
MENINGGAL dunia di usia 81 tahun pada tanggal 6 Maret 1999 di Amstelveen, Belanda, Sukrisno dikenang oleh teman-temannya di Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia (YBSI) sebagai seorang pejuang pena patriotik terkemuka, sarjana, dan diplomat.
Di dunia maya, kita masih dapat menemui catatan YBSI yang dituliskan untuk mengenang kepergian Sukrisno. Tidak banyak, tetapi cukup untuk melengkapi catatan terbatas yang kami peroleh dari keluarga tentang dirinya.
Setelah menyelesaikan pendidikan lima tahun di Schakel School yang setara Sekolah Dasar dan tiga tahun di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setara Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sukrisno memulai karier jurnalistiknya. Dari juruketik dan korektor hingga akhirnya menjadi wartawan Kantor Berita Aneta milik pemerintah kolonial Belanda.
Bersama sejumlah wartawan lain di masa itu, seperti A.M. Sipahoetar, Soemanang, Sugondo Djojopuspito, Adam Malik dan Pandoe Kartawigoena, pada 13 Desember 1937, Sukrisno mendirikan Naamloze Vennootschap (NV) Kantor Berita Antara. Sugondo Djojopuspito yang berusia 33 tahun terpilih sebagai direktur sementara Adam Malik yang berusia 20 tahun menjadi redaktur. Adapun Sukrisno ketika itu berusia 19 tahun.
Walau secara resmi masih tercatat bekerja pada Kantor Berita Aneta, tetapi Sukrisno ikut aktif menggalang gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda di bawah tanah. Ketika Jepang berkuasa, Sukrisno sempat pindah ke harian Pemandangan. Tidak untuk waktu yang lama. Ia keluar karena menolak bekerjasama dengan Kantor Berita Domei milik pemerintah kolonial Jepang. Tetapi Sukrisno tak meninggalkan gelanggang. Sebaliknya, dari bawah tanah ia aktif mengabarkan jalannya Perang Asia Timur Raya sampai kekalahan Jepang menjadi kenyataan.
Ia, bersama sejumlah wartawan lain di masa itu, juga berperan dalam menyebarkan kabar Proklamasi Kemerdekaan yang dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945 ke seluruh bekas wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Ia, dengan kata lain, ikut menghadirkan dan membangun realita Indonesia sebagai sebuah entitas politik yang sovereign sebagai antitesa kekuasaan kaum kolonial.
Pada Desember 1949, sebagai Wakil Pemimpin Redaksi, Sukrisno ikut dalam rombongan Perdana Menteri Mohammad Hatta dan Moh. Roem ke Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Selain Sukrisno yang mewakili Antara, wartawan lain yang meliput jalannya KMB adalah Rosihan Anwar dan istrinya, Zuraida (Pedoman); BM Diah dan istrinya, Herawati (harian Merdeka); Adinegoro dan istri (majalah Mimbar Indonesia); Wonohito (Kedaulatan Rakyat); Mohammad Said (Waspada); Kwee Kek Beng (Sin Po); Ir Pohan (majalah Spektra); RM Sutarto (Berita Film); dan EU Pupella (Ambon).
KMB adalah salah satu tonggak penting dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia. Di dalam KMB itulah pemerintah Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut. Dan karena itu Kerajaan Belanda juga mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Kerajaan Belanda juga berjanji akan menyerahan kedaulatan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Sepintas, isi dari KMB ini memperlihatkan keinginan Kerajaan Belanda untuk tetap mempertahankan politik devide et impera di bekas jajahan mereka, khususnya Hindia Belanda yang telah mengadopsi nama baru, Indonesia. Kerajaan Belanda mempersilakan pemimpin Indonesia bersorak karena menduga telah mendapatkan kemerdekaan politik, sementara dominasi dan kekuasaan ekonomi atas negara baru itu akan tetap berada di tangan keluarga Ratu Wilhelmina.
Tetapi maksud Belanda ingin menguasai kembali Indonesia adalah langkah yang keliru, ujar Sukrisno dalam wawancara di majalah terbitan Belanda, NRC Handelsblad, edisi 15 Desember 1986.
RIS yang memiliki 16 negara bagian hanya bertahan kurang dari setahun. Pada 17 Agustus 1950, negara RIS dibubarkan setelah tiga negara bagian paling berpengaruh, Negara Republik Indonesia Serikat, Negara Sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur, sepakat membentuk Negara Kesatuan.
Setelah kemerdekaan benar-benar berada di dalam genggaman, Sukrisno melanjutkan perjuangannya mengikuti gagasan Presiden Sukarno: kemerdekaan Asia dan Afrika. Pada tahun 1955 Sukrisno mendirikan perwakilan Antara di Gedung PBB di New York, Amerika Serikat. Dari kantor perwakilan Antara di PBB inilah jalannya Konferensi Asia Afrika pada April 1955 di Bandung, disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Laporan-laporan dari Bandung telah membukakan mata dan menyadarkan pemimpin negara-negara adikuasa bahwa gagasan kemerdekaan nasional telah bersemi tak tertahankan di bekas jajahan mereka di Asia dan Afrika.
Sukarno memang memiliki tempat khusus di hati Sukrisno. Di mata Sukrisno, Sukarno adalah seseorang yang baik hati dan sungguh baik terhadap dirinya. Namun begitu, Sukrisno menegaskan bahwa, seperti yang telah menjadi aturan tak tertulis di kalangan jurnalis Antara, dirinya tidak pernah menjadi pengikut salah satu partai politik, termasuk partai politik yang didirikan Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), ataupun partai politik yang kemudian memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, Partai Komunis Indonesia (PKI). Tetapi ia tidak menutupi, bahwa ia memiliki rasa simpati kepada partai yang didirikan Sukarno.
Sukarno tampaknya jatuh hati pada semangat juang dan kemampuan dan pengalaman Sukrisno di bidang politik. Itulah antara lain yang membuat Sukarno pada tahun 1960 meminta Sukrisno menjadi Duta Besar RI untuk Rumania.
Awalnya Sukrisno menampik tugas yang diberikan Sukarno.
“Saya tidak mempunyai kapasitas untuk menjadi duta besar, dan tidak mempunyai kecakapan untuk itu,” ujar Sukrisno kepada Sukarno sambil menambahkan bahwa dirinya lebih senang jika menjadi Redaktur Utama Kantor Berita Antara.
Tetapi jawab Sukarno, “Kamu harus juga mendapat pengalaman dalam bidang diplomasi. Kamu mempunyai cukup pengalaman dalam bidang politik dalam negeri, tetapi belum dalam bidang luar negeri.”
Sukrisno pun berhenti menolak. Ia menerima penugasan itu. Setelah lima tahun bertugas di Bucharest, pada tahun 1965 Sukarno menugaskan Sukrisno sebagai Duta Besar Indonesia di Vietnam.
Apa daya, hubungan dekat Sukrisno dengan Sukarno ini akhirnya menjadi bumerang. Menyusul peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 yang sampai kini masih menyimpan kontroversi, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto menganggap Sukrisno tidak bersih lingkungan. Ia di-persona non grata alias kehadirannya di tanah air tidak lagi diinginkan. Harta kekayaannya di tanah air disita. Segala kehormatan dan jasa baiknya untuk Republik dihapuskan. Bersambung/