
KONFLIK panas DPR dan Presiden Gus Dur tidak hanya mengumbar diktum politik, tetapi juga diktum hukum. Benturan ini dahsyat adanya. Peta pertarungan menjadi semakin blur, blunder dan acak.
Kick off diarahkan DPR tepat ke jantung pertahanan Gus Dur. Serangan taktis satu dua yang dilakukan squad Pansus Dana Yanatera Bulog dan Dana Sumbangan Sultan Brunei ini hampir saja membobol gawang Gus Dur. Memorandum I.
Gus Dur jatuh bangun untuk menghentikan laju bola. DPR memanipulasi rekomendasi Pansus BB, kata Gus Dur sambil menendang bola balik ke daerah pertahanan DPR.
Bagaimana mungkin rekomendasi Pansus BB yang berisi dugaan keterlibatan Gus Dur dalam pencairan dana Yanatera Bulog senilai Rp 35 miliar serta inkonsistensi keterangan soal aliran dana bantuan Sultan Brunei senilai Rp 14 miliar, berubah menjadi vonis sungguh-sungguh melanggar GBHN dan sumpah jabatan.
Antisipasi DPR atas serangan balik Gus Dur dengan menyerahkan berkas rekomendasi Pansus BB kepada Kejaksaan Agung dan Kapolri disambut para pendukung Gus Dur yang berdiri tidak sabaran di luar pagar dengan teriakan huuu. Lapangan semakin panas.
DPR tidak peduli. Bahkan jawaban Gus Dur atas memorandum I di depan rapat paripurna DPR dianggap sepi. Bagi DPR memorandum I adalah ketidakpercayaan atas gaya kepemimpinan Gus Dur. Dan toh, Tap MPR 3/1978, basis konstitusi yang mereka gunakan tidak meminta DPR membuktikan lebih dahulu pelanggaran haluan negara yang dilakukan presiden. Dalam Tap itu, lanjut mereka, hanya disebut apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar haluan negara.
Lebih dari itu, jawaban Gus Dur dilihat sebagai bentuk intervensi Gus Dur terhadap DPR. Singkatnya, memorandum II akan diberikan kepada Gus Dur.
Memorandum II diberikan dengan telak. Gus Dur kembali kelimpungan. Terbentur pada pertanyaan perlu dijawab atau tidak. Tadinya Gus Dur tidak bermaksud memberikan jawaban. Tetapi detik terakhir sebelum rapat paripurna DPR untuk menilai pelaksanaan memorandum II, Gus Dur mengirim Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tiga halaman jawaban atas memorandum II dan ratusan halaman lampiran yang berisi laporan kinerja presiden.
Pokoknya permainan menjadi semakin panas dan keras. Rentetan trik kasar mulai dipertontonkan kedua belah pihak. Penonton di luar lapanganpun mendesak masuk. Kisruh.
Ada satu hal yang selama ini luput dari pengamatan. Dimana hakim pertandingan, dimana MA. Sebagian penonton mulai melihat tidakkah fatwa atau pertimbangan hukum dari MA dibutuhkan untuk melerai konflik ini. DPR merasa tidak perlu. Kata mereka, justru Gus Dur telah merendahkan martabat MA dengan menggantung pemilihan ketua MA sebelumnya.
Gus Dur cuek dengan sepetan terakhir ini. Kembali Gus Dur mengirim Menkeh dan HAM Baharuddin Lopa sebagai duta menemui Ketua MA Bagir Manan. Sebuah surat yang dibawa Lopa konon berisi permintaan agar MA mengeluarkan fatwa atas konflik ini. Bagir Manan membentuk tim khusus beranggotakan delapan orang untuk membahas permintaan itu.
“Pertimbangan hukum ini tidak akan mengikat siapapun. Kalau nurut syukur,” kata Ketua MA Bagir Manan kemarin (30/5) di depan ruang kerjanya. Berikut laporan Teguh Santosa.
