Raden Patah Keturunan Tionghoa, Mengakhiri Hindu Jawa dan Mengawali Islam Nusantara

runtuhnya-majapahit

SUATU hari di tahun 1475, tak kurang dari 1.000 tentara Demak yang dipimpin Jin Bun menyerang Semarang.

Mereka bagai gelombang raksasa, melumat apapun yang dilalui, menghancurkan banyak bangunan dan memaksa keturunan Tionghoa non-Muslim di Semarang lari tunggang langgang. Tak perlu waktu lama bagi Jin Bun menaklukkan kota itu.

Namun ada satu bangunan Semarang yang secara khusus dilindungi Jin Bun dari kemarahan pasukannya. Bangunan itu adalah Klenteng Sam Po Kong.

Sebelum menjadi klenteng, bangunan ini adalah masjid yang didirikan pemimpin armada Tiongkok, Laksamana Cheng Ho, saat tiba di kota itu beberapa dekade sebelumnya. Mereka lah, Laksamana Cheng Ho dan orang-orang Tionghoa Muslim pengikutnya, yang membangun Semarang dan dikenal dengan sebutan Muslim Hanafi.

Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
Prof. Dr. Slamet Muljana
LkiS, Jogjakarta, Maret 2005
xxvi + 304 halaman

Setahun sebelum menyerang Semarang, Jin Bun mengunjungi Klenteng Sam Po Kong. Di dalam klenteng, dia yang adalah seorang Muslim memanjatkan doa agar suatu hari kelak diberi kesempatan mendirikan sebuah masjid di Semarang. Sebuah masjid yang sepanjang zaman akan tetap menjadi masjid. Tidak seperti masjid yang dibangun Laksamana Cheng Ho yang akhirnya berubah menjadi Klenteng Sam Po Kong.

Pengaruh Islam di kalangan orang-orang Tionghoa Semarang merosot ke titik terendah bersamaan dengan melemahnya kekuasaan Dinasti Ming di Daratan Tiongkok. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan antara orang-orang Tionghoa muslim dengan sanak saudara mereka di Daratan Tiongkok pun terhenti.

Sejak itu pula satu persatu masjid di Semarang, dan juga Lasem, yang dibangun di era Laksamana Cheng Ho berubah menjadi klenteng, lengkap dengan patung-patung yang diletakkan di bagian mimbar masjid.

Hari itu, setelah menguasai Semarang, Jin Bun juga memberikan perlindungan kepada orang-orang Tionghoa yang telah murtad. Mereka diberi kesempatan tetap tinggal di Semarang selagi bersedia menjadi warganegara yang baik dan tunduk pada hukum Kerajaan Demak.

Kabar keberhasilan Jin Bun merebut Semarang juga didengar Raja Kung Ta Bu Mi di Majapahit. Kung Ta Bu Mi adalah ayahanda Jin Bun. Adalah Kung Tan Bu Mi juga yang memberi restu penyerangan itu.

Sebagai hadiah atas keberhasilan merebut Semarang, Jin Bun diangkat Raja Kung Ta Bu Mi sebagai Bupati Bing Tolo yang berkuasa di Demak.

Untuk merayakan kemenangan merebut Semarang, Kung Ta Bu Mi mengundang Jin Bun ke Majapahit.

Tetapi Jin Bun yang kini tidak lagi sama dengan Jin Bun yang dulu. Walau Raja Kung Ta Bu Mi adalah orang tuanya dan secara hierarki Demak berada di bawah kekuasaan Majapahit, tapi Jin Bun tak mau lagi memberi sembah saat menghadap Kung Ta Bu Mi.

Hubungan ayah dan anak itu pun jatuh memburuk, dan berarti membuat Demak perlahan tapi pasti menjadi ancaman bagi Majapahit.

Tiga tahun setelah menaklukkan Semarang, di tahun 1478, seorang ulama Muslim, Bong Swi Hoo, yang menetap di Ampel sejak 1450 meninggal dunia. Bagi Jin Bun, Bong Swi Hoo adalah sosok yang istimewa. Ulama inilah yang memperkenalkan Islam kepadanya.

Untuk memberikan penghormatan terakhir di makam sang guru, Jin Bun menggelar pasukan dan berangkat ke Ampel di timur.

Dalam perjalanan, Jin Bun singgah di Majapahit. Ia menangkap Kung Ta Bu Mi dan menggelandang sang ayah ke Demak sebagai tahanan politik.

Situasi berubah, kini giliran Majapahit berada di bawah kekuasaan Demak.

***

Menyusul pemberontakan Partai Komunis, suatu hari di tahun 1928 pemerintahan kolonial Belanda memerintahkan Residen Poortman untuk menggeledah Klenteng Sam Po Kong. Tujuan utama penggeledahan itu adalah untuk menemukan bukti-bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Raden Patah adalah orang Tionghoa. Tidak diceritakan secara pasti apa pentingnya fakta sejarah itu bagi pemerintahan kolonial Belanda.

Dengan bantuan polisi Semarang, Poortman membawa semua dokumen yang tersimpan di klenteng yang sebagian besar berusia lebih dari 400 tahun. Tak kurang dari tiga pedati dokumen dibawa Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda.

Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi status GZG, atau Geheim Zeer Geheim alias sangat-rahasia, ditambah catatan “uitsluitend voor Dienstgebruik ten kantore” atau “hanya boleh dibaca di kantor”.

Tulisan-tulisan Residen Poortman dikirimkan kepada Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan satu bundel sebagai arsip negara di Rijswijk di Den Haag.

