SABTU pagi, 1 November 2025. Baru saja saya menerima kabar gembira dari Sahara.
Seorang teman mantan diplomat Maroko di Indonesia, dari ibukota Rabat mengirimkan sebuah pesan via WhatsApp kepada saya yang sedang berada di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
“Perjuangan kita membuahkan hasil, Saudaraku,” tulis Mostafa Nakhlaoui.
Kunjungan delegasi wartawan Indonesia ke Kerajaan Maroko diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat pers Indonesia mengenai beragam aspek pembangunan yang sedang terjadi di Maroko dan di benua Afrika umumnya.
Harapan ini disampaikan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko (PPIM) Teguh Santosa setelah delegasi yang terdiri dari tujuh wartawa itu tiba di tanah air, Selasa malam (22/7).
“Saya berharap kunjungan barusan memberikan gambaran yang lebih luas mengenai berbagai upaya yang dilakukan Kerajaan Maroko untuk tidak hanya membangun Maroko, tetapi juga menjadi inspirasi dan motor pembangunan di benua Afrika. Maroko juga memberikan sumbangan yang tidak kecil pada kebutuhan energi ramah lingkungan bagi Eropa,” ujar Teguh Santosa yang juga Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Simón José Antonio de la Santísima Trinidad de Bolívar Ponte y Palacios Blanco lahir di Caracas, Veneuzuela, pada 25 Juli 1783.
Simon Bolivar dikenang sebagai El Libertador atau Sang Pembebas di Venezuela, Bolivia, Kolombia, Ecuador, Peru, dan Panama.
Keenam negara ini pernah disatukannya di bawah payung Gran Colombia (1819-1831) yang oleh Quincy Adam, Menlu AS saat itu yg kemudian menjadi Presiden AS, sebagai salah satu negara terkuat di muka bumi.
Lebih dari 150 petisioner kembali berkumpul di Komite 4 Majelis Umum PBB, di New York, untuk mempresentasikan pandangan mereka mengenai sengketa Sahara Barat atau Sahara Maroko. Pertemuan dijadwalkan berlangsung dari hari Rabu (4/10) sampai (6/10).
Salah seorang petisioner dalam pertemuan itu adalah wartawan senior yang juga dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Teguh Santosa. Dia menjadi petisioner ke-22 dalam daftar petisioner di sesi tahun ini.
Bagi Teguh yang kini memimpin Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), ini adalah kali ketiga dirinya hadir sebagai petisioner sengketa Sahara Maroko, setelah sebelumnya di tahun 2011 dan 2012.
Teguh mengatakan, dirinya lebih memilih menggunakan istilah “Sahara Maroko” dan bukan “Sahara Barat” karena menurutnya wilayah yang sedang diperbincangkan ini secara historis merupakan bagian dari Kerajaan Maroko sejak lama.
Wilayah Sahara Maroko atau Sahara Barat kembali menjadi perhatian masyarakat internasional. Perhatian dunia tertuju ke wilayah itu setelah kelompok separatis Front Polisario melanggar perjanjian gencatan senjata dengan Kerajaan Maroko yang telah berlangsung selama 29 tahun pada akhir pekan kemarin.
Konflik antara Maroko dan Polisario ini menjadi tema yang dibahas khusus dalam pertemuan rutin Dewan Kerjasama Perdagangan dan Investasi Indonesia-Maroko (DK-PRIMA) yang diselenggarakan Kamis malam (19/11).
Pertemuan dihadiri mantan Dubes RI untuk Maroko, Tosari Widjaja, dan Presiden DK-PRIMA Heppy Trenggono bersama sejumlah pengurus lain.
Sebagai narasumber adalah pengamat hubungan internasional Teguh Santosa yang pernah dua kali menjadi petisioner masalah Sahara Barat di Komisi IV di Markas PBB, New York, Amerika Serikat, pada tahun 2011 dan 2012.
Peristiwa Arab Spring sedikit banyak mengubah lanskap politik dan sistem ketatanegaraan di sejumlah negara Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Afika.
Hingga kini “gelombang perubahan” itu pun masih menyisakan persoalan, seperti di Suriah dan Yaman.
Hal ihwal mengenai akhir dari Arab Spring yang bermula di tahun 2011 ini dibahas dalam diskusi daring yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Jumat sore (1/5).
Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yakni pengamat Timur Tengah dan Dunia Islam, Hasibullah Satrawi; Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa; dan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin. Diskusi dipandu oleh Prof. Atip Latipulhayat.
Selain mampu melewati Arab Spring tanpa gejolak politik yang berarti, Kerajaan Maroko juga berhasil mengembalikan posisi sebagai pemain utama di benua Afrika.
Sejak era Perang Dingin, khususnya pada pertengahan 1970an, Maroko diganggu kelompok separatis yang ingin memisahkan diri. Kelompok separatis ini ditampung di negara tetangga Aljazair, dan pada masa Perang Dingin mendapat dukungan dari blok Timur, dalam hal ini Uni Soviet, Aljazair, dan Libya.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa, keberhasilan Maroko membuktikan diri sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip demokrasi membuat negara itu tampil lebih percaya diri dalam memperjuangkan keutuhan wilayah.