Tak Ada Istilah Fatwa
Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan tersenyum lebar melihat kerumunan wartawan yang sedari tadi menunggu bergerak sigap ke arahnya. Bagir memperlambat jalannya. Memberi kesempatan kepada para wartawan Menghadapi serangan yang tidak tiba-tiba itu, dua staf Bagir yang mengikutinya di belakang sedikit kelimpungan. Mereka berusaha mengamankan jalan Hakim Agung ini.
Masih tetap mempertahankan senyumnya, Bagir mulai menggeleng-gelengkan kepalanya yang yang hampir plontos. Di depan ruang kerjanya Bagir yang sore itu mengenakan kemeja putih, berhenti. Koridor sempit di lantai dua gedung MA penuh sesak. Tidak ada ruang tersisa untuk melintas. Di tengah kerumunan itu Bagir masih tersenyum.
Pura-pura tidak tahu, Bagir bertanya ada apa. “Bagaimana fatwa MA soal SI, Pak?” celetuk seorang penanya.
Bagir diam sesaat. Lalu tangannya di angkat ke atas, menempel di mulutnya. Jempol dan jari telunjuk kedua tangannya di jepitkan pada bibirnya. Ini artinya, Bagir tidak hanya menutup, tetapi juga mengunci mulutnya rapat-rapat. Matanya mengerjap-ngerjap. Lucu juga.
Rentetan gumaman terdengar dari mulutnya. Rupanya Bagir hendak mengatakan sesuatu. Tetapi suaranya tertahan keluar karena tangannya masih mengunci bibir.
Cukup lama Bagir mempertahankan posisi itu. Tetapi kemudian jepitannya jari-jarinya mulai dikendorkan. Mungkin Bagir mulai merasa kesulitan sendiri. “Pak Bagir sedang bisu,” singkat kalimat keluar dari mulutnya. Selesai, jari-jarinya menjepit kembali. Wajah Guru Besar Universitas Padjadjaran yang dihiasi kacamata berbingkai kuning kuning emas ini menjadi aneh. Keanehan yang memancing tawa geli. Hihihi…
Setelah wartawan susah payah merayu, barulah Bagir yang juga anggota Komisi Ombudsman Nasional ini melepaskan jepitan jarinya. Tangan kananya dimasukkan ke dalam kantong celana. Sementara tangan kirinya memegang pinggir celana abu-abu tuanya.
“Dalam UUD tidak ada istilah fatwa. Yang ada pertimbangan hukum,” sambungnya. Fatwa atau pertimbangan hukum berbeda dengan vonis. Yang terakhir memiliki kekuatan mengikat pihak yang terkena. Sementara pertimbangan hukum tidak mengikat siapapun, termasuk pihak yang dianjurkan. “Kalau mau nurut syukur, kalau tidak ya nggak apa-apa,” sambungnya.
Nah, menurut Bagir lembaga yang dipimpinnya masih membahas surat yang dilayangkan Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur melalui Menteri Kehakiman dan HAM Baharuddin Lopa sehari sebelumnya (29/5).
Konon dalam surat tersebut Gus Dur meminta MA mengeluarkan fatwa atau pertimbangan hukum untuk menengahi konflik interpretasi hukum antara presiden Gus Dur dan lawan-lawannya di DPR.
Hampir saja Bagir kembali menjepit bibirnya ketika ditanya bagaimana perkembangan pembahasan yang sedang dilakukan itu. Tapi urung setelah menyadari betapa sulitnya berbicara dengan bibir yang dipantek rapat seperti tadi.
“Karena surat yang disampaikan presiden itu adalah rahasia, maka jawaban saya juga rahasia. Tapi yang jelas kita akan membahasnya sesegera mungkin. Kalau bisa dalam satu minggu ini sudah akan disampaikan kepada presiden,” kalimat demi kalimat mulai lancar meluncur dari mulut Bagir.
