19 Tahun 9/11

Pak Jaya Suprana memegang medali persahabatan kelas dua yang saya terima dari pemerintah Korea Utara di teras Hotel Yanggakdo di Pyongyang, Korea Utara, Agustus 2017.
Saya bersama Pak Dahlan Iskan berfoto di atas Tugu Juche di tepi Sungai Taedong di Pyongyang, Korea Utara, Oktober 2018.

Pak Jaya Suprana mengirimkan link tulisannya di Kompas untuk mengenang kepergian maestro pers nasional Jakob Oetama yang wafat dua hari lalu (9/9). Seperti biasa tulisan Pak Jaya tidak bertele-tele, dipadati perenungan dan pesan moral.

“Jelas bahwa jasa-jasa Pak Jakob terasa bukan hanya di bidang pers tetapi juga di bidang percetakan, penerbitan, retailer, manufacturing, perhotelan yang membuka lapangan kerja bagi puluhan ribu kepala keluarga di Indonesia,” tulis pendiri Museum Rekor Indonesia-Dunia (MURI) itu.

“Maka kita semua wajib menyampaikan ucapan terima kasih atas segenap mahakarsa dan mahakarya yang telah dipersembahkan oleh Pak Jakob kepada negara, bangsa dan rakyat Indonesia!” tutupnya di akhir tulisan.

Tadi pagi saya membaca tulisan Pak Dahlan Iskan, juga tentang sosok yang mengagumkan itu. Penuh detail dan drama, menggambarkan kesantunan dan kepribadian mendiang yang linear, yang menurut Pak Dahlan cukup tercemin dari gaya pemberitaan Kompas yang didirikan Pak JO. Santun dan muter-muter.

Pak Dahlan membandingkan kualitas kepribadian Pak JO yang digambarkannya itu dengan kualitas dirinya yang disebutnya zig-zag dan meledak-ledak, khas bonek. Serta tercermin pula pada pemberitaan koran yang pernah dibesarkannya. Dalam obituari untuk Pak Jakob itu, Pak Dahlan tak sekalipun menuliskan nama Jawa Pos. Mungkin mengandaikan semua orang tahu dialah master mind di kerajaan media itu sampai beberapa tahun lalu.

Sebagai pecinta detail, Pak Dahlan menempatkan cara penulisan nama Pak Jakob Oetama di paragraph awal tulisannya. Sebegitu penting soal detail yang satu ini, Pak Dahlan pernah menanyakan hal itu kepada sang pemilik nama.

Barangkali terkesan remeh temeh bagi sebagian pembaca. Tapi itulah konsekuensi bagi pecinta detail. Dan, Pak Dahlan sedang mengajarkan, betapa ketekunan merunut fakta adalah metode-kerja utama bagi si kuli keyboard.

Saya pernah kaget, saat menyusuri koridor terminal Beijing Capital International Airport bersama Pak Dahlan.

“Berapa meter jalan yang sudah kita tempuh di sini,” tanyanya.

Kami baru tiba dari Pyongyang, dan tak lama lagi, setelah melewati gerbang imigrasi, akan berpisah. Saya akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Pak Dahlan akan singgah beberapa hari di Beijing sebelum melanjutkan perjalanan entah ke mana.

Mendengar pertanyaan Pak Dahlan, saya celingak celinguk, mencari petunjuk yang entah di mana.

Pak Dahlan tahu saya masih meraba-raba.

Lalu dia sebutkan perkiraannya, dan metode untuk tiba pada perkiraan itu.

Intinya, banyak detail di dalam tulisan Pak Dahlan untuk mengenang Pak Jakob Oetama yang kerap dimintainya restu setiap kali mendapat amanah menduduki suatu jabatan.

Detail-detail yang membuat saya mengagumi keduanya.


“Sayang sekali, saya tidak punya pengalaman dengan almarhum Pak JO. Tidak pernah bertemu apalagi bertukar sapa,” tulis saya menjawab kiriman link dari Pak Jaya kemarin malam.

Lalu saya sedikit bercerita tentang keinginan yang pernah ada untuk menjadi wartawan Kompas. Begini ceritanya:

“Setelah tamat dari Unpad, saya hanya mengirimkan lamaran ke dua koran, Kompas dan Rakyat Merdeka. Entah bagaimana, tes di kedua koran itu hanya beda sehari. Saya ikuti tes dengan tekun.

Tes di RM hanya dua minggu, dan saya diterima. Sementara tes di Kompas jalan terus. Setiap hari Sabtu kami diuji dengan ketat. Dua bulan tesnya sampai wawancara terakhir. 15 orang yang diwawancarai, dan yang terpilih katanya hanya 10.

Saya salah seorang yang diwawancarai. Tapi mungkin karena sudah kerja di RM selama 1,5 bulan, saya kehilangan keinginan untuk bergabung dengan Kompas.

Di dalam wawancara saya cukup tengil dan ngotot. Tidak berpura2 kalem agar diterima.

Setelah wawancara itu saya tidak lagi mencari tahu apakah saya lulus atau tidak.

Saya bulat memutuskan tetap di RM. Di sana sudah ada wanita yang memikat saya. Intan, yang kini istri.”

Pak Jaya menjawab mantap: “Beautiful love story!”

Lalu saya sambung:

“Itu November 2000.

September 2001 terjadi serangan atas WTC di NYC. Lalu serangan AS atas Afghanistan. Saya dikirim RM ke perbatasan Uzbekistan dan Afghanistan. Sebulan di sana. Itu yang menjadi buku saya “Di Tepi Amu Darya”.

Bayangkan, kalau saya kalem selama wawancara terakhir di Kompas dengan harapan diterima Kompas dan jadi murid Pak JO, saya kehilangan (calon) istri dan peluang liputan perang Afghan.”

Untuk bagian ini Pak Jaya juga menjawab mantap: “Anugerah Allah!”


Catatan ini saya tulis setelah sekitar satu jam lalu menonton sebuah klip mengenai peristiwa serangan terhadap WTC di New York City, yang hari ini persis 19 tahun lalu.

Peristiwa yang telah mengubah hidup banyak orang, untuk lebih baik atau lebih buruk. ***

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s