Rekaman Terakhir Kejayaan Afghanistan

Beberapa minggu setelah pertemuan pertama, Dubes Faizullah Zaki menghubungi saya.

“Apakah Anda bisa datang untuk makan siang sederhana di Kedutaan kami,” tanya Dubes Zaki sambil menawarkan hari.

Baik, jawab saya segera.

Maka demikianlah. Pada hari yang telah dijadwalkan itu saya kembali ke Kedubes Republik Islam Afghanistan di kawasan Menteng. Masih didampingi Agung Hadiawan seperti dalam kunjungan sebelumnya.

Ruang makan berada di bagian belakang ruang kerja Dubes Zaki. Bendera tiga-warna Republik Islam Afghanistan dan bendera dwi-warna Indonesia berdiri bersisian di kepala meja. Dubes Zaki duduk di bagian itu.

“Sebuah kehormatan bagi saya diundang dalam jamuan ini,” kata saya.

Dubes Zaki tersenyum dan menganggukkan kepala.

“Kami yang berterima kasih atas perhatian Anda pada kami dan apa yang sedang kami hadapi,” jawab Dubes Zaki.

Ia mempersilakan saya duduk di sisi kanannya, menghadap lemari kaca berukuran besar yang menyimpan begitu banyak dokumen.

Kami tidak hanya berdua. Ada tiga diplomat lain yang menemani makan siang itu. Masing-masing suku Pasthun, Tajik, juga Hazara. Dubes Zaki sendiri adalah suku Uzbek.

Menu utama di meja makan plov atau pilaf dan beberapa side dish lain.

Plov ini mengingatkan saya pada Uzbekistan yang saya kunjungi hampir 21 tahun lalu.

Di meja makan kami membicarakan sejumlah hal. Tentang situasi terakhir di Afghanistan, peluang peredaan ketegangan, dan hal-hal lain di sekitar itu.

Tidak bisa saya tuliskan di sini.

***

Tapi kita semua sudah tahu.

Agustus 2021 Taliban menduduki Kabul, merebut kekuasaan di Afghanistan. Presiden Ashraf Ghani melarikan diri ke Qatar bersama orang-orang terdekatnya.

Gerakan Taliban menuju Kabul sudah terbaca sejak beberapa waktu sebelumnya, semakin intens setelah Amerika Serikat mengumumkan penarikan diri mereka dari Afghanistan paling lambat akhir Agustus.

Satu demi satu pemerintahan provinsi dan kota direbut Taliban. Nyaris tanpa perlawanan berarti. Tapi di Provinsi Balkh, yang ibukotanya Mazar i Sharif, pertempuran cukup sengit juga.

Sementara Amerika Serikat mulai memindahkan pasukan dan kedutaan ke bandara di Kabul.

Puncaknya adalah 15 Agustus 2021. Presiden Ashraf Ghani menyerah kalah.

“Taliban telah menang dengan pedang dan senjata mereka. Kini mereka bertanggung jawab atas kehormatan, properti, dan keselamatan warga,” tulis Ashraf Ghani di akun Twitternya.

Politisi senior Abdullah Abdullah yang memimpin rekonsiliasi nasional memberikan penjelasan di akun Facebook.

“Mantan Presiden Afghanistan telah pergi, meninggalkan warganegara dalan situasi seperti ini,” katanya dalam rekaman video.

Untuk membuktikan dirinya tidak ikut melarikan diri, Abdullah Abdullah merekam video itu di halaman depan rumah di Kabul.

Hari itu, informasi mengenai peralihan kekuasaan di Afghanistan saya peroleh pertama kali dari halaman Facebook Dubes Roya Rahmani yang pernah bertugas di Indonesia. Saya mewawancarainya di bulan Agustus 2018.

(Setelah tugasnya di Jakarta selesai, Dubes Rahmani ditugaskan sebagai Dubes Afghanistan di Washington DC. Ketika Taliban menggulingkan Ashraf Ghani, dia sudah menyelesaikan tugasnya sebagai Dubes di Amerika Serikat. Dia adalah wanita pertama yang jadi Dubes Afghanistan di Amerika Serikat. Penggantinya pun seorang wanita.)

Tak lama setelah wawancara saya dengan Dubes Rahmani, di bulan Oktober, Abdullah Abdullah yang ketika itu menduduki posisi Kepala Eksekutif Afghanistan berkunjung ke Indonesia untuk merayakan 99 tahun Afghanistan.

Dalam perayaan, dia menyampaikan optimisme menuju perdamaian abadi di negaranya.

Di tahun 2018 optimisme perdamaian di Afghanistan sangat tinggi. Akhir Februari, Presiden Ashraf Ghani mengajak Taliban ikut dalam proses demokrasi sebagai partai politik. Ajakan itu disampaikan dalam sebuah konferensi yang dihadiri Wapres Jusuf Kalla.

Taliban merespon dengan sederhana. Mereka hanya mau berdialog dengan Amerika Serikat.

Tanggal 20 Oktober pemilihan anggota parlemen nasional digelar. Harusnya, pemilu digelar bulan Juli sebelumnya. Tertunda karena situasi keamanan yang buruk.

September 2019 giliran pemilihan presiden yang digelar. Ada 18 kandidat yang bertarung.

Di putaran kedua Ashraf Ghani yang mencalonkan diri sebagai tokoh independen kembali berhadapan dengan Abdullah Abdullah yang maju dari kubu Koalisi Nasional.

Kemenangan Ashraf Ghani tidak cukup meyakinkan. Perolehan suara hanya 50,6 persen. Sedikit di bawah absolute majority. Tapi tetap menang.

Sementara Abdullah Abdullah meski kalah, akhirnya diberi kepercayaan memimpin proses rekonsiliasi nasional.

Amerika Serikat yang menjadi tulang punggung keamanan dan pertahanan Afghanistan sejak 2001 memilih untuk mundur setelah mencapai kesepakatan dalam pembicaraan damai dengan Taliban di Doha.

Janji Taliban, Aghanistan tidak akan menjadi basis terorisme internasional.

***

Sebelum pamit, saya kembali berfoto bersama Dubes Zaki di ruang kerjanya. Tak ada yang berubah sejak pertemuan sebelumnya.

Lukisan pasar Char Chatta masih tergantung di dinding utama, di belakang meja kerja Dubes Zaki.

(Lukisan ini sudah tergantung di sana sejak masa Dubes Roya Rahmani. Mungkin juga sejak sebelumnya lagi.)

Char Chatta adalah pasar atau bazzar yang dibangun di abad ke-17 oleh Ali Mardan Khan. Ia adalah gubernur Kabul di era Raja Mughal, Shah Jahan.

Char berarti atap, dan chatta berarti empat. Begitu kata koresponden RMOL di Kabul, Abdul Mansoor.

Panjang pasar ini hanya sekitar 200 meter. Di tahun 1842, kata Wikipedia, tentara Inggris yang dipimpin Jenderal George Pollock menghancurkan pasar ini.

Lukisan ini barangkali adalah rekaman terakhir kejayaan Afghanistan sebelum ditaklukkan Barat.

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s