Itu artinya, DPR juga bisa saja menolak, apabila pertimbangan hukum MA meminta agar SI tidak digelar. Penolakan itu bukan berarti pelecehan supremasi hukum. Soalnya, sekali lagi, yang dikeluarkan MA adalah pertimbangan hukum, bukan keputusan hukum.
Kalau kemudian rakyat mencabut mandat politik yang diberikan pada DPR bagaimana, seorang wartawan bertanya. Sambil menarik-narik pangkal dasi kotak-kotaknya Bagir mengatakan pencabutan mandat politik pun sebuah hal yang biasa saja. Yang jelas harus prosedural. Sesuai aturan.
Tanpa disadari, sesenti demi sesenti Bagir Manan sudah berada tepat di mulut pintu ruang kerjanya. Staf Bagir kembali sibuk mengamankan jalannya. Sebelum menghilang ke dalam ruangannya, Bagir balik kanan. Kedua tangannya diangkat, telapak tangannya digoyang ke kiri ke kanan.
“Pak Bagir sudah tidak jadi pakar hukum tata negara lagi. Carilah pakar hukum tata negara yang tidak Ketua MA,” tegas, katanya sambil tetap mempertahankan senyum.
Calon Alternatif
Sebelum terpilih sebagai Ketua MA laki-laki kelahiran Desa Kalibangan, Lampung Utara, 6 Oktober 1941adalah calon yang tidak diperhitungkan. Paling tidak namanya kurang populer dibandingkan calon Ketua MA lainnya, Muladi yang sama-sama Hakim Agung.
Bagir memang berbeda dari Muladi. Keunggulan yang dimiliki bekas Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman (1990-1995) adalah tidak kontroversial.
Kehidupan Bagir yang dinilai lurus-lurus saja ini membuat dia lebih bisa diterima oleh semua pihak. Termasuk oleh Gus Dur dan DPR.
Bagir sendiri ketika diminta komentarnya soal pencalonan dirinya mengaku ngeri. “Saya ngeri dengan penilaian aktivis LSM dan pemerhati hukum soal kemampuan saya menjadi Ketua MA,” katanya. “Kalau terpilih, itulah takdir,” lanjutnya.
Awalnya Bagir memang tidak berambisi mengejar jabatan Ketua MA. Bahkan sempat menolak. Tapi keinginannya yang kuat memperbaiki lembaga peradilan di tanah air memenangkan perdebatan internalnya.(GUH)
Menelanjangi Hakim
Apa program pertama alumni Southern Methodist University Law School, Dallas, Texas, AS ini? Mengumumkan kekayaan para hakim, mulai dari hakim agung sampai hakim di tingkat pengadilan negeri. Tidak hanya diumumkan sekali, kekayaan para hakim itu juga harus diaudit secara berkala. Tidak oleh auditur independen, tetapi juga oleh masyarakat umum.
Harap maklum. Siapapun tahu lembaga peradilan adalah lahan basah yang menjanjikan banyak fulus selama masa Orde Baru. Langkah ini, yakinnya, dapat menekan praktek mafia yang selama ini tumbuh subur.
Uniknya lagi, sebelum melaporkan kekayaannya kepada Komite Pemeriksa kekayaan Penyelanggara Negara (KPKPN), Bagir sudah lebih dahulu menyerahkan daftar kekayaan pada media massa. Apa saja? Beberapa bidang tanah di Jawa Barat, masing-masing 400 meter persegi Cibeunying, 690 meter persegi di Cipadung, dan 400 meter persegi di Komples Perumahan Unpad, Jatinangor. Lalu, tiga mobil, yakni sedan Toyota Corolla 1.600 cc tahun 1995, sedan Mitsubishi Lancer 1.500 cc tahun 1992, dan Jeep Toyota Land Cruiser Hardtop tahun 1980. Bagir pun ngaku punya tabungan dan deposito sebesar Rp 55 juta, dan di Bank HSBC cabang Bandung sebesar Rp 30 juta.(GUH)