






TELAH diputuskan, Sidang Istimewa 1 Agustus 2001 nanti akan beragenda tunggal, yakni pertanggungjawaban Gus Dur. Nah, agenda ini dipertanyakan Fraksi Kebangkitan Bangsa dalam rapat kordinasi pimpinan MPR Kamis lalu (31/5). Apa yang harus dipertanggungjawabkan Gus Dur, tanya Ketua FKB MPR Yusuf Muhammad.
Akhirnya, dengan sedikit argumentasi, rapat pimpinan MPR bersedia memenuhi permintaan kubu Gus Dur. MPR janji akan menanyakan kembali hal itu kepada DPR sebagai pengusul. Namun, MPR tetap memutuskan pertanggungjawaban Gus Dur sebagai agenda tunggal SI.
Kubu Gus Dur menganggap klarifikasi agenda SI sebagai hal yang sangat penting, karena akan menentukan valid tidaknya keputusan SI. Pertanggungjawaban yang dimintakan kepdanya dalam SI, bagi Gus Dur, haruslah mengenai Buloggate dan Bruneigate. Soalnya dua kasus itulah substansi yang dibicarakan dalam memorandum I, tulang punggung SI.
Kelihatannya Gus Dur masih tidak mau mengerti kalau konflik antara dirinya dengan lawan politiknya di DPR bukan soal pembuktian hukum dugaan keterlibatannya dalam kasus dana Yanatera Bulog dan dana bantuan Sultan Brunei. Sudah sangat jelas, kendati menyertakan unsur-unsur hukum yang kontroversial dan multiinterpretatif, konflik diantara mereka adalah konflik politik. Sederhana saja kok, Gus Dur sudah tidak dipercaya, sudah tidak didukung. Jadi mau apa lagi.
Itulah sebabnya, dalam memorandum II yang diberikan kemudian, DPR sama sekali tidak menyinggung Buloggate dan Bruneigate. Karena bagi mereka, yang penting adalah memorandum II. Hanya itu syarat formalisme untuk menggelar SI.
Dengan asumsi karier politik Gus Dur segera tamat oleh hantaman palu MPR di SI nanti, sebuah pertanyaan yang tidak kalah penting muncul ke permukaan. Mampukah Megawati?
Keraguan atas kemampuan Megawati telah berkembang sejak awal Ketua Umum DPP PDIP ini menghuni istana wakil presiden. Megawati lebih banyak diam, tidak proaktif, dan kurang inisiatif. Kebesaran nama Megawati lebih karena penderitaan politik yang dialaminya selama masa Orde Baru.
Padahal saat ini Indonesia sedang dililit berbagai masalah. Dibutuhkan seorang presiden yang jauh lebih adigung dan adiguna dari sekedar Megawati. Demikian kelompok yang meragukan kemampuan Megawati.
Pendukung Megawati sudah pasti ‘nek. Bagi mereka keraguan seperti itu sangat tidak relevan, mengingat Megawati adalah ketua umum partai pemenang pemilu.
Di luar itu, tentu memori kita masih ingat bagaimana dalam Sidang Umum 1999 lalu Megawati ditolak menjadi presiden. Penolakan itu dimotori oleh Poros Tengah. Alsannya banyak. Mulai intepretasi “reliji” yang mengatakan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin umat, sampai soal kemampuannya.
Ngomong-ngomong soal Poros Tengah, kemarin (1/6) tokoh karatan di Poros Tengah yang Ketua PAN AM Fatwa mengungkapkan pandangannya soal kemampuan Megawati dan gentleman agreement dukungan terhadap Megawati. Bagaimana gerak-gerik Wakil Ketua DPR Fraksi Reformasi ini. Berikut laporan Teguh Santosa.
Harap Maklum, Masih Ngantuk
Masih pagi. Baru pukul 06.30 WIB. Tapi Andi Mapettahang Fatwa sudah tiba di teras Hotel Kempinski. Jas abu-abu, kemeja kuning tua dan dasi biru yang menutupi tubuhnya tidak dapat menyembunyikan rasa kantuk yang masih tersisa di wajahnya. Kedua matanya masih lembab. Agaknya Fatwa baru bangun tidur. Rambutnya pun masih basah, baru mandi. Susah payah melawan kantuk, Fatwa melangkah masuk ke lobi hotel.
