Membicarakan Indonesia Maroko

Sebuah kehormatan diundang Alumni Maroko (HIMAMI) ikut hadir dalam halal bihalal hari Senin yang akan datang.

Saya diundang dalam kapasitas sebagai Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia Maroko yang kebetulan juga mengajar di UIN Jakarta.

Saya tak seperti Ustad Abdul Somad dan kawan2 di HIMAMI yg pernah sekolah atau kuliah di Maroko.

Perhimpunan Persahabatan Indonesia Maroko didirikan pada 2010, setahun setelah saya kembali dari Hawaii.

Nah, saat di Hawaii itu saya sempat sedikit memperdalam pengetahuan ttg Maroko. Persisnya di kelas Resolusi Konflik. Saat mahasiswa diminta menuliskan satu kasus sebagai tugas akhir, saya memilih sengketa antara Kerajaan Maroko dengan kelompok separatis Polisario. Saat itu, di waktu yg relatif bersamaan, kasus ini kembali dibicarakan di PBB.

Juga di tahun 2010 bersama beberapa teman kami diberi kesempatan berkunjung ke Sahara. Di pertengahan 2011 saya kembali ke Maroko memenuhi undangan sebagai pemantau referandum konstitusi baru.

Ini pengalaman kedua saya memantau pemilu di luar negeri. Pengalaman pertama saat memantau pemilu di Mikronesia, 2009. Pengalaman ketiga memantau pemilu dan pilpres di Venezuela, 2018.

Di akhir 2011 saya menjadi salah seorang petisioner isu Sahara di Komisi IV PBB di New York. Di tahun 2012 saya kembali ke New York untuk urusan Sahara.

Di tahun 2013 saya ke Maroko utk menghadiri sebuah konferensi. Di tahun 2014, saya berbicara dalam sebuah konferensi mengenai HAM di Marrakesh.

Konon, kata Maroko berasal dari kata Marakush, bahasa Amazigh atau Berber, yang berarti Tanah Tuhan.

Dalam konstitusi baru Maroko yang diadopsi setelah referandum 2011, bahasa Berber diakui sebagai salah satu bahasa nasional.