction with utmost alacrity. I am surprised that very worthy people, that people who in most cases had had no intention of proceeding to the Japanese front themselves, should adopt the position that, rather than throws this bomb, we should have sacrificed a million American and a quarter million British in the desperate battle and massacre of an invasion of Japan.
Future generations will judge these dire decisions, and I believe if they find themselves dwelling in a happier world from which world has been banished, and where freedom reigns, they will not condemn those who struggled for their benefit amid the horrors and the miseries of this gruesome and ferocious epoch.”
Menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki bagi orang-orang seperti Churchill adalah sebuah pilihan klasik dalam perang: dibunuh atau membunuh.
Faktanya, kedua bomb itu menjadi babak penutup Perang Dunia Kedua. Jumlah orang yang tewas pun menjadi tak penting lagi; kelak ia hanya sekadar menjadi bagian dari cerita di masa lalu.
***
Membaca pernyataan Churchil membawa ingatan saya pada pembicaraan dengan Profesor Richard W. Chadwik di ruang kerjanya beberapa hari lalu. Chadwick bercerita tentang pernyataan Presiden AS Harry S. Truman setelah Amerika sukses menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.
Kata Truman bom atom di Hiroshima adalah pembalasan yang setimpal atas serangan mendadak Jepang terhadap pangkalan militer Amerika di Pearl Harbour, Desember 1941.
Dan keputusan untuk menjatuhkan bom itu sesingkat jentikan jari.
“Can you believe that?” tanya Chadwick sambil menjentikkan jarinya. “Ini sekali lagi memperlihatkan betapa politisi adalah short-time thinker.”
Lantas mengapa Amerika masih menjatuhkan bom atom di Nagasaki?
Truman, masih cerita Chadwick, menjawab: “Saya kira itu bagian dari rencana.”
Di Hiroshima, 6 Agustus 1945, “Little Boy” menewaskan 70 ribu orang, melukai puluhan ribu lainnya. Kota itu hancur berkeping-keping. Di akhir 1945 jumlah korban tewas akibat luka bakar, radiasi, dan berbagai penyakit yang ditimbulkan reaksi bom atom bertambah hingga 140 ribu orang, dan di tahun 1950 menjadi 200 ribu orang.
Di Nagasaki tiga hari kemudian, 9 Agustus 1945, “Fat Man” menewaskan antara 40 ribu hingga 75 ribu orang. Sampai akhir 1945 jumlah korban tewas akibat “Fat Man” bertambah menjadi 80 ribu orang.
Lima hari setelah bom atom kedua dijatuhkan Amerika Serikat, tanggal 14 Agustus 1945 Kaisar Hirohito mengibarkan bendera putih.
“Moreover, the enemy now possesses a new and terrible weapon with the power to destroy many innocent lives and do incalculable damage. Should we continue to fight, not only would it result in an ultimate collapse and obliteration of the Japanese nation, but also it would lead to the total extinction of human civilization.
Such being the case, how are We to save the millions of Our subjects, or to atone Ourselves before the hallowed spirits of Our Imperial Ancestors? This is the reason why We have ordered the acceptance of the provisions of the Joint Declaration of the Powers.”
***
Tibbets, si penulis buku ini, adalah saksi kunci dari peristiwa pengeboman Hirsohima. Dialah pilot dan komandan yang memimpin penyerangan itu. Enola Gay diambil dari nama ibunya, ditulis dengan huruf besar di bagian bawah lambung depan pesawat pengebom buatan Boeing berseri B-29 bernomor punggung 82.
Dari bab 44 Epilog, saya membuka bab 30 Using Every Inch of the Runway, membacanya sambil berjalan kaki menuju halte bis di Sinclair Circle.
Pukul 2.45 dinihari, ketika itu, di pangkalan Composite Group ke-509 di Pulau Tinian, di Laut Philipina.
Ini memang misi kesekian bagi Tibberts. Tetapi ia sadar bahwa kali ini misi yang diembannya tak sama dengan misi-misi sebelumnya. Lebih dari itu, ini adalah misi rahasia. Bahkan tak semua awak pesawat yang mengikuti misi kali ini paham betul apa yang mereka bawa.
