
KESALAHAN terbesar sistem politik yang dikembangkan Orde Baru sejak awal berdiri adalah menciptakan lembaga kepresidenan menjadi begitu super-determinan. Lembaga kepresidenan dapat melakukan apa saja tanpa kontrol yang memadai dari lembaga legislatif. Ada kebenaran satir saat itu, DPR tidak lebih sebuah rubber stamp atau stempel karet terhadap apapun kebijakan presiden.
Presiden menjadi jabatan yang (tidak) boleh salah, adi luhung, dan tidak tersentuh, bahkan oleh hukum sekalipun. Karena hukum yang berlaku juga tidak merupakan produk yustisia dari lembaga yudikatif. Melainkan, sekali lagi, lahir dari proses intervensi lembaga kepresidenan ini.
Padahal, secara ideal ketiga lembaga negara dalam sistem politik demokrasi itu harus berdiri sejajar, tidak mengatasi satu sama lain. Bahasa asli teori demokrasi memperkenalkan prinsip separation of power atau pemisahan kekuasaan. Namun semangat komunalisme ala Indonesia membelokkan prinsip ini menjadi distribution of power atau pembagian kekuasaan.
Perpaduan komunalisme dan prinsip pembagian kekuasaan inilah yang menyebabkan lembaga kepresidenan dengan mudah membangun basis kekuasaan dari dan di dalam lembaga legislatif dan yudikatif.
Hari ini, sudah tidak ada lagi lembaga kepresidenan yang adi luhung, tidak terkontrol dan tidak tersentuh hukum itu. Lembaga kepresidenan yang dihuni oleh Presiden Gus Dur dan kuasi tandemnya, Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri, kembali kepada fitrah lembaga kepresidenan, yakni lembaga politik yang biasa-biasa saja.
Buktinya, hari ini (30/5) DPR kembali menggelar rapat paripurna. Agendanya pun sudah tidak aneh dan tidak istimewa lagi: memberi penilaian terhadap kinerja dan tindak tanduk Presiden Gus Dur setelah memorandum II diberikan awal Mei lalu.
Kalau nanti rapat paripurna DPR mengatakan bahwa Presiden Gus Dur tidak memuaskan dan tidak memenuhi standar kerja yang sudah ditetapkan sebelumnya, GBHN, dan sumpah jabatan, maka Sidang Istimewa akan digelar untuk mengadilinya secara politik. Hukuman terberat adalah berhenti sebelum tahun 2004.
Dan sudah hampir pasti pula, SI-lah yang akan diminta oleh DPR. Sudah hampir pasti pula, karir politik Presiden Gus Dur akan berakhir.
Kunci permainan ada di pihak PDIP, partai Wakil Presiden Megawati. Begitu Presiden Gus Dur berhenti, maka kekuasaan lembaga kepresidenan akan digenggam oleh Megawati. Menjelang momen berharga tersebut, tim delapan PDIP secara maraton mengadakan rapat dengan Megawati. “Sikap kami sudah bulat,” kata ketua tim delapan tanpa harus menjelaskan lagi apa maksud kata bulat itu.
Saking bulatnya, maklumat Presiden Gus Dur yang diberikan kepada Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak dianggap sama sekali. Tidak ada nilai politiknya. Cuma bluffing, gertakan.
Beberapa jam setelah maklumat keluar, tim delapan PDIP tetap melakukan rapat rutin mereka di kediaman baru Ketua Umum PDIP Megawati jalan Teuku Umar. Berikut adalah gerak gerik anggota tim delapan Didi Supriyanto yang pertama kali hadir di rumah bernomor 27-A itu. Teguh Santosa melaporkan.
Celingak Celinguk di Depan Rumah Mega
16.35 WIB. Sebuah sedan hitam berhenti di seberang kediaman rumah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di jalan Teuku Umar Menteng. Tak banyak wartawan yang sedari pagi nongkrongi rumah baru Wakil Presiden itu ngeh dengan kehadiran sedan hitam ini. Sesaat kemudian sedan hitam itu kembali meluncur ke arah Tugu Tani.
Jadi seperti tiba-tiba, dengan mengenakan jas biru, kemeja biru dan dasi biru, anggota tim delapan PDIP Didi Supriyanto berdiri tegak di pinggir jalan. Tangan kanannya diumpetin di kantong celana. Kepalanya celingak-celinguk memperhatikan arus kendaraan dari arah Taman Suropati. Sudah jelas, Didi hendak melintas jalan ke rumah bernomor 27-A di seberang sana.
Didi urung melanjutkan langkah kakinya, ketika dua mobil yang melaju dari arah Taman Suropati tak memberi kesempatan kepadanya untuk nyebrang. Didi mundur satu langkah. Tangan kanannya ditarik dari kantong, melihat jam. Masih ada waktu, mungkin demikian pikir Didi.
Didi siap-siap lagi untuk menyeberang jalan. Kepalanya kembali celingak-celinguk ke arah Taman Suropati. Sudah sepi sekarang. Didi melangkahkan kakinya lagi. Belum sampai jalur hijau di tengah, Didi kembali berhenti. Kali ini tidak karena mobil yang melaju tiba-tiba. Beberapa wartawan sambil berlari kecil memanggilnya. Tak mau kehilangan berita.
Didi balik kanan, kembali ke tempatnya semula. Sambil tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya yang rapi, Didi membuka kedua tangannya, menyambut uluran tangan wartawan. “Ada apa ini?” Eh, malah Didi yang bertanya pertama kali.
Kontan wartawan yang sudah mengelilinginya tertawa. “Ada agenda apa Mas?” sebuah pertanyaan meluncur.
