Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (1)

Renungan Seorang Penyair Dalam Menanggapi Kalabendu

PENYAIR besar Ronggowarsito, di pertengahan abad 19, menggambarkan zaman pancaroba sebagai “Kalatida” dan “Kalabendu”.

Zaman “Kalatida” adalah zaman ketika akal sehat diremehkan. Perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tak adil, tidak digubris. Krisis moral adalah buah dari krisis akal sehat. Kekuasaan korupsi merata dan merajalela karena erosi tata nilai terjadi di lapisan atas dan bawah.

Zaman “Kalabendu” adalah zaman yang mantap stabilitasnya, tetapi alat stabilitas itu adalah penindasan. Ketidakadilan malah didewakan. Ulama-ulama menghianati kitab suci. Penguasa lalim tak bisa ditegur. Korupsi dilindungi. Kemewahan dipamerkan di samping jeritan kaum miskin dan tertindas. Penjahat dipahlawankan, orang jujur ditertawakan dan disingkirkan.

Tulisan ini dipinjam dari kuliah umum yang disampaikan WS Rendra saat dianugerahi Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, hari Selasa 4 Maret 2008. Akan dimuat secara bersambung dalam blog ini. Foto diambil saat Rendra manggung di Malam Anugerah Rakyat Merdeka, Agustus 2006.

Gambaran sifat dan tanda-tanda dari “Kalatida” dan “Kalabendu” tersebut di atas adalah saduran bebas dari isi tembang aslinya. Namun secara ringkas bisa dikatakan bahwa “Kalatida” adalah zaman edan, karena akal sehat diremehkan, dan “Kalabendu” adalah zaman hancur dan rusaknya kehidupan karena tata nilai dan tata kebenaran dijungkir-balikkan secara merata.

Lalu, menurut Ronggowarsito, dengan sendirinya, setelah “Kalatida” dan “Kalabendu” pasti akan muncul zaman “Kalasuba”, yaitu zaman stabilitas dan kemakmuran.

Apa yang dianjurkan oleh Ronggowarsito agar orang bisa selamat di masa “Kalatida” adalah selalu sadar dan waspada, tidak ikut dalam permainan gila. Sedangkan di masa “Kalabendu” harus berani prihatin, sabar, tawakal dan selalu berada di jalan Allah sebagaimana tercantum di dalam kitab suciNya. Maka nanti akan datang secara tiba-tiba masa “Kalasuba” yang ditegakkan oleh Ratu Adil.

Ternyata urutan zaman “Kalatida”, “Kalabendu”, dan “Kalasuba” tidak hanya terjadi di kerajaan Surakarta di abad ke 19, tetapi juga terjadi di mana-mana di dunia pada abad mana saja. Di Yunani purba, di Romawi, di Reich pertama Germania, di Perancis, di Spanyol, Portugal, Italia, Iran, Irak, India, Russia, Korea, Cina, yah di manapun, kapanpun. Begitulah rupanya irama “wolak waliking zaman” atau “timbul tenggelamnya zaman”, atau “pergolakan zaman”. Alangkah tajamnya penglihatan mata batin penyair Ronggowarsito ini!

Republik Indonesia juga tidak luput dari “pergolakan zaman” serupa itu. Dan ini yang akan menjadi pusat renungan saya pagi ini.

Namun sebelum itu perkenankan saya mengingatkan bahwa menurut teori chaos dari dunia ilmu fisika modern diterangkan bahwa di dalam chaos terdapat kemampuan untuk muncul order, dan kemampuan itu tidak tergantung dari unsur luar. Hal ini sejajar dengan pandangan penyair Ronggowarsito mengenai “Kalasubo”. Kata Ratu Adil bukan lahir dari rekayasa manusia, tetapi seperti ditakdirkan ada begitu saja. Kesejajaran teori chaos dengan teori pergolakan zamannya Ronggowarsito menunjukkan sekali lagi ketazaman dan kepekaan mata batinnya.

Melewati pidato ini saya persembahkan sembah sungkan saya yang khidmat kepada penyair besar ronggowarsito.

Kembali pada renungan mengenai gelombang “Kalatida”, “Kalabendu” dan “Kalasuba” yang terjadi di Republik Indonesia.

Usaha setiap manusia yang hidup di dalam masyarakat, kapanpun dan di manapun, pada akhirnya akan tertumbuk pada “Mesin Budaya”. Adapun “Mesin Budaya” itu adalah aturan-aturan yang mengikat dan dan menimbulkan akibat. Etika umum, aturan politik, aturan ekonomi. Dan aturan hukum, itu semua adalah aturan-aturan yang tak bisa dilanggar begitu saja tanpa ada akibat. Semua usaha manusia dalam mengelola keinginan dan keperluannya akan berurusan dengan aturan-aturan itu, atau “Mesin Budaya” itu.

“Mesin Budaya” yang berdaulat rakyat, adil, berperikemanusiaan, dan menghargai dinamika kehidupan, adalah “Mesin budaya” yang mampu mendorong daya hidup dan daya cipta anggota masyarakat dalam Negara. Tetapi “Mesin budaya” yang berdaulat penguasa, yang menindas dan menjajah, yang elitis dan tidak populis, sangat berbahaya untuk daya hidup daya cipta bangsa. Bersambung

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

2 thoughts on “Dari WS Rendra: Megatruh Kambuh (1)”

  1. harus dibutuhkan contoh yg tepat,
    setuju dengan komentar diatas, harus ada yg memulai…
    diluar sana mungkin ada yg sedang mencoba membangkitkan kejayaan nusantara…
    kita mau jadi salah satu pemerannya atau cukup nonton di tempat, atau malah menjadi pihak yang tak menginginkan kebangkitan itu…

Leave a reply to Yuseptia Angretnowati Cancel reply