Melihat Fatwa, seorang laki-laki yang agaknya sedari tadi menunggu kehadirannya bergegas berdiri menyambutnya. Mendapat sambutan hangat begitu, kantuk Fatwa sedikit berkurang. Walau belum lenyap benar. Fatwa memberi laki-laki berbaju biru itu sebuah senyum lebar. Lalu menguap sekali. Sembari sedikit berbasa basi, laki-laki itu mempersilakan Fatwa mengikutinya berjalan menuju lift ke Ruang Lotus di lantai tiga. Keluasan ruang lobi itu dikitari Fatwa dengan pandangan matanya yang redup. Dua ajudan membuntutinya di belakang.
Basa basi berlanjut di dalam lift. Fatwa yang Wakil Ketua DPR ini menceritakan sedikit kesibukannya dua hari belakangan. Lobi sana, lobi sini. Kurang tidur, akunya. Jadi mohon maklum saja. Lalu menguap lagi.
Keluar dari lift, Fatwa masih berjalan mengekor di belakang penjemputnya tadi. Mereka menyusuri lorong sepanjang lift ke ruang diskusi. Satu dua kali Fatwa menggerakan kedua bahunya. Mungin dengan cara seperti ini Fatwa mengharap rasa kantuknya bisa benar-benar lenyap.
Pagi ini Fatwa yang Ketua Partai Amanat Nasional menjadi salah seorang pembicara dalam sebuah talk show yang digelar Radio Ramako. “Kalau boleh milih, kayaknya pagi begini enakan tidur, deh,” joke Fatwa, disambut senyum beberapa orang di sekitarnya.
Fatwa duduk di sebuah roundtable di pojok kiri ruangan. Seorang pramusaji menghampirinya. Nanya Fatwa mau teh manis panas atau kopi. Yang pertama, jawab Fatwa. Tidak lama, pesanannya datang. Fatwa menganggukkan kepala, tanda terima kasih. Lalu bibir gelas putih pendek itu ditiup-tiupnya. Setelah yakin agak dingin, Fatwa meneguk minumannya. Nikmat sekali kelihatannya. Baru dua kali teguk, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR Yusuf Muhammad alias Gus Yus muncul di mulut pintu. Seperti hendak mencairkan suasana, mereka berdua tertawa. Tidak kecil. Talk show bertema Kompetisi dan Manuver Politik Menjelang SI itu pun dimulai.
Tidak seperti Gus Yus yang tampil dengan aktraktif dan semangat, Fatwa terlihat lebih slow. Mungkin karena kantuk masih juga menempel. Tapi bukan berarti Fatwa tak memberi perlawanan atas serangan anggota Komisi II DPR ini. Semangat Fatwa tercurah sempurna ketika ngomongin ancaman Gus Dur mengeluarkan dekrit pembubaran DPR.
Satu setengah jam, show mereka usai. Diiringi tepuk tangan peserta, Fatwa dan Gus Yus berjabat tangan. Tawa mereka sekarang lebih keras lagi. Sebelum Gus Yus meninggalkan ruangan, mereka masih sempat bersenda gurau ringan. Senda gurau yang bagi beberapa peserta dinilai garing dan kering.
Fatwa kembali duduk di roundtable tempatnya semula. Beberapa wartawan duduk mengelilingi Fatwa. Biasa, menggali background berita. Seorang panitia memberi kode pada pramusaji agar menghidangkan kembali secangkir teh manis panas buat Fatwa. Supaya diskusi dadakan ini tetap hangat. Bukan hanya secangkir teh manis panas, pramusaji itupun membawakan Fatwa sepiring roti, dan buah. Segar.
Ketika ditanya apakah PAN memang tulus memberikan dukungannya kepada Megawati kali ini, Fatwa membesarkan bola mata dan mengeraskan air mukanya. Maksudnya, tentu saja, kenapa tidak. Sambil mengoleskan soft margarine ke belahan roti Fatwa mengatakan bagi partai matahari terik naiknya Megawati menjadi presiden bukan masalah happy atau tidak happy. Tapi soal ketaatan pada asas dan realitas politik. “Sudah tidak ada peluang bagi Gus Dur untuk bertahan,” ujar Fatwa mengunyah pelan sekerat roti.