Gelombang perubahan di negara-negara Arab yang dikenal dengan istilah Arab Spring masih menyisakan sejumlah persoalan hingga saat ini.
Dari sekian banyak negara yang sempat dihumbalang Arab Spring, Kerajaan Maroko di Afrika Utara termasuk yang dapat melaluinya dengan baik.
Maroko tidak mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kejatuhan rezim seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir, serta beberapa negara Arab di Timur Tengah.
Peristiwa Arab Spring sedikit banyak mengubah lanskap politik dan sistem ketatanegaraan di sejumlah negara Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Afika.
Hingga kini “gelombang perubahan” itu pun masih menyisakan persoalan, seperti di Suriah dan Yaman.
Hal ihwal mengenai akhir dari Arab Spring yang bermula di tahun 2011 ini dibahas dalam diskusi daring yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Jumat sore (1/5).
Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yakni pengamat Timur Tengah dan Dunia Islam, Hasibullah Satrawi; Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa; dan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin. Diskusi dipandu oleh Prof. Atip Latipulhayat.
Dalam pandangannya, Teguh mengajak untuk melihat kembali proses perubahan yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia pada awal 1990an. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan di Eropa Timur itu telah menemukan akhir, walaupun untuk beberapa kasus akhir dari perubahan itu menjadi awal bagi persoalan baru yang muncul.
Berkaca pada Uni Soviet, Teguh mengatakan ada dua kata kunci penting yang menjadi syarat perubahan, yakni glasnost atau keterbukaan dan perestroika atau restrukturisasi struktur politik dan ekonomi.
Dia juga mengatakan, perubahan di suatu negeri, seperti kata Bung Karno, terikat pada hukum natur dan kultur. Dengan demikian tidak ada resep yang bisa dianggap generik dan diberlakukan untuk semua kasus.
“Model yang generik saya kira tidak bisa digunakan. Kita jangan jadi seperti Samuel Huntington dan Francis Fukuyama yang mengidolakan satu model, kemudian memaksa model itu untuk diimplementasikan di negeri-negeri yang lain. Itu menghasilkan chaos,” ujar Teguh yang juga dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini.
Teguh berharap, perubahan lanskap politik di Arab Saudi terjadi secara alamiah. Dia tidak ingin melihat perubahan yang sangat drastis dan bisa mengubah secara total sistem politik negeri para pangeran itu.
Di sisi lain Teguh menilai natur dan kultur khas yang dimiliki Arab Saudi dan keluarga kerajaan akan mencegah perubahan lanskap politik secara drastis.
“Saya berharap ada sistem koreksi internal dari kalangan keluarga kerajaan mereka sehingga mereka bisa memperbaiki apa yang mereka rasa masih kurang,” ujar Teguh.
Senada dengan itu, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin, mengatakan sejauh ini yang ditampilkan dalam “reformasi” ala pangeran Muhammad bin Salman (MBS) masih bersifat simbolik. Misalnya memberikan kesempatan kepada wanita untuk mengendarai mobil dan berpergian tanpa pengawalan muhrim. Juga membuka tempat hiburan seperti kafe dan kasino.
Alumni Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, ini juga menilai bahwa faktor keluarga kerajaan Arab Saudi sangat menentukan perubahan. Seperti Teguh, ia berharap perubahan di Arab Saudi tidak terjadi secara drastis.
Ada yang tidak biasa dalam resepsi Perayaan ke-20 Tahun Hari Penobatan Muhammad VI sebagai Raja Maroko yang diselenggarakan di Hotel Four Season, Jalan Jend. Gatot Subroto, Jakarta, Selasa malam (30/7).
Kegiatan itu dihadiri tiga menteri Indonesia, yakni Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Juga hadir Wakil Menteri Luar Negeri Mohammad Fachir.
TAHUN ini Kerajaan Maroko merayakan 20 tahun kekuasaan Raja Muhammad VI. Ia dilantik pada 30 Juli 1999 menggantikan ayahnya, Hasan II, yang meninggal dunia.
Selama dua dekade terakhir, di bawah kepemimpinan Muhammad VI, dunia menyaksikan Maroko yang bergerak ke depan, menyandingkan stabilitas politik dan demokrasi dengan berbagai program pembangunan yang dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat.
PELABUHAN Med di Tangier, Maroko, akan menjadi pelabuhan terbesar di kawasan Mediterania dan menghubungkan Maroko dengan 77 negara dan 186 pelabuhan.
Terletak sekitar 40 kilometer sebelah timur Tangier, pelabuhan di Selat Gilbraltar ini mulai digunakan pada 2007 lalu dengan kapasitas awal sebanyak 3,5 juta kontainer.
