Mahkota Wartawan

Ilham Bintang, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat

SAYA termasuk orang yang senang meluapkan kegembiraan dan ikut  bahagia setiap kali ada sejawat wartawan menulis buku. Buku adalah mahkota wartawan, kata ungkapan klasik.

Continue reading “Mahkota Wartawan”

Setiap Terjadi Gejolak, Wartawan Bergolak

Dahlan Iskan

Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar

SETIAP terjadi gejolak, wartawan bergolak. Dalam hatinya. Ingin terjun ke pergolakan itu. Melaporkan dari tangan pertama. Apa yang terjadi di sana.

Itulah yang dialami Teguh Santosa. Wartawan Rakyat Merdeka. Yang masih muda. Yang darah wartawannya terus bergolak.

Tahun 2001 Teguh nekat ingin ke Afghanistan. Meliput perang di sana. Tapi lewat mana? Lewat Pakistan? Lalu ke Peshawar? Masuk perbatasan?

Di situlah gejolak paling brutal. Mungkin sulit juga lewat Pakistan. Saya baca novel-novel tentang Afghanistan. Termasuk kisah penyelundupan manusia di perbatasan Peshawar itu. Menegangkan. Mengharukan.

Continue reading “Setiap Terjadi Gejolak, Wartawan Bergolak”

Dari Kacamata Post-Truth

Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika (2014-2019)

PADA era yang disebut-sebut sebagai era post-truth saat ini, informasi menjadi senjata untuk menguasai. Pada era post-truth, informasi digelontorkan bertubi-tubi agar menjadi opini, tak peduli benar atau salah. Pada gilirannya, opini masyarakat atau seseorang terbentuk hanya oleh saking intensnya sebuah informasi terpapar, bukan oleh faktual atau tidaknya informasi tersebut.

Continue reading “Dari Kacamata Post-Truth”

Menjadi Imam Shalat Idul Fitri

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, menjadi imam dan khatib Shalat Idul Fitri. Mengharukan.

Jamaahnya hanya empat orang. Lumayan.

Setelah shalat Subuh saya membuka2 bbrp referensi materi khutbah, juga tentu saja bacaan2 doa dan yg juga penting kata2 sapaan kepada jamaah: maasiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.

Tapi tak bisa dipaksakan masuk ke kepala dalam waktu singkat. Akhirnya diputuskan utk mengalir saja.

Continue reading “Menjadi Imam Shalat Idul Fitri”

Damaskus

Usai shalat Maghrib, mereka mendengarkan ceritaku ttg kota itu: Damaskus.

Continue reading “Damaskus”

Gracias Fidel

Santa Clara, Ibukota Villa Clara, Kota Che Guevara. Sekitar 260 kilometer dari Havana ke arah tenggara. Didirikan tahun 1689.

Pertempuran Santa Clara di akhir Desember 1958 menjadi penentu kemenangan Revolusi Kuba. Adalah Che Guevara bersama pasukannya, di fase terakhir pertempuran berhasil melumpuhkan kereta baja berisi tentara cadangan dan peralatan tempur yg dikirim Fulgencio Batista utk memperkuat pasukannya yg sedang menghadapi pasukan Fidel Castro di Santiago de Cuba.

Continue reading “Gracias Fidel”

Perang Dagang Ini Harus Dikapitalisasi

BERADA di ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut di pegunungan timur Peru, Machu Picchu diperkirakan dibangun di era Raja Pachacuti yang berkuasa di Inca dari tahun 1438 sampai 1472. Pada pertengahan abad ke-16 bersamaan dengan kedatangan bangsa Spanyol, komplek Machu Picchu ditinggalkan dan perlahan menjadi reruntuhan.

Continue reading “Perang Dagang Ini Harus Dikapitalisasi”

Nenek Kim Jong Un

Sebenarnya topik ini sudah tidak (begitu) menarik utuk dibicarakan. Menurut saya.

Tapi masih ada teman yang bertanya, apakah benar yang tampil dalam peresmian pabrik pupuk di Sunchon pada May Day yang lalu adalah benar-benar Kim Jong Un.

Saya jawab: iya dong.

“Bagaimana dengan giginya yang tak sama?” tanya kawan ini.

Continue reading “Nenek Kim Jong Un”

Dua Wajah Kim Jong Un

Hari ini beberapa teman mengirim sebuah foto yang membandingkan “dua wajah” Kim Jong Un.

Satu disebutkan diambil dari kegiatan peresmian pabrik pupuk di Sunchon, pada Hari Buruh, 1 Mei lalu.

Sementara satu lagi dari foto lama Kim Jong Un.

Continue reading “Dua Wajah Kim Jong Un”

Kim Jong Un di Sunchon

Di Hari Buruh, 1 Mei 2020, Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un meresmikan pabrik pupuk di Sunchon, Provinsi Pyongan Selatan.

Kemunculan Kim Jong Un ini mematahkan berbagai spekulasi dan fantasi mengenai kesehatan dan keselamatan jiwanya yang ramai dibicarakan dalam dua pekan terakhir.

Continue reading “Kim Jong Un di Sunchon”

Terkait Pengaruh Arab Spring Untuk Saudi, Teguh Santosa: Tidak Bisa Dipaksakan Dengan Resep Generik

Peristiwa Arab Spring sedikit banyak mengubah lanskap politik dan sistem ketatanegaraan di sejumlah negara Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Afika.

Hingga kini “gelombang perubahan” itu pun masih menyisakan persoalan, seperti di Suriah dan Yaman.

Hal ihwal mengenai akhir dari Arab Spring yang bermula di tahun 2011 ini dibahas dalam diskusi daring yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Jumat sore (1/5).

Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yakni pengamat Timur Tengah dan Dunia Islam, Hasibullah Satrawi; Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa; dan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin. Diskusi dipandu oleh Prof. Atip Latipulhayat.   

Continue reading “Terkait Pengaruh Arab Spring Untuk Saudi, Teguh Santosa: Tidak Bisa Dipaksakan Dengan Resep Generik”

Lewati Arab Spring Tanpa Pergantian Rezim, Teguh Santosa: Maroko Berhasil Perbesar Pengaruh Di Afrika

Selain mampu melewati Arab Spring tanpa gejolak politik yang berarti, Kerajaan Maroko juga berhasil mengembalikan posisi sebagai pemain utama di benua Afrika.

Sejak era Perang Dingin, khususnya pada pertengahan 1970an, Maroko diganggu kelompok separatis yang ingin memisahkan diri. Kelompok separatis ini ditampung di negara tetangga Aljazair, dan pada masa Perang Dingin mendapat dukungan dari blok Timur, dalam hal ini Uni Soviet, Aljazair, dan Libya.

Menurut Ketua Umum Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa, keberhasilan Maroko membuktikan diri sebagai negara yang menghormati prinsip-prinsip demokrasi membuat negara itu tampil lebih percaya diri dalam memperjuangkan keutuhan wilayah.

Continue reading “Lewati Arab Spring Tanpa Pergantian Rezim, Teguh Santosa: Maroko Berhasil Perbesar Pengaruh Di Afrika”

Hebatnya Maroko, Melakukan Mitigasi Jauh Sebelum Arab Spring

Gelombang perubahan di negara-negara Arab yang dikenal dengan istilah Arab Spring masih menyisakan sejumlah persoalan hingga saat ini.

Dari sekian banyak negara yang sempat dihumbalang Arab Spring, Kerajaan Maroko di Afrika Utara termasuk yang dapat melaluinya dengan baik.

Maroko tidak mengalami gejolak politik yang mengakibatkan kejatuhan rezim seperti yang terjadi di Tunisia, Libya dan Mesir, serta beberapa negara Arab di Timur Tengah.

Continue reading “Hebatnya Maroko, Melakukan Mitigasi Jauh Sebelum Arab Spring”

Terkait Pengaruh Arab Spring Untuk Saudi, Teguh Santosa: Tidak Bisa Dipaksakan Dengan Resep Generik

Peristiwa Arab Spring sedikit banyak mengubah lanskap politik dan sistem ketatanegaraan di sejumlah negara Arab, baik di Timur Tengah maupun Afrika Afika.

Hingga kini “gelombang perubahan” itu pun masih menyisakan persoalan, seperti di Suriah dan Yaman.

Hal ihwal mengenai akhir dari Arab Spring yang bermula di tahun 2011 ini dibahas dalam diskusi daring yang diselenggarakan Pusat Kajian Tajdid Institute, Jumat sore (1/5).

Diskusi menghadirkan tiga pembicara, yakni pengamat Timur Tengah dan Dunia Islam, Hasibullah Satrawi; Presiden Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Maroko, Teguh Santosa; dan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin. Diskusi dipandu oleh Prof. Atip Latipulhayat. 

Dalam pandangannya, Teguh mengajak untuk melihat kembali proses perubahan yang telah terjadi di Uni Soviet dan Yugoslavia pada awal 1990an. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan di Eropa Timur itu telah menemukan akhir, walaupun untuk beberapa kasus akhir dari perubahan itu menjadi awal bagi persoalan baru yang muncul.

Berkaca pada Uni Soviet, Teguh mengatakan ada dua kata kunci penting yang menjadi syarat perubahan, yakni glasnost atau keterbukaan dan perestroika atau restrukturisasi struktur politik dan ekonomi.

Dia juga mengatakan, perubahan di suatu negeri, seperti kata Bung Karno, terikat pada hukum natur dan kultur. Dengan demikian tidak ada resep yang bisa dianggap generik dan diberlakukan untuk semua kasus.

“Model yang generik saya kira tidak bisa digunakan. Kita jangan jadi seperti Samuel Huntington dan Francis Fukuyama yang mengidolakan satu model, kemudian memaksa model itu untuk diimplementasikan di negeri-negeri yang lain. Itu menghasilkan chaos,” ujar Teguh yang juga dosen hubungan internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini.

Teguh berharap, perubahan lanskap politik di Arab Saudi terjadi secara alamiah. Dia tidak ingin melihat perubahan yang sangat drastis dan bisa mengubah secara total sistem politik negeri para pangeran itu.

Di sisi lain Teguh menilai natur dan kultur khas yang dimiliki Arab Saudi dan keluarga kerajaan akan mencegah perubahan lanskap politik secara drastis.

“Saya berharap ada sistem koreksi internal dari kalangan keluarga kerajaan mereka sehingga mereka bisa memperbaiki apa yang mereka rasa masih kurang,” ujar Teguh.

Senada dengan itu, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri PP Persis, Yusuf Burhanuddin, mengatakan sejauh ini yang ditampilkan dalam “reformasi” ala pangeran Muhammad bin Salman (MBS) masih bersifat simbolik. Misalnya memberikan kesempatan kepada wanita untuk mengendarai mobil dan berpergian tanpa pengawalan muhrim. Juga membuka tempat hiburan seperti kafe dan kasino.

Alumni Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, ini juga menilai bahwa faktor keluarga kerajaan Arab Saudi sangat menentukan perubahan. Seperti Teguh, ia berharap perubahan di Arab Saudi tidak terjadi secara drastis.