Selama menjadi wakil presiden Ketua Umum DPP PDIP itu mengalami banyak peristiwa menyakitkan. Karenanya, ke depan nanti, Megawati tidak akan mengulangi kesalahan politik yang dilakukan Gus Dur. “Prediksi kami, Megawati tidak akan melakukan hal-hal buruk seperti Gus Dur,” Fatwa memegang kuping gelasnya.
“Megawati tidak banyak ngomong. Itu sudah bagus. Dia hanya akan ngomong apabila dipaksa oleh tugas,” tambahnya. Kali ini Fatwa mengalihkan perhatiannya pada potongan semangka di depannya. Dengan menggunakan garpu Fatwa membagi-bagi potongan semangka itu.
Bagaimana soal kedekatan Megawati pada militer? Tidakkah itu membahayakan iklim reformasi yang susah payah dibangun, sebuah pertanyaan kembali dilayangkan pada Fatwa.
“Lho, kan nggak ada salahnya apabila Megawati dekat dengan militer. Yang penting tidak ada kebijakan yang memberi kesempatan pada militer untuk kembali tampil di tubuh pemerintahan sipil,” jawabnya.
Sambil memainkan potongan kecil semangka yang tertancap di garpunya, Fatwa mengatakan Megawati harus mau membuat gentlemen agreement dengan partai politik lainnya, kalau Megawati mau mendapat dukungan. Intinya, Megawati harus mau mengakomodasi para pendukungnya.
“Tapi begini, ya. Karena Megawati sudah bersedia menjadi wakil presiden, tidak ada alasan baginya untuk menolak kursi presiden apabila Gus Dur jatuh. Itu merupakan keharusan baginya. Wajib,” kata Fatwa lagi.
Mendadak Fatwa tersentak, memperhatikan jam di tangan kanannya. Sebelum meninggalkan ruangan Fatwa kembali menegaskan komitmen partainya. “Tidak usah seratus hari, kalau dalam dua tiga hari saja Megawati melakukan hal-hal yang bertentangan dengan GBHN akan segera kita ingatkan.”
Fatwa melangkah menuju mulut pintu. Kedua ajudannya sudah lebih dahulu berdiri di sana. Dengan sedikit melambaikan tangan, Fatwa meninggalkan ruangan.
Islam Garis Keras
Awalnya, ingat AM Fatwa ingat Priok September 1984. Pria kelahiran Bone 12 Februari 1939 ini divonis 18 tahun penjara dengan dakwaan terlibat padapembuatan lembaran putih Peristiwa Tanjung Priok yang merugikan kredibilitas pemerintah Soeharto saat itu. Tapi itu bukan penjara pertama buatnya. Tahun 1978 Fatwa dikirim ke penjara selama sembilan bulan untuk pidato politiknya. Di masa Soekarno pun Fatwa pernah mendekam di hotel prodeo selama enam bulan karena mendalangi peristiwa IAIN 1968.
Fatwa identik dengan Islam garis keras. Bahkan ketika bergabung dengan Korps Marinir TNI AL pun Fatwa dipercaya sebagai imam militer.
Tapi konon, “fanatisme” Fatwa ini yang juga menyebabkan hengkangnya kader-kader potensial di tubuh PAN, semisal Faisal Basri yang lebih menginginkan PAN menjadi partai terbuka.(GUH)
Memvonis Gus Dur Sarap
Awalnya hubungan antara Gus Dur dan DPR berlangsung baik. Sangat baik. Maklum saja, bulan madu awal reformasi. Kue politik yang dinikmati masing-masing pihak masih terasa manis. Rapat kordinasi antara DPR dan presiden yang dijadwal rutin pun berjalan dengan mulus. Namun hanya dua kali. Setelahnya, putus hubungan.
Dalam rapat kordinasi bulan Desember 2000, di gedung DPR, adalah AM Fatwa yang dinilai Gus Dur menghina dirinya. Saat itu Fatwa dengan berani, seperti biasanya, menyarankan agar Gus Dur memeriksakan kesehatan jiwanya ke psikiater.
Gus Dur marah dan mendesak Fatwa untuk minta maaf. Tapi Fatwa ogah. Nggak ada urusan, katanya.(GUH)