SEMINAR Freedom of Press and Freedom of Information yang digelar Friedrich Naumann Stiftung di Gummersbach, Jerman, memang terbilang unik. Selain membahas berbagai hal yang berkaitan dengan jurnalisme, mulai dari latihan di depan kamera hingga persoalan etika, seminar yang diikuti 24 peserta dari 21 negara ini juga membahas perkembangan politik global.
Nah, karena digelar bersamaan dengan peringatan 60 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua, maka beberapa materi dalam seminar juga dikaitkan dengan sejarah dan perkembangan politik mutakhir Jerman, mulai dari jatuhnya Hitler hingga fenomena Neo-Nazi.
***
Bulan Januari lalu, sebagian dunia dikagetkan dengan penampilan Pangeran Harry di cover tabloid berpengaruh Inggris, the Sun. Putra bungsu pasangan Pangeran Charles dan Putri Diana itu memakai seragam Nazi dalam sebuah pesta kostum. Harry juga mengenakan Swastika, simbol Nazi, di lengan kiri.
Penampilan Harry ini dikecam habis-habisan oleh publik Inggris dan Eropa. Harry pun menjadi bahan olok-olokan. Dia sempat diminta untuk mengundurkan diri dari rencana studinya di akademi perwira Sandhurst tahun ini.
Komunitas Yahudi di Inggris pun merasa tersinggung. Mereka menyebut Harry bodoh dan tak punya otak. Kabarnya, Pangeran Charles yang merasa malu memerintahkan Harry dan kakaknya, William, pergi ke kamp Auschwitz di Polandia, kamp konsentrasi paling kejam di masa Nazi. Maksudnya, agar mereka memahami betapa Nazi begitu keji.
***
Gerakan Neo-Nazi, yang dikaitkan dengan keyakinan pada ide yang diusung Nazi di masa Hitler, sebetulnya bukan fenomena baru. Awal tahun 1960-an, sebuah partai berbau Nazi berdiri. Namanya Nationaldemokratische Partei Deutschlands (NPD) alias Partai Nasionalis Demokrat. Partai ekstrem kanan yang kini dipimpin Udo Voigt adalah metamorfosis dari partai sejenis bernama Deutsche Reichs Partei (DRP).
Sejak berdiri, NPD tak pernah berhasil memperoleh electoral threshold sebesar 5 persen sebagai syarat untuk menempatkan kader mereka di Bundestag. Mereka hanya memiliki kader dalam jumlah amat kecil di sejumlah parlemen negara bagian atau Landtag.
Tahun 2003 Bundestag dan Bundesrat, lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat federal, berusaha mati-matian menentang NPD dalam persidangan di Bundesverfassunggericht atau mahkamah konstitusi Jerman.
Namun usaha itu dihentikan setelah diketahui bahwa sebetulnya beberapa pimpinan NPD adalah agen dinas rahasia Jerman yang disusupkan untuk melakukan pembusukan dari dalam. Jadi, sulit bagi pemerintah federal untuk mengetahui mana aksi NPD yang merupakan rekayasa dan dikontrol oleh agen dinas rahasia Jerman, dan mana yang tidak.
Kejutan terjadi dalam pemilu di negara bagian Saxony tahun lalu. Dalam pemilu yang digelar bulan September itu, NPD memperoleh suara sebesar 9,2 persen dan berhak menempatkan 12 kadernya di Saxon Landtag. Perolehan suara itu didapat setelah NPD menandatangani non-competition agreement dengan saingannya sesama partai ekstrem kanan, Deutsche Volksunion (DVU). Partai ekstrem kanan lainnya, Die Republikaner menolak bergabung dalam perjanjian yang menurut mereka tak menjanjikan. Sejumlah pengamat menilai, walau sama-sama disebut ekstrem kanan, sesungguhnya Die Republikaner tidaklah se-ekstrem NPD dan DVU.