Tidak satu pun hasil penelitian atas dokumen-dokumen Sam Po Kong itu yang dikirim ke Batavia di Jawa.

Beruntung, Mangaraja Onggang Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft. Hubungan baik ini dimanfaatkan Mangaraja Onggang Parlindungan untuk mempelajari dan menyalin bagian preambule atau pembuka hasil penelitian Poortman, dan membeberkannya dalam buku “Tuanku Rao”.

Naskah Klenteng Sam Po Kong yang direbut Poortman hanya satu dari empat sumber sejarah yang diteliti sejarawan Slamet Muljana dalam bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara” ini.

Tiga sumber lagi adalah Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan sumber berita dari Portugis.

Menurut Slamet, naskah Klenteng Sam Po Kong lebih bisa diandalkan dalam penelitian sejarah mengenai perkembangan Islam di Nusantara pasca-kejatuhan kerajaan Hindu Jawa. Dua sumber berita, yakni Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, menurut Slamet terlalu banyak mencampurkan dongeng dan hayalan.

Misalnya, dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa Raden Alit atau Brawijaya VII menikah dengan seorang putri dari Champa. Di saat bersamaan, ada raksasa perempuan (atau raksasi) yang jatuh cinta pada sang Brawijaya. Si raksasi kemudian menjelma menjadi seorang putri cantik jelita bernama Sri Endang Sasmitapura. Dia berhasil memikat Brawijaya. Suatu kali, karena memakan daging hewan, Sri Endang kembali menjadi raksasi. Dia lari bersembunyi di hutan, dan melahirkan seorang anak yang kelak diberi nama Jaka Dilah.

Adapun sumber berita Portugis selain memiliki banyak kesalahan faktual, juga seringkali bertentangan satu sama lain.

***

Jin Bun yang menjadi pendiri Demak seperti diceritakan kronik Klenteng Sam Po Kong, adalah Raden Patah, yang juga disebut Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun. Sementara Kung Ta Bu Mi yang disebut sebagai ayahnya adalah Bhre Kertabumi yang juga dikenal dengan nama Brawijaya, raja terakhir yang menguasai Majapahit (1474-1478). Jin Bun adalah anak Kertabumi dari wanita Cina yang dinikahinya setelah dia menikah dengan putri Campa.

Adapun Bong Swi Hoo adalah nama lain untuk Sunan Ampel, yang juga dikenal dengan nama Raden Rahmat.

Kronik Sam Po Kong juga menceritakan tentang kunjungan dua orang Tionghoa muslim ke Semarang pada tahun 1479. Kedua orang yang tak bisa berbahasa Tionghoa itu adalah anak dan murid Bong Swi Hooo (Sultan Ampel), yang dikenal dengan nama Sunan Bonang dan Sunan Giri.

Mereka adalah sebagian dari tokoh-tokoh yang berperan di akhir kejatuhan Majapahit dan perkembangan awal kerajaan Islam Nusantara, yang diceritakan Slamet.

Hal yang tampak menonjol dalam buku ini adalah upaya Slamet memisahkan dongeng dan mitos dalam sejarah oral Jawa, dengan fakta sejarah.

Hasil penelitian Slamet ini terbit untuk pertama kali tahun 1968. Namun, karena dipandang bisa mengganggu stabilitas negara, Orde Baru membreidel buku ini tahun 1971. Buku ini dianggap mengglofifikasi peranan keturunan Tionghoa dalam sejarah Nusantara. Sementara di awal era Orde Baru, keturunan Tionghoa ikut dijadikan kambing hitam atas peristiwa dinihari 1 Oktober 1965.

“Sekali fakta sejarah itu ditemukan, fakta itu tidak akan dapat diubah. Meskipun fakta sejarah itu mungkin terlalu pedas untuk dirasakan, ilmu sejarah tetap mengejar-ngejarnya,” tulis Slamet dalam bagian pengantar bukunya sebelum dibreidel. Rakyat Merdeka, 23 Juli 2005 [t]

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

13 thoughts on “Raden Patah Keturunan Tionghoa, Mengakhiri Hindu Jawa dan Mengawali Islam Nusantara”

  1. wah, subhanallah artikel ini benar-benar memberikan informasi yang cukup mendalam tentang sejarah demak. Saya benar-benar baru tahu bahwa Jin Bun adalah Raden Fatah.
    Mas Teguh, sekarang itukan ada buku Tuaku Rao, pengaranya Parlindungan. Kabarnya buku ini tentang asal usul marga yang ada di sumatera utara. Sayangnya, saya sedan tidak di Indonesia jadi tidak bisa membaca bukunya. Kira-kira mas Teguh berminat tidak untuk meresensinya. Pasti akan sangat memberikan informasi buat khalayak, khususnya seperti saya yang tidak berdomisili di Indonesia.
    Wassalam
    Rahmat Hidayat Nasution

  2. Ayah mertua saya seorang pengajar sejarah , dan dia selalu menceritakan mengenahi hal ini bahwa nama sebenarnya raden patah adalah jin bun . Pertanyaannya mengapa kita tidak pernah di ajarkan ini disekolah ?

  3. walaupun saya bukan org jawa, tp sejarah ini juga hak saya utk mengetahui sebagai warga negara indo, gak salah kata nabi tuntutlah ilmu sampe ke negri cina

  4. Alhamdulillah…saya cukup senang, karena saya asli org demak..saya pun bersyukur sudah banyak yg tau sejarah tentang demak demak..mudah2an semakin banyak yang kenal kota demakku…

    I love demak

Leave a Reply to Budi Cancel reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s