
KEMARIN (30/4) memorandum II telak dihujamkan DPR ke ulu hati Gus Dur. Sempoyongan. Nafasnya tersengal-sengal.
Akibatnya, kalkulasi politik semakin sederhana. Sidang Istimewa (SI) tinggal menunggu waktu. Semua orang maklum, SI identik dengan pergantian kepemimpinan nasional. Bahasa sederhananya, apa lagi kalau bukan: Gus Dur lengser.
Beberapa kalangan mungkin akan mengatakan vonis lengser yang diberikan pada Gus Dur sebelum SI digelar adalah sikap apriori yang berlebihan. Padahal, dalam politik, lanjut mereka, tidak ada yang absolut. Semuanya serba relatif, semuanya serba mungkin.
Tetapi, logika apa yang bisa digunakan untuk menjawab kegagalan Gus Dur dalam memimpin pemerintahan. Kabinet kedua Gus Dur ini sejak awal sempoyongan. Hampir tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan agenda reformasi.
Tim ekonomi Gus Dur tidak dipercaya donatur luar negeri, tali nyawa satu-satunya Indonesia hari ini. Penegakan supremasi hukum pun tersendat-sendat, bahkan sering terlihat tidak profesional.
Kalau sudah begini, langkah terbaik apa yang harus diambil Gus Dur? Menunggu nasibnya ditentukan oleh SI? Atau, sejak dini mengundurkan diri?
Kalau Gus Dur menunggu SI, itu artinya kita semua menyemai konflik. Akumulasi ketidaksenangan massa pro Gus Dur terhadap kejatuhan kyai mereka dari kursi RI-1, bagaimanapun konstitusionalnya, akan semakin menghebat. Pada saat SI digelar, bisa jadi konflik yang tadinya dapat diredam, akan benar-benar meledak.
Bagaimana apabila Gus Dur mengundurkan diri sebelum SI? Sebagai sebuah langkah politik, banyak kalangan melihat itu sebagai hal yang elegan, fatsoen dan simpatik. Social cost atau harga sosial berupa konflik horisontal di masyarakat dapat diredam. Tetapi apakah Gus Dur mau.
Apakah belum ada yang menyarankannya untuk mundur saja?
Kalau belum ada, siapa yang sebaiknya menyarankan? Perlukan Megawati turun tangan? Menjawab kemungkinan ini, banyak pengamat politik berkeyakinan Megawati tidak akan pernah mau menyarankan hal itu pada Gus Dur. Megawati, menurut mereka, khawatir Gus Dur akan salah paham. Gus Dur akan mengira Megawati pun menginginkan dia turun. Sementara di sisi lain, Megawati tidak mau hubungan baiknya dengan Gus Dur terganggu.
Jadi siapa? Haruskah klan Wahid? Kalau iya, siapa dari lima saudara Gus Dur yang layak memberikan saran itu?
Dalam sebuah obrolan santai yang difasilitasi Forum Kajian dan Diskusi Jakarta (FKDJ) pekan lalu Rakyat Merdeka menanyakan kemungkinan itu pada salah seorang adik Gus Dur, Salahudin Wahid alias Gus Solah. Berikut gerak-gerik Gus Solah sebelum menjawab, seperti dilaporkan Teguh Santosa.
Demokrasi yang Masih Muda
Satu jam telah berlalu dari pukul 13.00. Adik Gus Dur, Salahudin Wahid yang biasa disapa Gus Solah, belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, beberapa wartawan sedari tadi sudah berkumpul di tempat yang dijanjikan, exclusive room sebuah rumah makan di kawasan niaga Sudirman. Masih diperjalanan, kata orang kepercayaannya memberitahu.
Di luar sana matahari merambat perlahan. Menanjak menyentuh titik kulminasi, melaluinya beberapa derajat ke arah barat. Panas khas menyengat. Angin enggan bertiup sepoi. Kering.
Di dalam ruangan seluas 5 x 15 meter itu, kesejukkan artifisial air conditioning dan makanan siap santap di atas dua meja panjang menjadikan kegiatan menunggu tidak membosankan kali ini.
Setengah jam kemudian, Gus Solah muncul dari satu-satunya pintu yang ada di belakang ruangan. Mengenakan kemeja lengan panjang biru muda dan celana hitam, laki-laki berkacamata ini melangkah santai. Dasi biru terang menghiasi kemejanya. Tangan kirinya menenteng tas hitam kecil. Senyumnya mengembang, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, menyapa semua yang hadir.