Tanggal 21 Januari lalu, perdebatan apakah perlu melarang NPD atau tidak, kembali bergulir setelah sebuah perdebatan sengit terjadi di Saxon Landtag. Ketika itu anggota NPD menolak mengheningkan cipta untuk mengenang 60 tahun pembebasan ribuan Yahudi yang ditawan di kamp Auschwitz, Polandia. Ke-12 anggota NPD di Saxon Landtag walkout sebagai tanda protes.
Mereka mengecam kenapa kolega mereka di Saxon Landtag sama sekali tidak mengheningkan cipta untuk ribuan orang Jerman yang tewas saat pasukan Sekutu membombardir Dresden, ibukota negara bagian Saxony, pada 14 Februari 1945. Toh peristiwa Auschwitz dan Dresden terjadi dalam kurun waktu yang sama.
Ketua Fraksi NPD, Holger Apfel, menyebut peristiwa pengeboman Dresden sebagai pembunuhan massal yang dilakukan pasukan Sekutu terhadap rakyat Jerman (the Holocaust of Germany). Dia juga meneriaki Ketua Landtag, Cornelius Weiss, yang berasal dari Sozialdemokratische Partei Deutschlands (SPD) atau Partai Sosial Demokrat—partai berkuasa di Jerman—dengan sebutan Old Jews atau Yahudi Tua.
Weiss terprovokasi dan tak mau kalah. Dia balas meneriaki Apfel dengan sebutan Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi yang bunuh diri dalam bunker bersama Hitler. Keributan itu terhenti setelah seorang anggota Landtag dari Christlich-Demokratische Union (CDU) atau Persatuan Kristen Demokratik mematikan mikrofon yang digunakan Apfel.
Tidak hanya negara bagian Saxony, seluruh Republik Federasi Jerman kaget akan peristiwa heboh ini. Chancellor Gerhard Schroder pun ikut buka mulut. Menurut dia pemerintah bisa memulai lagi pengadilan untuk melarang NPD. Tapi banyak politisi Jerman yang menilai, membungkam NPD bukanlah hal mudah selagi grafik ekonomi Jerman tak kunjung membaik, dan angka pengangguran terus melebar.
Wartawan veteran Deutsche Welle, Heinrich Bergstresser, melihat gerakan NPD dan Neo-Nazi lebih sebagai reaksi atas kondisi ekonomi Jerman yang memburuk beberapa tahun terakhir.
“Anak muda dalam gerakan ini tidak memiliki hubungan langsung dengan Nazi. Mereka lahir bertahun-tahun setelah perang. Mereka hanya menggunakan sentimen dan krisis ekonomi yang tengah melanda Jerman untuk merumuskan sebuah ideologi dan menyerang imigran. Di mata mereka, imigran merampas pekerjaan yang harusnya mereka miliki. Dan mereka (rakyat Jerman) menghabiskan banyak uang untuk menopang kehidupan imigran di Jerman,” katanya sambil menambahkan kini NPD semakin kuat dibanding 20 atau 30 tahun sebelumnya.
Jerman memang negara terkaya di Uni Eropa. Namun belakangan kondisi ekonomi negara itu terganggu. Secara resmi disebutkan, pengangguran di Jerman sekitar 5 juta orang. Tetapi menurut pengamatan Heinrich, jumlah pengangguran di negaranya lebih dari 5 juta orang.
Masih menurut Heinrich, upaya pemerintah federal yang dikuasai Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau menghentikan NPD dengan menempuh jalan hukum kurang tepat. “Dalam sistem demokrasi, kita harus menghadapi gerakan anti-demorkasi secara politik, yaitu dengan mengekspos mereka sebagai gerakan anti-demokrasi. Sehingga publik tahu gerakan itu mengancam kelangsungan demokrasi,” ujarnya lagi. Rakyat Merdeka, 25 Mei 2005 [t]
One thought on “Nazi (Tidak) Mudah Dikebiri”