MASIH ada waktu, katakanlah, dua bulan yang dapat digunakan Presiden Gus Dur dan pendukungnya untuk melunakkan serangan lawan-lawan politiknya yang semakin gemas ingin menjatuhkannya dari kursi RI-1.
Sebagai langkah awal, dengan alasan law inforcement. kubu Gus Dur menggertak lawannya. Beberapa skandal keuangan kelas tinggi yang sudah mereka kantongi akan dipakai untuk ini. Misalnya, pengemplangan hutang Medco kepada Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai Rp 200 miliar yang melibatkan ketua Fraksi PDIP yang juga pengusaha besar, Arifin Panigoro. Kemudian manipulasi production sharing antara PT Caltex dengan Pertamina yang di-roll over sembilan tahun lebih awal dari waktu seharusnya, 2001, senilai Rp 500 miliar dan melibatkan bekas Mentamben Ginandjar Kartasasmita dan bekas Dirut Pertamina Faisal Abdau. Skandal lainnya adalah intervensi PDIP kepada BPPN agar penjualan aset PT Dekormas Mulia Industri ditangguhkan.
Langkah di atas di-matching-kan dengan reshuffle kabinet pekan lalu. Ada dua pos penting yang diperkirakan Gus Dur sangat menentukan keberhasilan gertakannya, yakni posisi Menkopolsoskam dan Jaksa Agung. Eh, ada pos lain yang juga penting, yakni Kapolri. Tapi karena terhalang Tap MPR VII/2000, Gus Dur hanya menonaktifkan Suroyo Bimantoro. Dan ijtihad-ly mengangkat Chaeruddin Ismail sebagai Wakil Kapolri, yang kalaupun nggak membantu, paling tidak relatif lebih netral menurut Gus Dur.
Lalu, Kubu Gus Dur juga akan terus membujuk Wakil Presiden Megawati untuk mau diberi tugas konstitusional yang sejak dua minggu lalu sudah dipromosikan tetapi sampai sekarang belum dijawab juga.
Nah, langkah berikutnya yang seram. Perang tafsir konstitusi. DPR dan MPR menganggap bahwa tindakan politik yang mereka lakukan adalah kewajiban konstitusi seperti yang tercantum di dalam Tap MPR III/1978. Sementara kubu Gus Dur menganggap tidak ada aturan di dalam pasal 8 UUD 1945 yang menyebutkan seorang presiden dapat dijatuhkan dalam sebuah SI. Sementara UUD berada di atas segala produk perundangan yang ada.
Kalau lawan-lawannya tetap menggelar SI untuk menjatuhkannya, Gus Dur mengancam akan mengeluarkan dekrit pembekuan dan pembubaran DPR. Tantangan ini dijawab, kalau Gus Dur mengeluarkan dekrit, SI akan dipercepat. Nah, lho.
Ntah seserius apa gertakan SI ini. Tapi yang jelas sehari setelah talak SI dijatuhkan DPR, anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa Effendi Choirie memproklamirkan pihaknya mendesak Gus Dur mengeluarkan dekrit. Bahkan, tambahnya, militer siap berdiri di belakang Gus Dur.
Kemarin (4/6), ketika menerima beberapa wartawan yang mengunjunginya di perumahan anggota DPR, Effendi kembali menjelaskan hal itu. Berikut laporan Teguh Santosa.
Singa Senayan
Mengenakan kemeja kotak-kotak biru hijau kecil dan celana cokelat, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa yang sering tampil temperamental di ruang sidang Senayan, Effendi Choirie duduk di sofa biru ruang tamu kediamannya di Blok A-4 perumahan anggota DPR Kalibata. Kaki kanan disilangkan, menghimpit kaki kiri. Sambil melipat kedua tangannya, Effendi menyesenderkan badan. Santai, tidak emosional. Tidak beringasan.
Ruang tamu Effendi tidak bisa dikatakan luas, hanya sekitar dua kali dua meter bujur sangkar. Dua kaligrafi dipajang di dinding kiri, sementara sebuah lukisan bergaya Mesir dipajang di dinding kanan, agak ke atas.
Sebuah dinding setengah badan memisahkan ruang tamu itu dengan ruang keluarga yang lebih luas di bagian dalam rumah. Lima vas diletakkan di atas dinding setengah badan itu. Dua vas berisi bunga kayu, dan dua lagi berisi bunga kaca. Sementara vas yang di tengah berisi tumbuhan hias, asli, segar. Di atas meja kaca di tengah sofa masih ada satu vas lainya, isinya bunga kayu. Luas memang bukan syarat mutlak menciptakan ruangan yang asri. Buktinya, ruang tamu kediaman Effendi ini.
Kembali ke Effendi yang siang itu boros mengurai senyum. Bekas Ketua Persatuan Mahasisawa Islam Indonesia (PMII) Jakarta ini tengah menerima kunjungan beberapa wartawan. Sebuah kamera TV dipantek tepat di mulut pintu. Cahaya lampunya menyinari wajah Effendi yang dihiasi segaris kumis. Silau. Tapi, kadang-kadang mata Effendi berani juga menantang cahaya lampu kamera.
“Gus Dur punya kebenarannya sendiri. Mereka juga begitu. Tapi tidak bisa dong jumlah suara mereka yang mayoritas dijadikan alasan kebenaran. Alasan kebenaran haruslah konstitusi. Mereka memakai Tap MPR. Tetapi itu di bawah UUD. Jangan karena merasa mayoritas mereka memaksa Gus Dur. Itu namanya tirani mayoritas,” tangan kanannya tegak di udara.
