


MUSTAFA Kemal Ataturk sering keluar diam-diam dari Istana Dolmabhache.
Tiba-tiba dia sudah berada di tepi Selat Bosporus, bernyanyi dan menari bersama nelayan.
Atau di suatu malam, dia duduk di pinggir jalan, bercerita kepada sekelompok taruna tentang kehidupan dunia tentara. Ceritanya terhenti setelah pasukan pengawal datang menjemputnya.
***
Sampai hari ini, nama Mustafa Kemal Ataturk masih berada di hati rakyat Turki. Potret dan patungnya dipajang di semua tempat publik, di restoran dan tempat hiburan, juga di rumah penduduk, dan di semua uang kertas Turki. Namanya diabadikan untuk bandara di Istanbul dan jembatan yang melintasi Tanduk Emas dari Unkapani ke Galata.
Ataturk lahir di Salonika, sebelah utara Yunani, pada 1881. Orang tuanya, Ali Riza dan Zubaydah memberi nama Mustafa padanya. Nama Kemal yang berarti sempurna diberikan gurunya karena kemampuan Ataturk pada bidang matematika. Sementara nama Ataturk yang berarti Bapak Turki diberikan parlemen setelah dia berkuasa 1923.
Dia menikah dengan seorang wanita bernama Latifa. Dari pernikahannya yang singkat (1923-1925), dia tak memperoleh anak. Tapi dia punya banyak anak angkat, dan yang paling dikenal publik adalah Ulku.
Karier militernya semakin kinclong saat dia memimpin pasukan Turki bertempur melawan koalisi Inggris, Prancis, Australia dan Selandia Baru di Galipoli, April 1915. Menyusul sukses itu, dia naik pangkat jadi brigardir jenderal.
Dia juga pernah memimpin pasukan Turki menghadapi Rusia di Kaukasus. Lalu ke Hejaz di daratan Arab, menghadapi pemberontakan orang Arab yang didukung Inggris, sebelum akhirnya dikirim ke Palestina.
Oktober 1921, Ataturk menandatangani Perjanjian Kars dengan Uni Soviet. Dalam perjanjian itu, Ataturk menyerahkan Batumi (di wilayah Gerogia saat ini) untuk Soviet, dan sebaliknya menerima Kars di Armenia dan Ardahan. Tahun 1923 dia mendirikan Partai Republik Rakyat, yang menjadi kendaraan politiknya untuk menguasai Turki pasca kehancuran Ottoman.
Setelah sakit berbulan-bulan, Ataturk menghembuskan nafas terakhir, pada 10 November 1938, beberapa menit lewat dari pukul sembilan pagi, di Istana Dolmabhache, Istanbul.
Hari-hari terakhirnya ditingkahi intrik politik dua teman dekatnya, Ismet Inonu yang pernah jadi perdana menteri dan perdana menteri saat itu Celal Bayar. Setalah ia wafat, Inonu menggantikannya sebagai presiden. Tak sampai setahun kemudian, Bayar mengundurkan diri.
Umumnya di luar Turki, sepak terjang Ataturk dalam membangun Turki menuai kontroversi. Dia dituding sebagai biang keladi atas kehancuran Ottoman, kerajaan Islam terakhir di muka bumi yang dibubarkannya 3 Maret 1924.
Menurut Ataturk, negara dan agama haruslah dipisahkan. Katanya suatu kali:
“Agama adalah institusi yang penting. Sebuah bangsa tanpa agama tidak bisa bertahan. Tentu saja sangat penting untuk mencatat bahwa agama adalah kaitan antara Allah dengan manusia yang mempercayai-Nya. Penghancuran agama tidak dapat diterima. Begitu juga penggunaan agama untuk kepentingan sendiri. Kita menghindarkan hal demikian, dan tidak akan membiarkannya. Apapun yang sesuai dengan akal sehat dan logika, kepentingan dan kebutuhan bangsa kita tentu sesuai dengan agama (Islam). Bila agama kita tidak sesuai dengan logika dan akal sehat, dia tentulah bukan agama yang sempurna, bukan agama terakhir.”
Terlepas dari sikap pribadinya atas agama, dan Islam (Ataturk juga selalu membawa tasbih kecil di tangannya), sepak terjang Ataturk memang mencengangkan. Dia berani melawan tradisi yang tumbuh ratusan tahun di negerinya.
Fez, pakaian kebesaran di kalangan istana Ottoman yang diperkenalkan Sultan Mahmud II pada 1826, dinilai Ataturk sebagai simbol feudalisme, untuk selanjutnya dilarang. Pemerintahannya mendorong agar wanita dan pria Turki mengenakan pakaian ala Barat. Tak pernah ada larangan resmi, namun jilbab jelas dianaktirikan.
Pada 1926 Ataturk mengganti kalender Islam yang didasarkan pada waktu yang digunakan bulan untuk mengelilingi bumi dengan kalender Gregorian yang didasarkan pada rotasi bumi mengeliling matahari.
Dua tahun kemudian pemerintah mengganti alfabet Arab dengan alfabet Latin. Penduduk yang berusia antara enam hingga 40 tahun diwajibkan mempelajari alfabet Latin di sekolah-sekolah. Ataturk juga menghapuskan kata-kata Arab dan Persia dari bahasa Turki. Di sisi lain, dia membolehkan konsumsi minuman beralkohol.
***
Di hari terakhir, peti mati Ataturk ditutup bendera Turki: merah, bulan sabit dan bintang putih. Dari Dolmabhache jenazahnya dibawa melintasi Bosporus lewat Jembatan Galata. Lalu diangkut naik kapal perang menuju Izmit. Dari Izmit, rombongan duka itu naik kereta api menuju Ankara.
Riwayat Ataturk berakhir di bukit Anittep. [t] Rakyat Merdeka, 1 Desember 2005