Dari Balik Burqa Di Rumah Sultan Khan

KABUL kembali berubah. Saat itu musim gugur 2001. Pasukan Aliansi Utara bergerak dari Gurun Panshir di kaki Hindu Kush. Mereka merengsek ke arah selatan, mendekati Kabul. Thaliban telah dilucuti, dan ibukota Afganistan yang sudah terlalu lelah dilibas perang bertahun-tahun itu kini hanya reruntuhan.

***
Kabul dan Afghan modern adalah produk Perang Dingin. Seperti sudut lain di muka bumi ini, mereka dipaksa memilih Kiri atau Kanan, Uni Soviet atau Amerika Serikat.

Setelah berkuasa selama empat dasawarsa, pada 1973 Mohammad Zahir Shah digusur Sardar Muhammad Daud, sepupunya. Daud menyimpan dendam. Sembilan tahun sebelumnya Zahir Shah memecat Daud dari kursi perdana menteri karena tersangkut kasus korupsi. Setelah berkuasa, Daud membubarkan kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai presiden sekaligus perdana menteri Republik Afghanistan.

Saudagar Buku Dari Kabul
Asne Seierstad
Qanita, Mizan, Januari 2005
464 halaman

Pada 1978 Partai Demokratik Rakyat Afghanistan (PDRA) yang didukung Uni Soviet mengambil alih kekuasaan dari tangan Daud. Sejarah berulang dalam waktu singkat. Sekjen PDRA, Nur Muhammad Taraki, mengangkat dirinya sebagai presiden Dewan Revolusi dan perdana menteri Republik Rakyat Afghanistan.

Setahun kemudian di musim gugur, menteri pertahanan Hafizullah Amin menumbangkan rezim Taraki dan mengarahkan moncong senjata ke Moskow. Desember 1979, pasukan Soviet menerobos Kabul, membunuh Hafizullah Amin, dan mengangkat Babrak Karmal, juga pentolan PDRA, sebagai perdana menteri baru.

Tapi kekuasaan Babrak Karmal hanya sebatas Kabul yang semakin lusuh. Walau dikawal 120.000 tentara Soviet, ia tak berhasil menaklukan wilayah lain seperti Kunduz dan Taloqan di utara, atau Herat dan Kandahar, kampung halaman Mujahiddin, di sebelah barat.

Pertengahan 1980-an, Amerika Serikat menggelontorkan tak sedikit dolar untuk Mujahiddin yang segera menjadi jauh lebih kuat. Di saat bersamaan, untuk mempertahankan kekuasaannya di Afghan, Moskow mengganti Karmal dengan Muhammad Najibullah, bekas kepala Polisi Rahasia Afghan yang dinilai lebih setia kepada Soviet.

Perang semakin menjadi dan orang Afghan semakin banyak yang mati. April 1988, Amerika Serikat dan Uni Soviet bertemu di Jenewa. Dalam pertemuan itu Soviet yang sedang kewalahan akhirnya memilih mundur. Pada Februari 1989 Tentara Merah meninggalkan Kabul dan kaki tangan mereka, Najibullah.

Maret 1992 pasukan Mujahiddin masuk Kabul yang semakin berdebu. Peperangan berubah bentuk: para pemimpin suku yang juga panglima perang siap saling membunuh. Masing-masing merasa dirinya lebih pantas memimpin Afghan. Untuk menghindari perang di antara sesama mereka, belasan warlord bertemu pada Maret 1993. Dalam pertemuan itu pemimpin suku Tajik dan Jamiat-I-Islami, Burhanuddin Rabbani, terpilih sebagai presiden.

Tapi tak semua merasa puas. Perlawanan terbesar terhadap Rabbani datang dari kubu Hezb-I-Islami yang dipimpin Gulbuddin Hekmatyar. Untuk meredam konflik, Hekmatyar diangkat menjadi perdana menteri. Tapi konflik tak juga selesai. Januari 1994 Heknmatyar yang kini didukung pemimpin suku Uzbek dan Ittehad-I-Islami, Abdul Rashid Dostum, menggulingkan Rabbani. Lalu Kabul dan seluruh Afghan pun lumpuh.