Dia berusaha sekuat mungkin menghilangkan grogi. Mereka sudah latihan sebelas bulan lamanya. Namun tetap saja tangannya basah berkeringat. Berat bom yang dibawanya hanya 50 pounds, tapi punya daya ledak setara 40 juta pounds TNT. Sebegitu hati-hatinya Tibbets saat tinggal landas, sampai-sampai ia menggunakan hampir semua inch of the runaway.
Tak lama setelah meninggalkan Tinian, mereka melintasi Saipan, pulau kecil lain di Pasifik yang juga memegang peranan penting dalam Perang Dunia Kedua. Tibbets masih ingat, navigator Van Kirk yang duduk di sebelahnya salah menuliskan kata Saipan.
“Siapan,” tulis Kirk dalam catatan perjalanan mereka.
Enola Gay tak terbang sendirian. Tiga B-29 lain menyusul mereka di belakang, The Great Artiste, sebuah B-29 tak bernama, serta Top Secret.
Tiga jam sebelum mencapai sasaran, Enola Gay berada persis di atas Iwo Jima.
“As wee leave of Iwo Jima, we were slightly more than three hours away from our target. Our target? We weren’t sure at this time where we were going or what unlucky city our atomic lighting would strike. It would be one of three: Hiroshima, Kokura, or Nagasaki.”
Satu jam sebelumnya, tiga pesawat yang lebih kecil telah lebih dahulu terbang untuk memantau cuaca tiga kota yang menjadi kandidat sasaran dinihari itu. Target pertama adalah Hiroshima. Bila cuaca di atas kota Hiroshima dilaporkan cerah, maka bom akan dijatuhkan di sana. Bila cuaca dilaporkan tidak cerah dan menghalangi pandangan Enola Gay, maka kota berikutnya, Nagasaki yang akan dilirik. Bila cuaca di di atas Nagasaki pun tak menguntungkan, maka Enola Gay akan menuju kota terakhir, Kokura.
***
Sampai sini, bis A datang. Setelah menyelipkan dua lembar satu-dolar dan menerima transfer ticket dari supir serta mengucapkan mahalo, saya menuju kursi di bagian belakang dan mulai membaca bab 31 My God, What Have We Done?
Satu jam sebelum Enola Gay tinggal landas, tiga pesawat yang berukuran lebih kecil lebih dahulu take off. Ketiga pesawat ini dikirim untuk memantau cuaca di tiga kota itu. Straight Flush memantau Hiroshima, Jabbitt III menuju Kokura, dan yang terakhir Full House menuju Nagasaki.
8.30 pagi waktu di jam tangan Tibbets, atau 7.30 pagi waktu Jepan, Straight Flush mengirimkan kabar: cuaca Hiroshima terang.
“It’s Hiroshima,” kata Tibbets kepada semua krunya melanjutkan kabar dari Straight Flush.
Bersamaan dengan itu Enola Gay menambah ketinggian 30.700 kaki. Ini adalah ketinggian yang diperkirakan aman untuk menghindarkan gelombang balik dari ledakan bom, dan juga diperkirakan aman dari serangan pesawat-pesawat tempur Jepang yang merasa pesawat musuh di ketinggian itu tidak membahayakan. Dan karenanya, pesawat tempur Jepang tak mau membuang tenaga untuk menghadang.
Sementara dari ketinggian seperti itu, kata Tibbets, sasaran bom hanyalah gedung-gedung, jembatan, jalan raya, pelabuhan. Walaupun tentu saja ada manusia di bawah sana.
“The tragic consequences of humanity are erased from one’s thought in wartime because war itself is a human tragedy,” tulisnya.
***
Saya kembali berhenti membaca. Bis A sudah sampai di persimpangan Kapiolani dan Keeaumoku. Saya turun di halte, menyeberang jalan sambil setengah berlari menuju toko Apple di kompleks Ala Moana.
Setelah mendapatkan apa yang saya cari, voice recorder Belkin untuk iPod saya, saya segera meninggalkan Ala Moana. Mission accomplished. Mungkin seperti Tibbets dan Enola Gay setelah mereka menjatuhkan “Little Boy”. Dalam perjalan pulang, saya tak sempat membaca Enola Gay. Sebagai gantinya saya sibuk mencoba-coba voice recorder baru itu.
Siang harinya saya berjanji akan bertemu dengan Profesor Alice Dewey dari Jurusan Antropologi. Dan saya ingin merekam pembicaraan penting dengannya.