Hari Jumat lalu (28/6), Raja Muhammad mengutus putra mahkota Pangeran Moulay El Hassan untuk meresmukan proyek perluasan Pelabuhan Tangier Med yang terletak di Provinsi Fahs Anjra, Wilayah Tangier-Tetouan-Al Hoceima.
Kalangan aktivis kemanusiaan diajak untuk ikut mendesak rejim Polisario segera membebaskan sejumlah aktivis yang ditangkap karena menginginkan perubahan, demokratisasi dan kehidupan yang lebih baik di Kamp Tindouf.
Ajakan itu disampaikan Koordinator Solidaritas Indonesia untuk Sahara (Soli Sahara), Teguh Santosa, dalam keterangan di Jakarta, Rabu (26/6).
“Penangkapan aktivis pro-demokrasi di Kamp Tindouf ini sangat memprihatinkan. Mereka memiliki hak untuk memperjuangkan dan menyuarakan perbaikan nasib mereka dan keluarga mereka yang selama empat dekade hidup di bawah kontrol rejim Polisario,” ujar Teguh.
Dalam sepekan terakhir aparat keamanan Polisario melakukan penangkapan terhadap pihak-pihak yang dianggap menantang dan mengganggu kekuasaan mereka.
Kalendar tahun 2019 pada sistem penanggalan Gregorian yang biasa kita gunakan sama dengan kalendar tahun 1895. Tanggal 1 Januari 2019 dan 1895 sama-sama jatuh pada hari Selasa. Begitu juga dengan tanggal 31 Desember sama-sama jatuh pada hari Selasa. Kedua tahun yang berjarak 124 tahun itu sama-sama bukan tahun kabisat.
DIDAMPINGI Putra Mahkota Pangeran Moulay El Hassan, Raja Muhammad VI, hari Minggu (11/11) menghadiri upacara peringatan berakhirnya Perang Dunia Pertama, di Paris, Prancis.
PERNYATAAN Raja Muhammad VI yang mengajak negeri tetangga Aljazair untuk memperbaiki hubungan dinilai sebagai pernyataan yang memperlihatkan ketulusan sikap tidak hanya Raja Muhammad VI, melainkan seluruh rakyat dan pranata politik Maroko. Continue reading “Muhammad VI Lapangkan Jalan Menuju Perdamaian”
SEBUAH kejutan terjadi pada peringatan ke-43 Green March tahun ini. Raja Muhammad VI menyampaikan keinginannya untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan negeri tetangga Aljazair.
MENTERI Luar Negeri Maroko Nasser Bourita, hari Jumat lalu (2/11) diterima Presiden Mauritania, Mohamed Ould Abdel Aziz, di Istana Negara di Nouakchott.
Kunjungan Utusan Pribadi Sekjen PBB Horst Kohler ke wilayah Sahara di selatan Maroko dipandang tepat dan merupakan gestur positif dalam konteks membangun pondasi perdamaian abadi.
Dalam kunjungan itu Kohler dapat menyaksikan komitmen pemerintah Maroko membangun dan mensejahterakan kawasan yang juga dikenal sebagai Sahara Barat.
TERLETAK di pojok barat belahan utara benua Afrika, persis pada persimpangan Samudera Atlantik di barat dan Laut Mediterania di utara, Maroko bukan negeri yang asing bagi Indonesia.
Kerajaan Maroko ingin memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia dan berharap organisai persahabatan masyarakat kedua negara ikut membantu mempromosikan upaya peningkatan kerja sama itu.
Demikian disampaikan Duta Besar Kerajaan Maroko untuk Republik Indonesia Ouadia Benabdellah dalam pertemuan dengan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa di Kedubes Maroko, Jalan Denpasar Raya, Jakarta, Senin (16/1).
Dubes Ouadia Benabdellah sudah tiga bulan berada di Jakarta, namun baru pekan lalu, Kamis (12/1) mendapat kesempatan menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan anggota Parlemen Kasablanka-Afna ini menggantikan Dubes Muhammad Majdi. Continue reading “Maroko Ingin Perkuat Kerja Sama Ekonomi dengan Indonesia”
KEPUTUSAN Kerajaan Maroko bergabung dengan Uni Afrika dinilai tepat dan merupakan langkah positif untuk memperkuat peranan negara itu dalam proses pembangunan dan perdamaian di benua itu.
Pernyataan Sekjen PBB Ban Ki-moon terkait status Sahara Barat patut disesalkan dan dinilai tidak menghormati proses pembicaraan damai yang sedang berlangsung untuk menyelesaikan sengketa itu di forum-forum PBB yang dipimpinnya.
Pekan lalu rakyat Kerajaan Maroko merayakan sebuah peristiwa bersejarah yang amat penting dalam perjalanan negeri itu. 40 tahun silam, pada tanggal 6 November 1975 tak kurang dari 350 ribu rakyat Maroko melintasi garis batas kolonial dari Tarfaya menuju Sagui el Hamra.
These picture were taken from the alley of the Parador Hotel of Laayoune in Maroccan Sahara Region, June 2010. The original pictures were shot by the Moroccan photographer.