Tak pernah terbayangkan sebelumnya, menjadi imam dan khatib Shalat Idul Fitri. Mengharukan.
Jamaahnya hanya empat orang. Lumayan.
Setelah shalat Subuh saya membuka2 bbrp referensi materi khutbah, juga tentu saja bacaan2 doa dan yg juga penting kata2 sapaan kepada jamaah: maasiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Tapi tak bisa dipaksakan masuk ke kepala dalam waktu singkat. Akhirnya diputuskan utk mengalir saja.
Materi khutbah pertama tak jauh dari situasi yg sedang terjadi: pandemi Covid19, termasuk sejarah singkat virus corona yg mematikan ini. Tapi soal ini, agaknya tidak memunculkan efek wow di kalangan jamaah. Tafta tanpa sungkan menyela, “Aku sdh tahu. Ada flu Spanyol, kan.”
Tafta baru terlihat sedikit takjub saat mendengar cerita tentang perjalanan saya ke Guangzhou di awal 2003, ketika SARS, salah satu varian yg lebih awam dari virus corona, menyebar. Ini perjalanan yg menegangkan karena Guangzhou adalah episentrum, titik nol SARS, seperti Wuhan yg adalah titik nol Covid19. Saya tak lama Guangzhou, hanya transit, tukar pesawat menuju Beijing, lalu ke Pyongyang.
Saya sampaikan kepada jamaah bahwa wabah dan bencana alam di sisi lain membantu manusia membangun peradaban. Berbagai penemuan dihasilkan utk mengatasi situasi sulit.
Adaptasi kelihatannya adalah skill terpenting yg dimiliki homo sapiens.
Materi kedua terkait dengan adaptasi di lingkungan domestik kami. Anak2 sudah hampir tiga bulan tak sekolah dan keluar rumah. Terkadang terasa membosankan dan menjengkelkan. Tapi ini juga bagian dari adaptasi.
Juga ttg berbagai ujian bbrp waktu belakangan ini. Saya misalnya, mesti dirawat dua minggu di RS karena demam berdarah. Dan di tengah pandemi, setelah keluar dari RS saya harus isolasi mandiri di luar rumah, juga selama dua minggu.
Namun begitulah, terlepas dari apapun yg terjadi, kita perlu mengingat dan mempraktikkan ilmu hikmah dan ilmu syukur.
Teguh Santosa 