










ANTARA tanggal 1 hingga 13 Mei lalu, penulis diundang menghadiri Seminar Kemerdekaan Pers dan Kemerdekaan (Memperoleh) Informasi di Gummersbach, Jerman. Acara yang digelar oleh Friedrich Naumann Stiftung (FNS), sebuah lembaga non-pemerintah yang mengusung nilai-nilai liberal-humanisme dan memiliki kantor di banyak negara itu, terbilang unik.
Dari 24 peserta yang diundang, tidak semuanya bekerja sebagai jurnalis. Sebagian peserta adalah politisi yang baru memulai karir politik mereka. Peserta dari Kroasia, Tea Micic, misalnya, adalah anggota parlemen termuda di kotanya.
FNS juga mengundang profesional yang bekerja di kantor politisi sebagai staf humas yang kerap berhubungan dengan media massa. Misalnya, Flordelyn Eyana yang bekerja di Kantor Senat Kota Marikina, Filipina.
Sebagian peserta lainnya adalah penstudi dan dosen jurnalistik. Misalnya, Syeda Afshana, dosen Universitas Kahsmir, India, dan Bahadir Turk, mahasiswa program doktor dari Turki. Beberapa jurnalis yang hadir dalam seminar itu adalah, Hassan Elhabibi (Mesir), Rauf Arif (Pakistan), Ekaterina Livergant (Rusia), Abnel Rosendo Garcia Estrada (Honduras) dan Pachen Dorjee (Tibet).
Latar belakang profesi peserta seminar membuat berbagai opini dan sikap yang diperlihatkan para peserta selama seminar begitu berwarna. Cara pandang jurnalis dan politisi terhadap demokrasi, kekuasaan dan kebebasan pers, sedikit banyak, tentulah berbeda. Kelompok jurnalis menempatkan diri sebagai penjaga pilar-pilar demokrasi dan sebagai alat kontrol atas kekuasaan yang digenggam politisi.
Sementara politisi yang ”dengan berbagai cara” berhasil menggenggam kekuasaan merasa telah memperoleh otoritas mutlak dari rakyat.
Dalam presentasi, keempat peserta dari Asia Tenggara, termasuk saya, mengajukan konsep Illiberal Democracy. Konsep ini didasarkan pada kenyataan bahwa demokrasi di negara-negara Asia Tenggara, setidaknya di empat negara Asia Tenggara yang hadir—Indonesia, Malaysia, Filipina dan Kamboja—tidak toleran terhadap kebebasan, termasuk kebebasan pers. Institusi demokrasi, seperti partai politik dan parlemen, lembaga eksekutif serta lembaga yudikatif sering kali tak befungsi sebagaimana mestinya. Akhirnya, nilai demokrasi tereduksi, dan lamban laun jadi menjijikan. Karena toh tak ada bedanya antara demokrasi dan bukan-demokrasi.
Saya sempat pula bercerita tentang haatzaai artikelen produk Belanda yang pernah menjajah Indonesia ratusan tahun. Pasal-pasal yang dulu dipakai pemerintah kolonial untuk membungkam mulut kaum pribumi hingga kini masih digunakan Indonesia. Jadi, untuk demokrasi ala Indonesia, apa gunanya jaminan kebebasan pers seperti yang dituang dalam UU 40/1999, jika ternyata KUHP (Criminal Act) ala kaum penjajah masih dipakai juga.
Bahkan anehnya lagi, hukum kolonial ini sering kali mengalahkan Pasal 28 UUD 1945 yang memberi jaminan kebebasan kepada rakyat untuk menyatakan pendapat.
Saya juga bercerita kepada mereka bahwa kini ada kecenderungan dari segelintir penguasa untuk tetap menggunakan pasal-pasal karet itu, dan menambahkan pasal-pasal baru yang mereka anggap penting untuk menjaga kewibawaan kekuasaan mereka, namun di sisi lain bisa membawa bangsa ini kembali ke masa penjajahan. Atau paling tidak, kembali ke masa Orde Baru.
Misalnya, penggunaan pasal-pasal pidana atas perbuatan dan pernyataan yang dianggap menyerang kehormatan dan nama baik presiden dan wakil presiden yang bisa membunuh fungsi kontrol media.
Bukan tidak mungkin, berdasarkan pasal ini, kritik yang disampaikan rakyat kepada presiden dan wapres dan disuarakan oleh media massa bisa diartikan sebagai bentuk serangan. Rakyat Merdeka, 19 Mei 2005 [t]