Pada 1996, giliran Thaliban unjuk kekuatan. Berbekal “dukungan rahasia” Amerika Serikat, Thaliban menghadapi semua kubu sekaligus. Pada akhir 1997 mereka menguasai tak kurang dari 2/3 wilayah Afghan, termasuk Kabul. Sementara Dostum menguasai wilayah utara yang berbatasan dengan Uzbekistan. Hezb-I-Wahdat yang dipimpin Karim Khalili menguasai Bamiyan dan Hazarat, kawasan pegunungan di tengah Afghan. Hamid Karzai yang kelak menjadi perdana menteri pasca-Thaliban, menguasai Uruzgan. Ismail Khan mengusai Herat. Adapun Rabbani dan Masood, menguasai tiga provinsi dekat perbatasan dengan Tajikistan.

***
Di musim gugur 2001 Asne Seierstad mengawali perjalanannya dari kaki Hindu Kush. Wartawan asal Norwegia itu bergabung dengan Aliansi Utara menuju reruntuhan Kabul, tempat ia bertemu Sultan Khan, saudagar buku yang masih bertahan di kota itu.

Asne menggambarkan Sultan sebagai patriot Afghan yang berkali-kali dikecewakan negerinya. “Mula-mula komunis membakar bukuku, lalu Mujahiddin merampas dan membakarnya, dan akhirnya Thaliban membakar lagi semuanya,” Sultan mengeluh.

Tak lama Asne tinggal bersama keluarga Sultan yang diakuinya bukan tipikal keluarga Afghan. “Jika aku harus tinggal dengan keluarga Afghanistan yang tipikal, pastilah harus dengan keluarga di pedesaan, keluarga besar yang tidak ada satu pun anggotanya bisa baca-tulis,” tulis Asne.

Di tengah keluarga Sultan, dari balik burqa yang sering dikenakannya, Asne menyimak apa yang disebut sebagai perubahan di Kabul masa itu. Namun sebenarnya tak ada yang benar-benar baru. Hukum adalah buah karya rezim politik: diproduksi semata untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan.

Burqa pun, misalnya, begitu. Pakaian wanita Afghan yang terjulur menutupi seluruh tubuh, kecuali pada bagian mata yang diberi semacam jaring, dan sampai-sampai menyapu jalanan, telah dipakai berabad lalu oleh kalangan elit Afghan. Saat berkuasa (1901-1919), Raja Habibullah mewajibkan 200 wanita di haremnya mengenakan burkak saat berada di luar. Dia tak mau kecantikan mereka menggoda iman lelaki.

Tahun 1950-an burqa menyebar luas. Dia bukan lagi milik keluarga raja, melainkan telah menjadi simbol wanita kaya. Perubahan terjadi tak lama kemudian. Suatu hari di awal 1960-an Perdana Menteri Daud mengagetkan Afghan. Dia mengizinkan istrinya muncul di depan publik tanpa burqa. Sehari setelah itu, jalanan di Kabul pun dipenuhi wanita yang mengenakan pakaian ala Barat, lengkap dengan kacamata hitam dan topi kecil. Daud juga melarang semua pegawai negeri wanita mengenakan burqa.

Hanya wanita miskin yang tak dilarang hingga lambat laun burqa menjadi simbol kemiskinan. Wanita-wanita kaya memberikan burqanya kepada pembantu mereka yang selama ini menyimpan mimpi memiliki burqa sutra.

Di masa Thaliban wanita Afghan, tanpa kecuali, diwajibkan memakai burqa. Bagi Asne, saat itu burqa menjadi simbol penindasan atas perempuan. Tapi burqa, sekali lagi punya sejarah panjang. Seperti sejarah panjang dan lusuh Afghanistan. Rakyat Merdeka, 16 Juli 2005 [t]

Published by

TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s