AWAL 2001, kalau tidak salah, saya mewawancarai Eurico Gutteres ketika dia masih dipenjara di LP Salemba.
Bulan Oktober di tahun yang sama, saya membawa seorang teman, wartawati radio TSF Portugal ke markas Eurico di Cempaka Putih.
Teman dari Portugal ini khawatir bertemu Eurico.
“Apa dia tidak bahaya? Bagaimana kalau nanti rambut saya dipotongnya?” tanya wartawati yang sebelumnya bertugas selama enam bulan di Dili, Timor Leste, dan punya hubungan dekat dengan tokoh-tokoh Timor Leste, termasuk Xanana Gusmao.
Ditanya seperti itu, saya bilang kepadanya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Bagaimana? Mau gak?” tanya saya lagi.
Akhirnya dia mengangguk setuju, dan kami pun menuju markas Eurico.
Setelah bertemu dengan Eurico, baru dia menyadari bahwa Eurico juga manusia. Mereka ngobrol dengan santai, sementara saya bertugas jadi penterjemah dadakan. Di akhir wawancara, teman ini bertanya apakah Eurico punya pesan untuk Xanana Gusmao.
Eurico mengangguk. Lalu ia merekam pesannya untuk Xanana dalam bahasa Tetum. Inti pesan itu, kata Eurico, masing-masing mereka kini sudah punya jalan sendiri-sendiri. Lupakan masa lalu, mari berjalan menuju masa depan berdasarkan keyakinan masing-masing.
Keesokan harinya, teman saya menelepon. Kabar gembira, katanya. Wawancara dengan Eurico jadi berita besar di radionya. Wawancara itu juga menandai akhir turnya di Jakarta.
“Saya diminta segera ke Pakistan,” katanya. “Dari sana saya akan ke Kabul.”
“Well, dari Uzbekistan saya akan berusaha masuk Afghanistan. Sampai bertemu di Kabul, kalau begitu,” kata saya.
***
Kalau tak salah, sehari setelah saya berangkat ke Uzbekistan, dia pun meninggalkan Jakarta.
Tapi kami tak pernah bertemu di Kabul.
Sampai tugas saya di Termez selesai, tidak sekalipun saya menginjakkan kaki di tanah Afghanistan. Padahal Friendship Gate yang menghubungkan Uzbekistan dan Afghanistan, merajut kedua tepi Sungai Amu Darya, sudah tampak di depan mata.
Padahal visa Afghanistan dari kubu Burhanuddin Rabbani sudah ditempelkan di paspor saya. Saya mendapatkan visa itu dari Charged de Affairs of Islamic State of Afghanistan di Tashkent, Hasan Saad, saat saya mengunjungi dan mewawancarainya. (Klik disini)
Tapi apa daya, sampai saya meninggalkan Termez, garis perbatasan tidak juga dibuka.
Saya pernah “mengendap-endap” mengintip garis perbatasan kedua negara dari beberapa titik. Di sebuah perkampungan saya malah ditangkap tentara Uzbekistan. (See the story)
Seperti saya, teman dari Portugal itu pun tak jadi ke Kabul. Tapi cerita dia lebih seru lagi.
Begini:
Setelah pasukan multinasional yang menunggangi Aliansi Utara menaklukkan Kabul, ia dan beberapa wartawan asing memutuskan untuk masuk Afghanistan. Mereka menyewa delapan mobil.
Wartawan Portugal ini sudah berada di salah satu mobil bersama dua jurnalis, ketika telepon genggamnya berbunyi. Telepon dari Lisboa. Di ujung sana, produsernya berkata bahwa mereka sudah mengirim jurnalis lain ke Kabul. Teman saya ini, oh ya, namanya Ana Catarina Santos, diminta untuk kembali ke Lisboa. Dia sudah terlalu lama meninggalkan Portugal; enam bulan di Timor Leste, dua minggu di Jakarta, dan satu bulan di Pakistan.
Dengan patuh, dia menuruti permintaan sang produser, dan membatalkan perjalanan ke Kabul.
Di Jakarta, beberapa hari kemudian, saya membaca berita tentang empat jurnalis asing yang tewas dalam perjalanan ke Kabul yang sudah ditinggalkan Taliban.
Teringat akan Ana, saya segera meneleponnya. Sulit. Ada nada sambung, tetapi telepon saya tidak diangkat.
Saya sedang berkejaran dengan waktu. Pagi itu saya sedang berada di studio Radio Ramako di Harmoni, Jakarta. Selain bekerja di Harian Rakyat Merdeka, saya juga sempat nyambi di Radio Ramako sebagai pemandu talkshow.
Bila terhubung dengan Ana, saya ingin mewawancarainya dan meminta dia bercerita tentang pengalamannya meliput konflik dari Pakiskan. Pertanyaan lain yang sudah saya siapkan adalah, apakah dia mengenal kelompok jurnalis yang tewas dalam perjalanan menuju Kabul.
Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya saya bisa tersambung dengan Ana di seberang sana.
Kata Ana, dia sedang di Bangkok, menunggu pesawat yang akan membawanya ke Portugal.
“Saya kira kamu masih di Pakistan. Kalau masih di Pakistan, saya mau wawancarai tentang keamanan jurnalis di Pakistan dan Afghanistan,” kata saya merujuk pada peristiwa pembunuhan wartawan asing di Kabul tewas itu.
Di ujung sana Ana malah menangis. Lalu dia bercerita seperti yang sudah saya tuliskan di atas.
“Kalau saya tak ditelepon produser, mungkin saya kini sudah tak ada,” katanya.
Ana bercerita, Maria Grazia Cutuli, salah seorang jurnalis yang tewas, adalah teman dekat Ana.
“Saya sudah di mobil bersama Maria. Mesinnya juga sudah nyala. Tapi mendadak ada telepon dari Lisboa,” katanya.
***
Maria Grazia Cutuli adalah wartawati dari Italia, bekerja untuk Corriere della Sera di Milan. Pada tanggal 19 November 2001, bersama sejumlah jurnalis lain, Maria berangkat ke Kabul dari Islamabad.
Siang hari setelah melewati Jalalabad, mobil kedua, yang ditumpangi Maria dan jurnalis Spanyol Julio Fuentes yang bekerja untuk El Mundo, dan mobil ketiga yang ditumpangi jurnalis Australia Harry Burton dan jurnalis Afghanistan Azizullah Haidari, dihentikan oleh sekelompok orang.
Keempatnya dibunuh di tempat itu. Menurut sejumlah laporan, Maria sempat diperkosa sebelum tubuhnya dihujani dengan empat tembakan. (Lihat ini)
Salah seorang pelaku pembunuhan itu, Reza Khan, kelak tertangkap, dan dijatuhi hukuman mati dalam pengadilan yang digelar di Kabul, November 2004. Dia dieksekusi pada bulan Oktober 2007.
Ih merinding baca ceritanya
Salut dengan blognya….wartawan itu penuh suka, dan juga duka…sedihnya kalau ada kawan yang dianiaya, meninggal, dan membayangkan kalau kejadian itu menimpa kita.
salam,
elcid
@ninik
masih merinding setelah seminggu? hehehe
@elcid
salam kenal juga.
cohort iv IFP ya..?