




BULAN Oktober tahun lalu, dengan entengnya, Presiden Amerika George W Bush menuding Irak, Iran dan Korea Utara sebagai axis of evil alias poros setan. Katanya lagi, poros ini mesti dihabisi.
Dari ketiga negara itu, Korut-lah yang paling dibenci Amerika. Sampai detik ini tak sekalipun Amerika pernah menginjakkan kaki di Korut. Bahkan, berkali-kali Amerika dipermalukan Korut. Misalnya saat pejuang Korut menangkap basah kapal perang Amerika, USS Pueblo, yang tengah melakukan misi spionase di perairan Korea Utara tahun 1968 silam.
Tanggal 15 Desember 1994, sembilan tahun lalu, sebuah helikopter militer Amerika, OH 518 ISI, ditembak jatuh serdadu Korut. Seorang pilotnya tewas. Seorang pilot lainnya cuma luka-luka kecil, namanya Bobby Wayne Hall II. Si pilot ini ditahan tentara Korut. Dia menulis surat permintaan maaf, dan minta agar dirinya dilepaskan. Kata pemerintah Korut, yang mereka butuhkan adalah permintaan maaf dari pemerintah Amerika. Akhirnya, setelah mendapat tekanan dari rakyat Amerika, Gedung Putih kembali meminta maaf pada Korut.
Pekan lalu, saat saya berada di Pyongyang, saya dengar, diam-diam Korut juga berhasil menggagalkan aksi spionase dua pesawat tak berawak milik Amerika. Kedua pesawat berteknologi tinggi itu digagalkan tanpa kesulitan berarti. Keduanya digiring meninggalkan wilayah udara Korut. Peralatan canggihnya tak berhasil menjalankan tugas seperti biasa. Korut sengaja tak menembak jatuh kedua pesawat itu. Maksudnya, agar Amerika menyadari betapa hebatnya bangsa Korea ini. Dan, kejadian ini lagi-lagi mencoreng muka Amerika. Tapi, Amerika menutupi kejadian ini.
Sebelum Perang Teluk I tahun 1991, Amerika punya pengaruh besar di Irak. Di Iran pun begitu. Di masa Syah Reza Pahlevi, Amerika mengolah puluhan sumur minyak Iran di sebelah selatan, persis di tepi Teluk Parsia.
Amerika kesal dengan pemimpin spritual Iran Imam Khomeni yang menasionalisasi semua perusahaan-perusahaan asing di Iran, termasuk perusahaan minyak Amerika di sana, sejak tahun 1970. Untuk membalas dendam dan memperoleh kembali kekayaan mereka dari bumi Iran, mulailah Amerika memanas-manasi Irak.
Saddam Hussein yang baru menduduki kursi presiden Irak, diprovokasi Amerika agar menyerang Iran. Kata Amerika, “Awas, orang-orang Islam Syiah di Iran akan merebut kekusaanmu dan men-Syiah-kan seluruh Irak.” Maka pecahlah Perang Iran-Irak, yang berlangsung antara 1980 sampai 1988. Di atas kertas, perang itu dipicu persoalan tapal batas antara kedua negara. Tapi, seluruh dunia tahu, perang itu dipicu hasutan Amerika.
Amerika membayangkan, bila Irak menang perang, maka mereka kembali memperoleh hak mereka mengolah sumur minyak di Iran, ditambah hak mengolah sumur minyak Irak. Sekali mengayuh, dua tiga pulau terlampaui.
Pecah belah. Cara itu juga yang digunakan Amerika untuk menguasai seluruh Semenanjung Korea. Begitu Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Amerika mendarat di Semanjung Korea. Ngakunya, akan melucuti senjata pasukan Jepang. Tahun 1948, Amerika mendirikan pemerintahan boneka di Seoul. Dua tahun kemudian, Amerika memulai Perang Korea. Tiga tahun lamanya, Amerika dibantu Korea Selatan bertempur menghadapi Korut. Bulan Juli 1953, Amerika menawarkan jalan damai. Dibuatlah garis batas di titik 38 derajat lintang yang memisahkan utara dan selatan Semanjung Korea.
Sampai kini, bagi Korut hanya ada satu Korea. Korsel yang kita kenal hari ini adalah tanah bangsa Korea yang dikuasai kaum penjajah.[t]
tapi akhirnya toh pak, tim NY philharmonic dateng juga ke korut.. hehe … mlh skrg di lepas axis-of-evil ny.. cba korut bsa united ama korsel..
Pak Teguh,
Cerita yang Anda ketengahkan cukup menarik. Saya sendiri, karena isu peluncuran roket yang menghangat akhir-akhir ini, tengah rajin mengikuti segala hal yang berbau Korea Utara. Ada beberapa sumber yang saya temukan di internet, sebagian berbau propaganda (baik gaya Amerika maupun Korut), sebagian analitis dan sebagian lagi cukup obyektif dengan mengambil porsi yang cukup balance tidak memihak kedua-duanya.
Saya sendiri akhirnya memutuskan mengambil posisi netral. Nasionalisme Korut memang hebat, mereka sangat bangga dengan bangsanya – sesuatu yang mulai hilang akhir2 ini dari sebagian bangsa kita. Tetapi ada juga yang saya sayangkan. Ketertutupan negara itu, akses informasi yang sangat terbatas dari dunia luar dan berita tentang kemiskinan mengesankan kalau Korut begitu ‘paranoid’. Sesuatu yang saya sayangkan masih ada jaman sekarang, ketika Cina dan Uni Soviet (dulu) sudah melepaskan diri dari belenggu keterbelakangan itu dan mulai melebur ke dalam modernisasi dunia internasional. Apalagi ‘pemujaan’ rakyat terhadap pemimpin mereka yang saya lihat sangat berlebihan.
Tetapi, bagi saya, lepas dari segala positif-negatifnya, Korut memang sangat menarik. Saya sendiri berniat menulis tentang negara itu untuk ditampilkan di halaman Facebook dengan tetap mencoba melihat dari sudut pandang orang ketiga tanpa tendensi ke pihak manapun.
Oh ya apakah Anda punya rencana mengunjungi Korut lagi? Kalau iya, sepulangnya nanti, alangkah baiknya jika Anda menuliskannya dalam bentuk episodik yang dinarasikan dengan mendetil. Saya membaca cerita dua orang turis Barat tentang kunjungan mereka ke Korut dan jalan ceritanya cukup panjang dengan paparan yang menarik. Alangkah bagusnya seandainya ditulis juga oleh orang Indonesia yang punya kesempatan langka seperti Anda…
Terima kasih.