Bab 31 buku Enola Gay baru selesai saya baca tadi pagi, beberapa saat sebelum seorang teman menghubungi saya karena hendak mengembalikan dua wayang dan bendera merah putih yang dipakainya untuk presentasi di kelas kemarin.
Setelah mandi, barulah saya menulis posting ini.
***
Jadi, kata Tibbets, perang adalah tragedi kemanusiaan. Dan karenanya, gambaran tentang manusia yang jadi korban dalam perang dengan sendirinya terhapus dari benak.
Sebelum melepaskan “Little Boy”, Tibbets meminta semua awak Enola Boy untuk mengenakan kacamata mereka. Sinar yang dihasilkan ledakan bom atom akan sama terangnya dengan sepuluh kali sinar matahari. Melihat langsung sinar itu tanpa perlindungan dapat mengakibatkan kebutaan.
Lalu bom pun dijatuhkan. Kepada teman-temannya Tibbets berkata, “Fellows, you have just dropped the first atomic bomb in history.”
Setelah itu mereka menunggu gelombang balik ledakan yang diperkirakan akan menghantam tubuh Enola Gay satu menit kemudian. Menurut para ahli fisika yang ikut merancang serangan ini, gelombang balik itu tidak akan berbahaya. Tetapi siapa yang tahu sampai ia benar-benar menghantam Enola Gay.
Hanya Bob Caron, yang berada di bagian belakang pesawat yang dapat menyaksikan ledakan itu dan sinar terang yang dihasilkannya.
Satu menit kemudian, sembilan mil jauhnya dari aiming point, gelombang itu menghantam tubuh Enola Gay. Disusul gelombang kedua, an echo effect, yang lebih kecil. Lalu Enola Gay memutar dan kembali ke arah Hiroshima untuk menyaksikan kehancuran yang baru saja mereka ciptakan.
“A feeling of shock and horror swept over all of us. My God… Whatever exclamations may have passed our lips at this historic, I cannot accurately remember. We were all appalled and what we said was certain to have reflected our emotions and our disbelief.”
Rekaman pembicaraan yang terjadi selama misi pengeboman ini diserahkan ke pangkalan Tinian setelah Enola Gay mendarat. Dan sejak itu, rekaman pembicaraan tersebut, bersama dengan ekspresi “emotions and disbeliefs” yang ditampakkan Tibbets dan krunya saat melihat kehancuran Hiroshima hilang entah kemana.
Beberapa jam kemudian, Presiden Truman yang dalam perjalanan pulang dari Konferensi Postdam menyambut gembira sukses Tibbets dan Enola Gay.
“This is the great things in history,” kata Truman yakin.
Dan saya kembali teringat pembicaraan dengan Chadwick, juga paper yang harus saya serahkan kepada Chadwick sebelum meninggalkan Hawaii.
Duh. 🙂
Saya senang sekali baca blog Anda.
1 hal di benak saya, Anda orang Pintar.. he he
Senang bisa ketemu blog ini..
saya baru membacara komentar anda ini. terima kasih sudah sudi singgah di blog ini..
Sedikit koreksi, bomb atom yang dibawa Enola Gay bukan berukuran berat 50 pounds atau setara 25 kg seperti tertulis diatas, tapi mempunyai berat 8.900 Pounds yaitu setara dengan 4.000 kg.
Daya ledakpun bukan setara dengan 40 juta pounds TNT tapi berkisar antara 13 – 18 kiloton TNT. (Sumber Wikipedia) 🙂
Terima kasih atas informasi ini. Saya baru melihat halaman Wikipedia yang Anda maksudkan.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:PeJ1L_9Ln7QJ:en.wikipedia.org/wiki/Little_Boy+enola+gay+little+boy+wikipedia.&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=id&source=www.google.co.id
Adapun informasi yang saya tulis mengenai berat dan dayaledak Little Boy dalam artikel di atas saya ambil dari buku Tibbets, “Enola Gay” halaman 216. Tibbets yang memimpin misi mengatakan bahwa selama latihan, ia diberi tahu berat bom yang dibawanya ini kurang dari 50 pounds dan memiliki dayaledak (power) 40 juta TNIT. Berikut kutipannya:
“The explosive material in this bomb weighed less than 50 pounds–yet I had been told that it had the power of 40 millions pounds of TNT.”