Enaknya Hidup di Jaman Jepang

512px-flag_of_chuuksvg

ORANG_ORANG tua di Chuuk masih ingat betapa enak hidup di jaman Jepang.

Begitu kata Mason Fritz, Kepala Otoritas Pariwisata Negara Bagian Chuuk, Federasi Mikronesia yang menyempatkan diri membawa kami, tim pemantau pemilihan umum dari Asia Pacific Democracy Partnership (APDP) dan East West Center (EWC), mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Pulau Weno, hari Minggu kemarin (1/3).

Di jaman Jepang kehidupan masyarakat jauh lebih tertib, ada peraturan yang jelas dan tegas. Infrastruktur publik dibangun dengan rapi. Anak-anak dapat mengikuti pendidikan di sekolah dan diberi kesempatan mempelajari teknologi dan bahasa Jepang walau setiap pagi harus memberi hormat pada Dewa Matahari. Tingkat kriminalitas sangat rendah. Tak ada keonaran karena Kempetai, polisi militer Jepang, yang berpatroli dengan ketat tak pandang bulu menindak siapaun yang berbuat rusuh.

Kini, masyarakat hidup sesuka hati, tak ada hukum dan peraturan yang dapat dipegang dengan pasti. Dimana-mana tampak tebaran dan tumpukan sampah, rongsokan mobil terlihat hampir di depan setiap rumah. Jalanan di Weno yang kini menjadi ibukota Chuuk pun rusak berat. Belum lagi listrik yang seringkali padam, atau pasokan air bersih tak terjamin.

Sebagian besar gedung di Weno rusak parah, kalau tak mau disebut tinggal puing-puing. Bukan hanya rumah tempat tinggal warga, juga kantor pemerintahan dan kompleks pertokoan pun tak terurus.

Di hari kedua di Chuuk, ditemani seorang mahasiswa saya mengunjungi gedung Komisi Pemilihan Umum Negara Bagian Chuuk yang terletak tak jauh dari Kantor Gubernur. Gedung dua lantai itu lebih mirip puing-puing bangunan yang dipaksakan menjadi kantor. Departemen Pekerjaan Umum juga Kejaksaan Tinggi pun berkantor di gedung tak terurus itu. Kalau tak salah, juga Departemen Pendidikan.

Nah, Kantor Gubernur Chuuk yang berada di seberangnya pun dari luar tampak sama kumuhnya.

Sepengamatan saya hanya sedikit gedung baru yang ada di Weno. Itu pun kelihatannya dibangun dengan sesuka hati tanpa mempertimbangan keindahan, kerapian apalagi amdal alias analisa mengenai dampak lingkungan hidup.

Keadaan pulau-pulau lain di dalam dan di luar Chuuk Lagoon jauh lebih parah. Termasuk di Pulau Tonowas yang merupakan ibukota Chuuk Lagoon di jaman pemerintahan militer Jepang.

Hari ini (Senin, 2/3) saya mengunjungi Tonowas dan Etten. Keduanya terletak tak begitu jauh di sebelah selatan Weno. Dan di kedua pulau itu pun saya menyaksikan keadaan yang memprihatinkan. Infrastruktur militer, pangkalan udara dan pelabuhan yang dibangun Romusha hilang.

Saat menginjakkan kaki di Weno hari Kamis pekan lalu (26/2), saya membandingkan Chuuk yang saya lihat dengan Chuuk yang ditulis oleh banyak website pariwisata yang saya baca sebelum berangkat.

Di dunia maya Chuuk digambarkan sebagai surga di tengah Pasifik. Dikenal dengan keindahan lagoon, gugusan pulau-pulau atoll yang luar biasa, dan puing-puing kapal laut Jepang yang karam dibombardir Amerika dalam Operasi Hailstone tahun 1944 silam yang kini menjadi objek olahraga diving dan snorkeling.

Tetapi yang saya temukan sebaliknya: Weno bagai kota hantu yang dipenuhi gedung-gedung tua, tak terurus dan terabaikan. Bersambung

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s