Agustus 2011, lima tahun lalu, sambil menunggu Sabar Gorky turun dari Elbrus, saya sempat jalan-jalan keliling Moskow dengan dua senior, Pak Ahmad Supardi Adiwijaya dan Tuan Svet Zakharov. Keduanya kini telah tiada. Pak Pardi meninggal dunia setahun setelah kunjungan itu, dan Tuan Zakharov menyusul beberapa bulan lalu.
Keduanya adalah teman lama, sudah saling mengenal sejak Pak Pardi tinggal di Moskow antara 1962 hingga 1990. Pada tahun 1990 Pak Pardi berangkat ke Belanda dan menetap di negeri kincir angin sampai ajal menjemputnya.
Tahun 2011 itu adalah perjalanan pertama dan terakhir Pak Pardi ke Moskow yang ditinggalkannya pada 1990.
Siang itu kami mengunjungi tempat-tempat yang memiliki arti khusus bagi Pak Pardi. Dia membawa saya ke tempat pertama dia bertemu istrinya. Pandangan pertama di dalam bis kota, katanya. Saya mengusulkan pada Pak Pardi untuk membuat film mengenai perjalanan hidupnya. Saya tawarkan beberapa adegan pembuka yang menurut saya luar biasa. Dia tertawa-tawa.
Pak Pardi juga membawa kami ke Institut Ketimuran Universitas Moskow, tempat dia pernah bekerja sebagai peneliti beberapa tahun lamanya. Saat menemukan tempat itu, Pak Pardi seperti anak kecil yang menemukan mainan yang sudah lama hilang. Dia menelusuri koridor, memasuki hampir semua ruang kerja. Sampai akhirnya kami bertemu dengan Prof. Nelly, yang belakangan saya tahu semacam rektor di Institut itu.
Mendengarkan kisah kedua senior ini mengenai beberapa peristiwa penting dalam perjalanan Uni Soviet dan Federasi Rusia adalah sebuah kemewahan. Keduanya memiliki cara pandang sendiri, yang menarik dan tak jarang berbeda. Tuan Zakharov adalah pecinta Partai Komunis Uni Soviet. Dia memperlihatkan koran Partai Komunis kepada saya. Dia terangkakan satu-dua berita yang ditulis dalam aksara Cyrillic.
Sementara Pak Pardi, adalah mahasiswa ikatan dinas (mahid) yang karena peristiwa 1965 tidak bisa pulang ke Indonesia untuk waktu yang cukup lama, sampai kekuasaan Orde Baru berakhir. Dia kadung dicap sebagai orang Sukarno karena berangkat ke Moskow untuk sekolah atas jasa baik pemerintahan Si Bung Besar.
Pak Pardi membenarkan dirinya seorang Sukarnois. Kebanggaannya pada Sukarno sungguh luar biasa. Itu sebabnya, sampai usia tua, dan sampai dia bertatap muka dengan maut, Pak Pardi ngotot bekerja sebagai kontributor Rakyat Merdeka dan Kantor Berita Politik Rakyat Merdeka Online. Dia merasa media ini mewarisi semangat Bung Karno.
Pak Pardi juga mengenalkan saya dengan Direktur ASEAN Kementerian Luar Negeri Rusia, Victor Sumsky. Kami sempat bicara sedikit tentang harapan-harapan Rusia pada ASEAN.
Tempat terakhir yang kami kunjungi hari itu adalah Jalan Arbat. Kami berhenti di tempat seorang pelukis kartun menunjukkan kemampuan.
Inilah gaya mereka. Saya bersyukur bisa mengenal mereka dan menghabiskan satu hari yang mewah bersama keduanya. Di Moskow, Rusia.