Didi tidak segera menjawab. Kepalanya ditolehkan kembali ke arah Taman Suropati. Tidak satupun kenderaan meluncur dari sana. Didi melanjutkan niatnya, menyeberangi jalan Teuku Umar. Sambil melangkahkan kakinya, bekas anggota Pansus Bruneigate dan Buloggate ini merangkulkan tangan kanannya ke pundak seorang wartawan. Akrab.
Selagi menyeberang jalan, Didi mengatakan dirinya ke sana untuk mengikuti rapat rutin tim delapan PDIP. “Nanti, jam lima sore ini tim delapan akan rapat,” katanya begitu tiba persis di depan rumah sang ketua umum partai berlambang banteng bulat ini.
Didi juga mengatakan bahwa rapat tim delapan ini tidak digelar mendadak. Tetapi sudah direncanakan sebelumnya. Juga bukan untuk menyikapi maklumat Presiden Gus Dur kepada Menkopolsoskam Susilo Bambang Yudhoyono.
Beberapa personil Paspampres yang sedari tadi mengamati setiap langkah kaki Didi menyeberangi jalan, berdiri siap. Seorang personil Paspampres sambil menenteng handy talkie merapat ke pintu gerbang. Sedikit menjijitkan kakinya, dari arah luar ia menyuruh temannya di sisi dalam kediaman Megawati untuk membukakan pintu gerbang. Sreettt.
Anak mata Didi melihat pintu gerbang terbuka. Tapi Didi memilih untuk tidak segera masuk. Satu dua pertanyaan masih dilemparkan padanya. Bagaimana sebenarnya sikap PDIP terhadap maklumat Gus Dur pada SBY beberapa jam lalu, tanya seorang wartawan.
Didi membuka mulutnya, menjawab. Eh, baru satu kata keluar, mulutnya dikatupkan lagi. Sebuah sedan berhenti. Dari pintu depan sedan yang terbuka muncul anggota tim delapan PDIP lainnya, Dwi Ria Latifa. Mereka saling jabat tangan sebentar. Ria Latifa berdiri di sebelah Didi.
Pertanyaan yang belum dijawab itu kembali dilemparkan. Didi tersentak sedikit kaget. Sadar belum menjawab pertanyaan. Tersenyum, lalu bicara. “Ah itu biasa aja kok. Itukan pelimpahan tugas biasa dari seorang presiden kepada menterinya,” jawab anggota Komisi IX DPR ini.
Setelah menjawab pertanyaan itu Didi pamit, mohon diri meninggalkan wartawan. Bersama Ria Latifa, Didi melangkah memasuki pekarangan rumah RI-2. Paspampres menutup kembali pintu gerbang. Sebelum pintu gerbang benar-benar tertutup rapat, Didi menoleh ke belakang, ke arah kerumunan kecil wartawan yang masih menatapnya. Tersenyum. Melambaikan tangannya.
Murah Senyum
Sosok suami Sandra dan ayah dari lima anak ini gampang dikenali kok. Murah senyum. Tetapi tentu bukan sembarang senyum yang diurai laki-laki kelahiran Solo 28 November 1961 ini. Melainkan senyum persahabatan.
Selain murah senyum, Didi juga tidak banyak ngomong. Paling kalau ditanya baru mau menjawab. Kalau tidak diuber dan tidak ditanya, Didi biasanya akan jalan diam-diam, mencoba menghindar kerumunan wartawan. Kalaupun penggemar tennis ini tidak bisa menghindar dari wartawan, tidak ada pilihan lain, Didi jalan terus. Tidak tergesa, tidak mencolok perhatian, tetapi dengan tetap tersenyum.(GUH)
Pakar Hukum di Sarang Banteng
Sudah bukan rahasis lagi kalau PDIP yang berlambang banteng gemuk ini menyimpan banyak pakar hukum di dalam tubuhnya. Soalnya sederhana saja, PDIP sejak masih kecambah sudah dililit persoalan hukum. Kita tentu masih ingat dengan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menajdi ujung tombak perjuangan eksistensi PDIP dimasa awal berdirinya.
Pertarungan terbesar adalah antara PDI kubu Megawati, PDIP sekarang, dengan PDI Budi Hardjono yang dihasilkan kongres IV di Medan tahun 1993.
Nah, Didi yang alumni Fakultas Hukum Universitas Jayabaya ini adalah salah satu anggota TPDI. Dia berjuang di garis depan untuk memenangkan tuntutan hukum kubu Megawati atas lawan-lawan politiknya.
“Secara hukum, dengan dideklarasikannya nama dan logo baru PDI, terhitung sejak 14 Februari 1999 sudah tidak ada lagi partai yang bernama PDI dengan logo kepala banteng dalam segi lima (maksudnya lambang PDI lama-red). Karena itu, institusi atau perorangan siapa pun tidak berhak menggunakan nama PDI sebagai partai politik, termasuk Soerjadi dan Budi Hardjono,” kata Didi ketika mewakili kubu Megawati di hadapan MA saat itu. Kalau bandel kena bala, barangkali.
Didi benar. Budi Hardjono tetap ngotot ikut Pemilu 1999 dan menggunakan logo lama. Sekarang? Karam begitu saja.(GUH)
salam, bang
saya kru lama di rm, terus mengikuti perkembangan para senior
oh ya, mbak tari akhirya di pecat, setelah sebelumnya berkonflik dg pk didi, trmasuk saya, di pkn pdp.
foto2nya sangat bicara. saya agaknya pengen ke east-west center jg, setiap tahun ngundang pemuda untuk bicara di forum tsb.
salam