Ooh, masih ngomongin konflik terbuka antara Presiden Gus Dur dan lawannya di parlemen rupanya. Effendi tersenyum kecut. Lalu bercerita soal pertemuannya dengan Gus Dur beberapa hari lalu. Waktu itu, aku Effendi, dia bertanya ke Gus Dur bagaimana cara memecahkan masalah ini.
Begini jawab Gus Dur, seperti dituturkan Effendi, “Ya, mau bagaimana lagi. Habis mereka begitu sih sikapnya. Kita disuruh mereformasi diri, tapi mereka membela koruptor. Sudah jelas masih dilindungi. Masyarakat tahu kok, mereka tidak benar. Ya udah, memang kita takut.”
Seorang wanita dari mulut gang kecil yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga. Di tangannya senampan minuman berwarna merah. Effendi mempersilakan tamu-tamunya minum. Beberapa segera mengikuti tawaran sang tuan rumah itu. Glek, glek.
Anda tahu mengapa Gus Dur ngotot, tanya Effendi yang sebelum masuk gedung Senayan jadi wartawan selama belasan tahun ini. Tamu-tamunya diam. Ngerti kalau yang barusan pertanyaan retoris.
Wanita yang tadi muncul lagi. Kali ini dengan sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asap. Sedap.
“Gus Dur ngotot karena ingin mengatakan dirinya punya alasan kuat, seperti yang dimiliki DPR,” singkat jawab Effendi.
Lalu beberapa tamunya mohon diri. Kamera TV pun diangkat. Menghormati tamunya, Effendi berdiri, mengantar sampai di teras rumahnya. Dan masuk kembali ke ruang tamu.
Kedua kakinya diangkat ke sofa. Yang kiri ditekuk, dan yang kanan dilipat di bawahnya. Lebih santai lagi.
Ketua Departemen Otonomi Daerah PKB ini mengatakan Gus Dur memang terbiasa menggunakan paradigma berpikir dan cara pandang yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Gus Dur tidak memilih pendekatan harmonis khas Jawa yang dibudayakan penguasa Orde Baru Presiden Soeharto. Melainkan ngotot dan konfrontatif. “Tapi percayalah, ini ilmu, dan ada dalam khazanah keagamaan. Politisi besar tidak hanya mengandalkan hitungan matematis, tetapi juga insting atau naluri,” katanya lagi.
Soal dekrit bagaimana? “Itu belum menjadi sikap resmi partai sebenarnya. Tetapi secara umum sudah menjadi sebuah alternatif pemecahan yang layak diperhitungkan. Belum final kok,” jawab Effendi lagi. Kakinya dilipat, bersila kini. Masih di atas sofa.
Politisi Darah Tinggi
Tidak ada catatan medis yang diperoleh Rakyat Merdeka tentang tinggi rendahnya tensi darah laki-laki kelahiran Gresik 17 Juni 1964. Tapi yang jelas, dalam dua kali rapat paripurna DPR yang disiarkan oleh stasiun TV, Effendi yang pernah kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah ini mempertontonkan kebringasan darah tingginya. Siapa yang tidak ingat, keberanian Effendi naik ke podium di depan ruang sidang Nusantara V. Lalu turun lagi. Untuk ukuran sopan santun ala timur, ini memang dahsyat.
Ketika ditanya apakah dirinya merasa enjoy dengan gaya temperamental yang dijadikannya trade mark, suami Noor Akmala Dewi dan ayah Noor Izza Safira ini mengaku tidak ada masalah. Soalnya apa yang saya katakanadalah benar, kata Effendi tidak berusaha membela diri.
Soal keanggotaan Kwik Kian Gie, Laksamana Sukardi dan Benny Pasaribu memang aneh. Sewaktu mereka ditarik ke eksekutif, Kwik jadi Menteri Kordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri; Laksamana jadi Menteri Penanaman Modal dan Pemberdayaan BUMN; sementara Benny jadi deputi Laksamana, keanggotaan mereka di DPR tidak dilepas.
Tapi kenapa baru dipermasalahkan sekarang? “Ya, perlu juga kan menumpuk kesalahan mereka,” jawab Effendi.(GUH)
Ke Perang Teluk
Pers sekarang sudah bergeser dari fitrahnya, kata alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kewartawanan yang pernah menjadi Ketua Departemen Humas PKB ini. “Ini kritik saya,” tegasnya.
Effendi cukup memahami kerja media. Maklumlah sebelum jadi anggota DPR, Effendi yang mengaku segera menyerahkan daftar isian harta kekayaan KPKPN begitu menerimanya ini, belasan tahun menjadi wartawan. Awalnya di Harian Jayakarta, lalu Harian Surya, dan terakhir menjadi redaktur pelaksana di Berita Yudha.
Nah, ngomong-ngomong soal dunia kewartawanan, ada satu yang tidak dapat dilupakan dan menjadi kebanggaannya seumur hidup. Apa itu? Waktu masih di Harian Surya, anak sesepuh NU di kampungnya ini berkesempatan meliput Perang Teluk di Timur Tengah. “Saya tujuh bulan di sana. Posko saya di Jordania,” katanya sambil tersenyum mengingat-ngingat kegemilangan masa lalu.(GUH)