Kerajaan Maroko ingin memperkuat kerja sama ekonomi dengan Indonesia dan berharap organisai persahabatan masyarakat kedua negara ikut membantu mempromosikan upaya peningkatan kerja sama itu.
Demikian disampaikan Duta Besar Kerajaan Maroko untuk Republik Indonesia Ouadia Benabdellah dalam pertemuan dengan Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa di Kedubes Maroko, Jalan Denpasar Raya, Jakarta, Senin (16/1).
Dubes Ouadia Benabdellah sudah tiga bulan berada di Jakarta, namun baru pekan lalu, Kamis (12/1) mendapat kesempatan menyerahkan surat kepercayaan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mantan anggota Parlemen Kasablanka-Afna ini menggantikan Dubes Muhammad Majdi.
“Yang Mulia Benabdellah berharap pada masa jabatannya di Jakarta kedua negara dapat meningkatkan kerja sama, khususnya dalam bidang ekonomi. Beliau terlihat begitu antusias membicarakan berbagai prospek kerja sama ekonomi dengan Indonesia,” ujar Teguh Santosa di Jakarta, Selasa (17/1).
Teguh juga mengatakan, Dubes Benabdellah berniat mengunjungi sebanyak mungkin wilayah Indonesia untuk memahami benar-benar potensi ekonomi Indonesia. Pada pertengahan 2017, misalnya, Perhimpunan Persahabatan Indonesia Maroko berencana menggelar kegiatan kebudayaan Maroko di kota Medan, Sumatera Utara.
Diharapkan, promosi kebudayaan ini dapat memperkuat fondasi kerja sama ekonomi kedua negara. Dubes Benabdellah menyambut baik dan ingin menghadiri kegiatan tersebut.
Dalam pertemuan itu, Teguh yang juga merupakan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) secara informal menyampaikan undangan kepada Dubes Benabdellah untuk menghadiri Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di Ambon, Maluku, Februari mendatang.
“Dubes Benabdellah mengatakan, insya Allah dirinya pun akan hadir dan sempat minta penjelasan mengenai potensi sumber daya alam Maluku, seperti migas, nikel, emas, perikanan, dan tentu saja rempah-rempah yang sempat membawa nama Maluku mendunia,” kata Teguh.
Dari catatan Kementerian Perdagangan RI diketahui, volume perdagangan Indonesia dan Maroko terbilang tidak tinggi dibandingkan dengan volume perdagangan Indonesia dan partner konvensional. Total perdagangan Indonesia dan Maroko sempat menyentuh angka US$ 227 juta pada 2012. Angka itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar US$ 152 juta.
Pada 2013, total perdagangan menurun menjadi US$ 186 juta dan pada 2014 naik kembali menjadi US$ 222 juta. Lalu, total perdagangan kembali turun pada 2015 menjadi US$ 214 juta. Terakhir, hingga Oktober 2016, total perdagangan kedua negara tercatat sebesar US$ 134 juta.
Selain hubungan perdagangan, Dubes Benanbdellah juga berharap agar jumlah kunjungan wisatawan dari Maroko ke Indonesia dan sebaliknya juga meningkat. Apalagi, kedua negara sudah memberlakukan bebas visa kunjungan sejak lama.
“Dubes Benabdellah mengatakan, dirinya sudah mendapatkan laporan dari diplomat dan staf Kedubes mengenai peranan Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko yang berdiri 2010, terutama dalam mempromosikan kebudayaan Maroko dan membela posisi Maroko di berbagai forum internasional. Beliau berharap, Perhimpunan juga bisa berperan dalam meningkatkan hubungan perekonomian kedua negara,” kata Teguh.
Teguh yang juga dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah dan London School of Public Relations (LSPR) Jakarta pernah diundang untuk berbicara di Komisi IV PBB di New York mengenai sengketa Sahara Barat di Maroko pada 2011 dan 2012.
Studi yang dilakukan Teguh mengenai konflik di kawasan itu pada saat menuntut ilmu di University of Hawaii of Manoa (UHM) membuatnya yakin bahwa Sahara Barat merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Maroko sebelum gelombang kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa di Afrika pada akhir abad ke-19.