Telur Di Keranjang Saudara Tua

BAGI Indonesia, Turki ibarat saudara tua. Hubungan kedua negara telah dimulai ratusan tahun lalu, saat keduanya masih “di alam rahim”. Di akhir abad ke-13 ulama Islam dari Ottoman telah mengembara hingga ke pulau-pulau di nusantara, mengembangkan agama Islam dari satu dusun ke dusun lain, dari satu kerajaan ke kerajaan lain.

Awal abad ke-15, dua ulama asal Ottoman, menjadi anggota Dewan Wali Allah (di Jawa dikenal sebagai Walisongo) jilid pertama. Keduanya adalah Syeh Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419, dimakamkan di Gresik), dan Syeh Maulana Malik Isra’il (wafat 1435, dimakamkan di Gunung Santri, Banten).

Ulama Islam asal Ottoman juga singgah di Ternate, di masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1522). Di sana mereka juga mengembangkan teknologi perkapalan dan senjata untuk menghadapi Portugis yang sedang dalam perjalanan dari Malaka.

Sejarawan Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong bercerita, di Aceh misalnya, harga meriam Turki setara dengan seperangkat lada, komoditas utama Aceh masa itu. Meriam yang dipakai tentara Sultan Agung dari Mataram untuk menyerang Batavia pada 1628 (dikenal dengan Operasi Kaladuta) juga diperkirakan berasal dari Turki.

***

Kunjungan yang dilakukan delegasi DPR-RI dua pekan lalu ditujukan untuk lebih memperbesar kadar hubungan baik Indonesia dan Turki. Menurut Dubes Indonesia untuk Turki, Amin Rianom, hubungan baik tersebut harus diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan ekonomi.

Dia menyarankan agar pemerintah membangun dua trading house produk Indonesia di Turki, yakni di Adana yang merupakan pintu masuk ke kawasan Timur Tengah juga Asia Tengah, dan di Istanbul yang menjadi pintu masuk ke Eropa.

“Pengusaha Turki berperan besar dalam rekonstruksi Irak pasca perang. Bayangkan kalau mereka memperoleh raw material dari negara kita. Apalagi banyak pengusaha retail Turki bekerja di Eropa,” kata sang Dubes.

Saat ini volume perdagangan antara Indonesia dan Turki hanya sebesar 700 juta dolar AS per tahun. Sementara volume ekspor Turki ke Indonesia tahun ini jauh lebih kecil, hanya 58 juta dolar AS per tahun. Bulan Juni lalu, pemerintah Indonesia dan Turki telah menandatangani kesepakatan meningkatkan volume dagang menjadi 2 miliar dolar AS per tahun.

Selain mematok peningkatan volume ekspor, kesepakatan yang ditandatangani Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Deputi Perdana Menteri Turki bidang ekonomi Mehmet Ali Sahin itu juga membahas rencana membangun jalur penerbangan dan pelayaran langsung dari Indonesia ke Turki.

Namun tanda tangan saja jelas belum cukup. Pendekatan harus dilakukan dari semua lini. Di bidang politik, misalnya. Indonesia mendukung upaya Turki berintegrasi dengan Eropa, kata Zaenal Maarif, wakil ketua DPR yang menjadi pimpinan delegasi.

“Langkah Turki masuk Uni Eropa adalah contoh baik bagi kita. Ini memperlihatkan bahwa Turki yang merupakan saudara tua kita diperhitungkan oleh belahan bumi yang kini sedang berkuasa,” ujar Zaenal.

Keanggotaan Turki di Uni Eropa itu, menurut Koordinator Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) Turki di DPR, Harry Azhar Aziz, kalau di-maintain dengan baik bisa menjadi alat penghubung antara Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki sumber alam terkaya di Asia dengan pasar di Eropa, Timur Tengah dan Asia Tengah—yang sekitar 300 juta penduduknya menggunakan bahasa Turki karena lama berada di bawah kekuasaan Ottoman.

Apalagi sebut Harry, trend ekspor Indonesia ke pasar tradisional (Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan Singapura) cenderung stagnant dan sulit berkembang di masa depan.

“Ini seperti kata pepatah: jangan letakkan semua telur dalam satu keranjang. Kalau kita tergantung pada satu partner dagang yang itu-itu saja, maka kita mudah dikendalikan dan secara ekonomi cenderung selalu dirugikan. Misalnya, saat ini total ekpor kita ke Jepang dan AS hampir mencapai 35 persen. Kalau itu terganggu 20 persen, maka kinerja ekspor kita akan terganggu, pendapatan kita akan terganggu, dan ini memiliki efek yang cukup luas hingga mempengaruhi bangunan ekonomi secara luas di tanah air. Persoalan perburuhan pun akan muncul. Pemerintah harus mulai mendiversifikasi pasar ekspor,” jelasnya panjang lebar.

Sayangnya, masih kata Harry, saat ini total ekspor Turki ke Indonesia kurang dari satu persen. “Turki tidak memandang kita sebagai market destination. Mereka lebih melirik Eropa. Itu sebabnya mereka ingin menjadi anggota Uni Eropa. Kalau dari awal kita mendukung secara politik, ini akan menjadi akses baru bagi kita untuk masuk ke pasar Eropa, di samping Belanda dan Jerman,” demikian Harry.

Masih ada satu pendekatan lagi yang harus dilakukan untuk memperat hubungan dengan Turki, yaitu pendekatan kebudayaan. Demikian tambah Sekretaris GKSB Turki di DPR, Muhammad Najib.

“Sudah saatnya kita mulai mengkampanyekan budaya dan tradisi Turki di Indonesia, demikian juga sebaliknya. Pemahaman akan budaya dan tradisi masing-masing negara akan betul-betul mempererat hubungan kita,” kata Najib.

Ya, tentu kalau betul-betul erat, mudahlah meletakkan satu dari sedikit telur kita di keranjang saudara tua. [t] Rakyat Merdeka, 3 Desember 2005

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s