Keberagaman atau pluralisme bukan barang baru di Republik Indonesia. Belakangan ini kekerasan dengan menggunakan agama dan keyakinan sebagai alasan memang terlihat lebih sering terjadi dibandingkan pada masa sebelumnya. Namun, hal itu bukan karena keberagaman. Melainkan karena negara dan pemerintah tidak hadir dan gagal melindungi warga negara dan menegakkan hukum yang berwibawa.
Demikian antara lain disampaikan Pemimpin Redaksi Rakyat Merdeka Online, Teguh Santosa, yang menjadi salah satu pembicara dalam seminar bertema Penghayatan Panggilan Imamat dengan Semangat Pluralisme di Seminari St. Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu pagi (23/7).
Seminar tersebut digelar untuk memperingati ulangtahun ke 100 Seminari Mertoyudan. Turut hadir sebagai pembicara intelektual Nahdlatul Ulama Zuhairi Misrawi, tokoh masyarakat GKI Taman Yasmin Bogor, Markus K. Hidayat, Wapemred Kompas Trias Kuncahyono, dan anggota Komisi II DPR RI Basuki Tjahja Utama alias Ahok.
“Kekerasan atas nama agama dan keyakinan hanya bisa dihentikan bila pemerintah memiliki kemampuan menampilkan wajah negara yang kuat,” kata Teguh yang juga Wakil Sekjen Pemuda Muhammadiyah.
Dengan mengatakan negara harus kuat, sambung Teguh, dirinya tidak bermaksud mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan pemerintahan otoriter dan diktatoriat seperti di masa lalu. Negara kuat, sebutnya lagi, adalah negara yang mampu menjalankan fungsi untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Negar yang fungsional adalah negara yang peduli dan pemerintah bisa membuktikan keperdulian itu.
“Gap dan ketimpangan ekonomi yang sedemikian rupa akibat dari hasil pembangunan yang tidak merata adalah bibit kekerasan atas nama apapun. Sayangnya, agama menjadi faktor yang paling mudah digunakan untuk melakukan kekerasan, sekaligus faktor yang paling mudah dipolitisasi,” demikian Teguh.