
TAHUN 2003, di sela-sela mengamati rencana Amerika Serikat dan sekutunya menghancurkan Irak, saya sempat mengunjungi Turki. Dari Damaskus, ibukota Suriah, saya menempuh perjalanan darat.
Kota Turki pertama yang saya singgahi adalah Antakya yang dilalui Sungai Asi. Lalu kota pelabuhan Iskanderun. Ribuan kendaraan militer dan tentara sekutu berkumpul di area pelabuhan. Di antara mereka, saya melihat sekelompok tentara yang mengenakan baret biru PBB.
Dari Inskanderun inilah, pasukan sekutu bergerak ke Diyarbakir, di sebelah timur yang berbatasan dengan wilayah Turki yang dikuasai orang-orang Kurdi. Seperti di Irak, gerakan Kurdi juga menjadi masalah dalam negeri Turki yang sulit dipecahkan. Di Irak persoalan Kurdi selesai setelah Saddam Hussein terguling.
Selain Diyarbakir, North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang dipimpin AS juga memiliki pangkalan militer di Incilrik, sebelah tenggara Turki. Dari pangkalan ini Amerika dan sekutunya memantau wilayah Irak pasca Perang Teluk I (1991), hingga Perang Teluk II (2003).

Maret 2003, Perdana Menteri Turki ketika itu, Abdullah Gul, sedang tawar menawar dengan Amerika Serikat. Pemerintahan George W Bush bersedia membantu Turki menanggulangi krisis ekonomi yang menggila dengan syarat Turki memperbolehkan Amerika menggunakan wilayah darat negara itu untuk menyerang Irak.
“Niat baik” yang ditawarkan AS saat itu berwujud bantuan sebesar enam miliar dolar AS dan pinjaman lunak sebesar 24 miliar dolar AS. Angka yang lumayan untuk menyehatkan ekonomi Turki. Sebagai gambaran, saat itu satu dolar AS sama dengan 1,65 juta Lira Turki (LT). Setelah tawar menawar itu digolkan Recep Tayyip Erdogan, pengganti Abdullah Gul, Turki segera mereformasi ekonomi mereka dengan kecepatan penuh.
Pada akhir 2003, Parlemen Turki menyetujui pemotongan enam nol uang Turki—yang oleh Erdogan disebut sebagai persoalan bangsa yang paling memalukan. Januari 2005 pemerintah mengeluarkan mata uang baru, yang disebut Lira Turki Baru (Yeni Turk Lirasi dan disingkat YTL). Uang lama yang ada di tangan masyarakat masih boleh beredar hingga akhir Desember ini. Walhasil, kini satu dolar AS sama dengan 1,3 YTL.
Kemajuan lain yang dialami Turki beberapa tahun terakhir berkaitan dengan usaha mereka mengintegrasikan diri dengan Uni Eropa. Sudah sejak lama negara yang didirikan Mustafa Kemal Ataturk itu berusaha keras menjadi bagian dari benua putih itu, walau hampir seluruh wilayahnya berada di Asia Tengah, kecuali Istanbul bagian barat.
Reformasi politik (dan budaya) yang dilakukan Ataturk—diawali dengan laicisme atau sekularisme—pun terlihat sebagai konsekuensi dari keinginan menjadi Eropa. Walau sama sekali tidak melibatkan diri dalam Perang Dunia II, Turki bergabung dengan NATO, dan menjadi satu-satunya anggota yang punya status “negara Asia”.
Niat menjadi bagian dari masyarakat Eropa diumumkan pemerintah Turki pertama kali pada 1959. Tapi pengumuman itu tak ditanggapi. Tahun 1963 Turki menyatakan akan memperat hubungan dengan Eropa. Nah, pernyataan inilah yang mulai membuka peluang mereka untuk jadi bagian Eropa.
Tapi tak lama keinginan itu kembali terganjal. Kali ini oleh krisis Siprus. Pada 1974 Turki mengirim tentara ke Siprus untuk menyelamatkan warga Siprus etnis Turki dari penindasan Yunani yang didukung pemerintahan Athena. Turki membantu etnis Turki di Siprus membentuk Republik Turki Siprus Utara. Sampai hari ini, hanya Turki yang mengakui negara itu.
Selain kasus Siprus, Turki juga terganjal kasus Armenia yang terjadi ketika Perang Dunia I tengah berkecamuk (1915), ketika Ottoman masih berkuasa di sebagian besar wilayah Asia Tengah hingga Afrika Utara.
Menurut Ankara, tudingan itu mengada-ada. Karena dalam situasi perang, tentulah pihak manapun yang terlibat berusaha menyingkirkan musuh. Namun masyarakat Eropa sudah kadung mendendam. Bagi mereka itu adalah “dosa” yang diwariskan kepada bangsa Turki hingga hari ini.
Baru pada 1999, dalam sebuah perundingan di Helsinki, Finlandia, Turki secara resmi diakui sebagai kandidat anggota Uni Eropa.
Awal Oktober lalu, setelah melalui pembicaraan yang cukup panas di Luksemburg, Uni Eropa akhirnya bersedia menerima Turki sebagai anggota baru. Tetapi status anggota penuh, kata Menlu Inggris Jack Straw yang memimpin sidang, baru akan diperoleh Turki “dalam waktu dekat”. Nah, banyak pihak percaya, “dalam waktu dekat” itu bisa berarti 10 atau 15 tahun lagi. [t] Rakyat Merdeka, 2 Desember 2005
Turki Penghianat………………………………..
Apa yang loe harapin dari negara barat toe…………….
Mang hebat apa mereka?
Ntar lagi juga bakal jatuh koQ peradaan barat………………..