Sekali Lagi, Hawaii Menggugat

“SERING KALI perjuangan dan perlawanan diajarkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengalami dan merasakan penindasan,” kata Haunani-Kay Trask tajam.

Pandangan matanya disapukan ke sekitar 15 mahasiswa yang hadir di  ruangan 207, Center for Hawaiian Studies (CHS). Rambutnya yang sebagian telah memutih dibiarkan tergerai. Ia mengenakan kain ungu yang disilangkan ke belakang leher. Sementara bahunya yang telanjang dibungkus pashmina krem.

“Sehingga penting bagi indigenous people untuk membebaskan pikiran dan kesadaran mereka dari penjajahan. Hanya pengalaman dari kaum tertindas yang berarti dalam perjuangan,” sambungnya.

Pengampu mata kuliah POLS 620 Introduction to Indigenous Politics ini dikenal sebagai profesor yang suka berbicara apa adanya, apalagi bila itu berkaitan dengan perlawanan native Hawaiian terhadap penjajahan Amerika Serikat. Haunani-Kay pernah menduduki kursi direktur CHS antara 1988-1998. Kini dia dikenal luas  di panggung internasional sebagai salah seorang pemimpin dan penstudi native Hawaii. Dia disejajarkan dengan aktivis seperti Malcolm X, Franz Fanon dan penulis Kenya Ngugi wa Thiong’o.

Lahir di California, 3 Oktober 1949, Haunani-Kay menyelesaikan SMA di Kamehameha  School di Honolulu tahun 1967. Setelah itu dia menlanjutkan studi di  University of Wisconsin-Madison dan mendapatkan gelar sarjana tahun 1972, disusul master’s degree tahun 1975. Program doktorat di universitas yang sama diselesaikannya tahun 1981. Eros and Power: The Promise of Feminist Theory adalah judul disertasinya yang diterbitkan sebagai buku oleh University of Pennsylvania Press tahun 1986.

Selain itu dia juga seorang penyair. Dua buku kumpulan puisinya yang terkenal adalah Light in the Crevice Never Seen, dan Night is a Sharkskin Drum. Di tahun 1993, dia menjadi co-producer dan scriptwriter filmAct of War: The Overthrow of the Hawaiian Nation.

Modern Hawaii, like its colonial parent the United States, is a settlers society; that is, Hawaii is a society in which the indigenous culture and people have been murdered, suppressed, or marginalized for the benefit of settlers who now dominate our islands,” tulis Haunani-Kay di “From a Native Daughter“, bukunya yang menyoroti secara kritis pendudukan Amerika Serikat atas kepualaun Hawaii.

Di tahun 1993 lalu dia menjadi salah seorang pemimpin demonstrasi raksasa yang dihadiri ribuan native Hawaiian untuk memperingati 100 tahun penggulingan Kerajaan Hawaii oleh orang-orang kulit putih dan pasukan Amerika Serikat.

Klik Clinton Akui Kudeta Merangkak di Hawaii yang ada hubungannya dengan posting ini.

Beberapa kali Haunani-Kay juga berdemonstrasi di dalam kampus menentang diskriminasi yang dialami native Hawaii. Di awal 1990-an dia mengkritik keras koran kampus, Ka Leo (the Voice) yang menurunkan kartun-kartun rasis yang menghina dan memandang rendah orang Hawaii. Tidak hanya di UHM, kenangnya, rasisme ketika itu juga terjadi di banyak kampus di Amerika Serikat.

When I visit college campuses across the American continent, I am always struck by the racism of the student newspapers. People of color on the campuses invariably speak about being targeted by cartoons, articles, and editorial positions in their campus papers. I continue to support active and very public resistance to such racism. In terms of University policy, there is no question that students of color need their own press,” tulisa Haunani-Kay di website resminya.

Sebaliknya, dia juga pernah dikritik sebagai racist, berkaitan dengan kata haole dalam salah satu artikel Haunani-Kay. Menurut pengkritik Haunani-Kay yang kebanyakan adalah mahasiswa Philosophy Department, haole bermakna rasis karena ia berarti “orang kulit putih”.

Adapun Haunani-Kay menjawab dengan enteng serangan itu. Haole, kata dia, berarti “orang asing” atau pendatang, dan karenanya jauh dari makna rasis seperti yang dituduhkan.

“Saya katakan kepada mahasiswa (yang protes), kalau dia tidak suka dengan bahasa kami, silakan tinggalkan Hawaii,” tulis Haunani-Kay tentang peristiwa itu.

Sebagai buntut dari ketegangan ini, sejumlah mahasiswa dan pengajar di Philosophy Department of UHM yang menjadi lawan Haunani-Kay meminta pihak universitas mencopot Haunani-Kay dari posisinya sebagai direktur Pusat Studi Hawaii. Presiden UHM mendukung permintaan itu. Krisis ini berlangsung antara tahun 1990 sampai 1991.

Haunani-Kay bertahan. Kini dia diukung komunitas indigenous people di Hawaii menghadapi pihak universitas dan Philosophy Department. Ketegangan baru mereda setelah ketua Philosophy Department meninggalkan UHM beberapa saat setelah krisis. Setahun kemudian presiden UHM meninggalkan universitas.

Haunani-Kay memang kontroversial, kata seorang profesor di Political Science Department. Pandangan dan sikap politiknya disampaikan secara terbuka, dimana-mana. Kerap kali tanpa tedeng aling-aling. Sikap Haunani-Kay ini seringkali dibandingkan dengan NoeNoe K. Silva, profesor Hawaiian Studies lainnya yang dinilai lebih elegan dan moderat dalam menyampaikan pandangan-pandangan politiknya mengenai hak politik indigenous people di Hawaii.

Well, berani menantang, tidakkah Haunani-Kay mengenal rasa takut?

“Perlawanan atas penindasan harus terus dilakukan. Risiko apapun bisa saja terjadi. Mereka membunuh Kennedy, mereka juga membunuh Martin Luther King. Mereka pun bisa saja membunuh Obama. Tetapi perlawanan harus terus dilakukan,” katanya di depan kelas, dalam orasi pembuka mata kuliah siang itu.

Untuk mata kuliah ini Haunani-Kay meminta kami membaca setidaknya 11 buku. Enam diantaranya adalah buku-buku memoar pejuang hak indigenous people, yakni Aloha Betrayed (NoeNoe K. Silva, juga seorang profesor studi Hawaii), I, Rioberta (Rigoberta Menchu dari Guatemala), The Reader (Nawal el Saadawidari Mesir), Freedom From Fear (Aung San Suu Kyi), Long Walk to Freedom (Nelson Mandela), Ireland After History (Lloyd dari Irlandia), dan The Black Jacobins (CLR James).

Buku Che Guevara, the Guerrilla Warfare, juga termasuk dalam daftar wajib mata kuliah ini. Saya kebagian tugas mempresentasikannya di bulan November nanti.

Selain buku, mata kuliah ini juga akan membahas dan mendiskusikan beberapa film seperti Act of War: The Overthrow of the Hawaiian Nation dan In the Name of the Father.

Catatan:
Tulisan saya sebelumnya mengenai perlawanan native Hawaii dapat dibaca di Ini Dia Gerakan Hawaii Merdeka.

Foto demonstrasi tahun 1993 dan foto diri Haunani diambil dari website Haunani-Kay Trask.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s