“KETIKA Indonesia merupakan tanah jajahan, Belanda memperlakukan saya dengan baik. Saya menjabat apa yang disebut redaktur pribumi (inheemse) dari Kantor Berita Aneta. Pimpinan Redaksi terdiri dari orang-orang Belanda. Saya sebagai redaktur Indonesia, hubungan saya dengan rekan-rekan Belanda baik: gaji saya dinaikkan oleh Direktur Mr. De Vries. Gaji saya sebanyak 110 gulden, suatu jumlah yang besar ketika itu.
Pada masa lalu, saya tidak punya orientasi politik. Namun saya merasa tidak nyaman melihat orang-orang asing memiliki begitu besar kekuasaan di Indonesia. Tetapi saya bisa bekerjasama dengan orang-orang dan mereka juga menghargai saya.
Saya tetap bekerja di Aneta, ketika Jawa jatuh ke tangan Jepang. Kami harus mengevakuasi Redaksi Aneta. Saya lihat tentara Belanda menyerahkan diri kepada Jepang. Dari Departemen Urusan Perang saya melihat di udara makin banyak pesawat-pesawat tempur Jepang. Mereka sebagai tuan laiknya menguasai udara. Di udara tidak ada satupun pesawat tempur Belanda yang terlihat melawan Jepang. Saya tidak pernah melihat satu pun pesawat Jepang yang kena tembak atau dijatuhkan oleh pesawat tempur Belanda.
Kantor Berita Aneta tentu saja ditutup oleh Jepang. Dan oleh karena itu saya kehilangan pekerjaan. Kemudian saya mendapat pekerjaan di koran Pemandangan. Tetapi di sini saya bekerja tidak lama karena teman-teman saya meminta saya bekerjasama dengan mereka di Dome, persbiro Jepang. Direktur dari seksi Indonesia juga orang Jepang. Sampai kapitulasi Jepang, ketika itu kami kembali bekerja sebagai persbiro Antara.”
Itu adalah penggalan cerita pembuka yang disampaikann Sukrisno kepada majalah terbitan Belanda, NRC Handelsblad, edisi 15 Desember 1986.
Wawancara itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Redaktur Senior Rakyat Merdeka Online, A. Supardi Adiwidjaya yang bermukim di Belanda. Supardi juga sempat beberapa kali bertatap muka dengan Sukrisno, di Negeri Belanda, negeri terakhir yang disinggahi Sukrisno sebelum meninggal dunia di tahun 1997. Ketika diwawancara dilakukan, Sukrisno menetap di Amstelveen, di utara Belanda.
Tak banyak di antara kita yang pernah mendengar nama Sukrisno sebelum ini. Ia merupakan salah seorang eksil (sebutan untuk orang Indonesia yang terpaksa tinggal di luar negeri menyusul peristiwa 30 September – 1 Oktober 1965) yang tidak bisa pulang ke tanah air.
Sukrisno jelas bukan wartawan biasa. Jaringannya di kalangan pejabat dan pemimpin Indonesia begitu luas. Di tahun 1949, misalnya, Perdana Menteri Mohammad Hatta mengajak Sukrisno ikut ke Den Haag untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB), sebuah babak penting yang mengakhiri pendudukan Belanda di tanah air.
Pada tahun 1960 Sukrisno ditugaskan Presiden Sukarno menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Rumania. Lima tahun kemudian, pemerintah Sukarno menambah tugas Sukrisno. Ia juga diangkat sebagai Duta Besar RI untuk Vietnam.
Ia tengah berada di Vietnam ketika enam jenderal dan seorang perwira muda TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965.
Peristiwa itu yang oleh Mayjen Soeharto disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) dan oleh Presiden Sukarno disebut sebagai Gestok (Gerakan Satu Oktober) diikuti oleh pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan orang-orang yang diduga memiliki kaitan dengan partai itu sampai tahun 1966. Hingga hari ini tak ada angka pasti berapa jumlah orang yang tewas dalam pembantaian massal itu. “Angka resmi” yang sering disebutkan dalam banyak tulisan adalah antara 500 ribu hingga 1,5 juta.
Tetapi, dalam Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant (2008), peneliti dari Cornell University Ben Anderson yang mengikuti rangkaian persitiwa ini mengutip pengakuan terakhir Jenderal Sarwo Edhie sebelum meninggal dunia. Menurut Jenderal Sarwo Edhie, demikian Ben Anderson, dirinya bertanggung jawab atas pembantaian tiga juta orang.
Sebagai catatan, artikel Exit Soeharto dituliskan Ben Anderson tiga bulan setelah Soeharto meninggal dunia dan dimaksudkan untuk mengenang Soeharto yang pernah berkuasa selama lebih dari tiga dasawarsa di Indonesia, termasuk mengenang jalan yang ditempuh Soeharto untuk meraih kekuasaan.
Mengenai peristiwa Gestapu atau Gestok itu, kepada NRC Handelsblad, Sukrisno mengatakan, “Bagaimana dan kenapa itu terjadi sampai saat ini adalah satu tanda tanya besar, suatu masalah yang sangat peka. Soeharto telah mendapat informasi bahwa para perwira muda, yang merasa tidak puas terhadap para pimpinannya atau para komando militer, akan akan menyerang mereka. Tetapi Soeharto tidak memperingatkan mereka. Ketika opsir-opsir muda membunuh panglimanya, Soeharto mulai bertindak dan menangkap mereka, menyalahkan kaum komunis, dan mengantar Presiden Sukarno ke akhirnya kekuasannya.
Suharto sangat cerdas (pienter). Dia memerintahkan tentaranya untuk membunuhi boerenbevolking (kaum petani) di Jawa karena menurut perhitungannya, mereka merupakan basis kekuatan kaum komunis yang memberikan dukungan kepada Sukarno. Dengan begitu, dia telah membunuh sejuta manusia, menurut berita-berita diplomatik Inggris, yang saya baca di Hanoi.”
Mengetahui berita mengenaskan ini, Sukrisno tidak bisa tinggal diam. Dari Hanoi ia mengirimkan surat protes dan meminta agar kaum komunis yang dianggap bersalah dibawa ke pengadilan.
Surat Sukrisno itu menyinggung perasaan kelompok Soeharto yang tengah berkuasa. Sejak saat itu, ia pun “divonis” sebagai orang yang tak diingini kehadirannya di tanah air.
Tidak banyak di antara kita yang pernah mendengar nama Sukrisno. Tetapi kisah yang dialami Sukrisno, seperti kita sama ketahui, adalah kisah yang dialami oleh banyak orang Indonesia di masa itu. Mulai hari ini untuk selama beberapa hari Rakyat Merdeka Online akan menurunkan tulisan mengenai Dubes Sukrisno secara bersambung. Tulisan yang sedang Anda baca ini adalah bagian pertama.
Silakan menunggu bagian selanjutnya.