COEN Husain Pontoh adalah satu dari sekian aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang ditangkap dan dipenjarakan di Surabaya antara 1996 hingga 1998. Di dalam penjara Kalisosok, Coen bertanya, mengapa ABRI begitu kejam terhadap rakyat yang melahirkannya, dan hukum sejarah apa yang berlaku, sehingga “anak” menjadi durhaka kepada “orangtuanya”.
Juga, benarkah ABRI yang kemudian berubah kulit menjadi TNI lahir dari rakyat, seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah, mulai dari Aceh hingga Papua.
Dia juga bertanya mengapa di masa Orde Baru, di bawah kekuasaan Soeharto, militer Indonesia diberi hak istimewa. Mengapa mereka diizinkan bermain di lapangan politik praktis. Mengapa mereka mampu “menyusup” ke dalam gedung parlemen.
***
Sejauh ini, menurut Coen, ada empat argumen yang biasa digunakan sebagai alat pembenar dominasi militer atas otoritas sipil. Argumen pertama berkaitan dengan klaim sejarah yang mengatakan bahwa militer Indonesia lahir dari rakyat dan berjuang bersama rakyat. Argumen kedua didasarkan pada rangkaian panjang kegagalan pemerintahan sipil sejak pasca-Revolusi 1945 hingga pemerintahan parlementer dan masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Argumen ketiga dikaitkan dengan paham negara integralistik yang tidak mengenal dikotomi sipil dan militer. Sementara argumen terakhir berkaitan dengan kepentingan menguasai lapangan ekonomi.
Menentang Mitos Tentara Rakyat
Coen Husain Pontoh
George Junus Aditjondro (Pengantar)
Resist Book, Februari 2005
xliv + 192 halaman
Dari empat alasan di atas, klaim historis-lah yang paling mudah untuk diajarkan dan dijadikan doktrin dalam kurikulum di sekolah-sekolah, serta sepintas paling legitimate. Tetapi Coen meragukan klaim itu. Studi yang dilakukannya setelah keluar dari Kalisosok semakin menguatkan keraguannya.
Coen mengutip Ruth T. McVey untuk melacak alasan Angkatan Darat (AD) terjun ke kancah politik. Dia menemukan bahwa sejak republik berdiri AD menolak supremasi pemerintahan sipil, terutama otoritas yang dimiliki pemerintahan sipil dalam urusan militer. Coen juga mengutip pendapat sejarawan Onghokham yang menyatakan bahwa pembangkangan militer terhadap otoritas sipil terutama dilakukan oleh alumni Pembela Tanah Air (Peta), barisan serdadu yang dibentuk Jepang saat berkuasa di Nusantara (1942-1945). Asal tahu saja, tradisi militer Jepang, menurut Onghokham seperti dikutip Coen, memang tidak mengenal kata tunduk pada otoritas sipil.
Selain itu, pembangkangan AD pasca-Proklamasi juga dipicu kecurigaan alumni Peta atas niat pemerintah menata hubungan sipil-militer. Mereka menilai, Perdana Menteri Sjahrir kala itu adalah seorang anti-fasis yang berbahaya bagi eksistensi militer.
Konfrontasi antara kubu sipil dan kubu militer pertama kali terjadi pada 12 November 1945. Tanpa sepengetahuan pemerintahan sipil di Jakarta, para petinggi AD menggelar Konferensi Militer di kota gudeg, Jogjakarta. Dalam Konferensi itu, mereka mengangkat Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar Tentara dan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Menteri Pertahanan. “Itu mencerminkan usaha mereka untuk merealisasikan gagasan kemiliteran Jepang dalam budaya militer Indonesia,” tulis Coen.
Dua hari kemudian pemerintahan sipil di Jakarta mengangkat Urip Sumoharjo sebagai Panglima AD dan Amir Syarifuddin sebagai Menteri Pertahanan. Dua keputusan yang berseberangan ini melahirkan konflik di tubuh republik yang masih bayi. Setelah berdebat panjang, akhirnya ditemukan kata sepakat. Pemerintahan sipil mengalah dan mengizinkan Soedirman tetap menjadi Panglima Besar Tentara. Sementara kubu militer menyerahkan posisi Menteri Pertahanan kepada Amir Syarifuddin. Namun yang perlu dicatat, kata sepakat itu tidak lantas menghentikan konflik di antara kedua kubu.
Tanggal 17 Oktober 1952, AD kembali mengganggu otoritas pemerintahan sipil. Ribuan massa dan puluhan kendaraan tempur dikumpulkan AD di depan Istana Merdeka. Mereka meminta agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Soekarno jelas menolak. Untunglah tak ada perang saudara hari itu. Demonstran dan barisan tentara yang mengepung Istana membubarkan diri. Buntut dari kudeta gagal itu, Panglima AD, Jenderal Nasution, dipecat.
Puncak konflik antara sipil dan militer adalah peristiwa yang oleh kubu militer disebut Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI), dan oleh Bung Karno disebut Gerakan Satu Oktober (Gestok). Sebagai hasil akhir pemerintahan sipil Soekarno terjungkal, dan untuk pertama kali rezim militer berkuasa. Adalah Jenderal Soeharto yang naik tahta. Menarik, karena Soeharto bukanlah alumni Peta, melainkan alumni Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), tentara yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-19.
KNIL dan Peta, serta alumni laskar rakyat adalah tiga elemen utama militer Indonesia pasca-Proklamasi. Di antara ketiga elemen itu juga terdapat persaingan perebutan pengaruh di tubuh militer. Awalnya, Peta berkuasa di tubuh korps baju loreng. Namun pada pertengahan 1960-an, giliran alumni KNIL itu yang mendominasi. Sementara laskara rakyat bagai pelanduk di tengah pertempuran dua ekor gajah. Lama sebelum peristiwa 1965, laskar rakyat telah dibubarkan.
***
George Junus Aditjondro yang memberi kata pengantar untuk buku Coen ini mencatat bahwa TNI pun memiliki tradisi merekayasa kerusuhan sosial. “Dan secara sepihak berusaha menggemboskan dinamika masyarakat sipil dengan menciptakan atau mendukung organisasi baru yang berkiblat pada kepentingan tentara,” tulisnya. Tujuan dari operasi kubu militer ini, sambung dia, adalah untuk memperkuat pengaruh dan memperpanjang kekuasaan mereka.
George mencontohkan sejumlah kasus kerusuhan, seperti Sampang, Ambon, Aceh hingga Papua. Menurut dia dalam semua kasus itu ditemukan pola operasi yang sama. Awalnya militer menciptakan pra-kondisi menuju kerusuhan, diikuti pembentukan kelompok-kelompok pro-pemerintah yang biasa disebut Badan Kerja Sama Sipil-Militer (BKS SM). Untuk mendukung operasi ini, militer menggandeng sejumlah pengusaha pro-militer.
Konflik Maluku awal 2000 yang menewaskan ribuan orang, George mencontohkan, lebih merupakan ekor perseteruan antar-jenderal militer di Jakarta. Sejumlah jenderal AD merasa kekuasaannya disunat saat Presiden Gus Dur mengangkat Panglima TNI dari Angkatan Laut (AL). Konflik itu bagai api disiram bensin ketika pengusaha yang memiliki kaitan dengan militer memberi sokongan logistik yang tak sedikit. Rakyat Merdeka, 2 Juli 2005 [t]