Baru beberapa langkah menginjak bagian dalam ruangan, mendadak Gus Solah berhenti. Balik kanan. Ajudannya yang sedari tadi mengekori tergopoh menghampiri. Mereka bisik-bisik sebentar. Tas hitam kecilnya diberikan pada ajudan itu. Gus Solah berjalan ke luar, lagi. Gus Solah shalat dulu, kata ajudan itu pula.
Lima belas menit berlalu. Ketua PBNU ini muncul lagi. Kali ini lengan panjang kemeja biru mudanya digulung setinggi siku. Tangan kirinya disimpan di kantong celana. Arloji kuning emas yang melingkari lengan tangan kirinya terlihat mentereng. Dasinya sudah dilepas. Wajahnya basah, sisa air wudhu.
Tidak segera menuju meja depan, orang dekatnya, mengarahkan Gus Solah ke salah satu meja panjang cokelat. Makan siang dulu. Lahap. Sesekali Gus Solah berbisik kecil kepada orang di sebelahnya.
Tidak lebih dari setengah jam, makanan ala Sunda di hadapan bekas Ketua Umum Partai Kebangkitan Ummat (PKU) ini pun ludes. Tapi Gus Solah tidak segera pindah ke meja depan. Dia masih terlibat pembicaraan ringan dengan orang-orang disekitarnya. Sekalian menunggu makanan yang baru disantapnya turun semua ke lambung.
Sepuluh menit, kembali, berlalu. Gus Solah berdiri. Menghampiri meja di depannya. Menarik kursi di tengah. Berdecit. Lalu duduk di situ. Dua orang dekatnya mengikuti. Satu duduk di kanan, memegang map berwarna gelap. Satu lagi duduk di kiri, memegang microphone.
Obrolan pun dimulai. Gus Solah berbicara soal transisi dan prediksi demokrasi di Indonesia. Tangannya mengenggam microphone. Nada suaranya rendah. Kalimat meluncur satu persatu. Orang dekatnya yang duduk di sebelah kanan mencatat setiap kalimat yang diucapkannya.
“Tahun 1945 kita belum mengenal demokrasi. Demokrasi hadir di sini tahun 1998. Puncaknya pada pemilu 1999. Jadi masih sangat muda,” katanya pelan.
Berhenti sejenak. Gus Solah menarik nafas. Melanjutkan ceritanya lagi. Kali ini soal konflik elit yang membakar emosi massa. Amien Rais dan Akbar Tandjung bukan siapa-siapa. Peranan mereka dalam konflik elit tidak begitu signifikan. Pusat konflik terletak pada Gus Dur dan Megawati. Kalau masih mau bertahan, Gus Dur harus meyakinkan Megawati, ujarnya menganalisa.
Tetapi alih-alih begitu, Megawati malah sering dikecewakan. Gus Dur tidak bisa bekerja dalam satu tim. Padahal kalau jujur, nasib politik Gus Dur sepenuhnya tergantung Megawati.
“Anda punya saran untuk Gus Dur?” tanya Rakyat Merdeka. “Apa saya layak kasih saran ke Gus Dur? Beliau itu pelaku utama. Walaupun dia kakak saya, dia tetap lebih tahu soal dirinya,” Gus Solah menjawab pelan. Tak banyak tahu juga.
Jadi Sarjana, Lepas Sarung
Sama seperti Gus Dur kakaknya, anak ketiga Wahid Hasjim ini pun dilahirkan di Jombang, 11 September 1942. Gus Solah menyelesaikan pendidikan sarjana arsitekturnya di ITB Bandung. Sejak lulus dari ITB dan mendirikan beberapa perusahaan konstruksi, Gus Solah seolah keluar dari tradisi sarungan.
Bahkan, suami dari Farida Syaefuddin Zuhri (57) dan ayah dari Irvan (32), Iqbal (30), dan Arina (23) ini sebenarnya lebih senang tidak dipanggil Gus.
Kalau tidak Gus, dipanggil apa dong? Penggemar olah raga jalan kaki ini pernah mengatakan dirinya lebih memilih sapaan awam, Mas. GUH
Oposan Gus Dur
Sejak kecil, Gus Solah dan Gus Dur hidup terpisah dan memiliki perbedaan latar belakang pendidikan. Gus Dur dibesarkan dalam tradisi pesantren dan biasa membaca kitab kuning. Sementara Gus Solah sejak kecil berpendidikan formal dan sekularistik.
Perbedaan diantara mereka berdua terbawa melintasi ruang dan waktu. Di saat mereka sudah sama-sama menjadi orang, tak jarang perbedaan itu mencuat kepemukaan. Gus Solah jadi semacam oposan bagi Gus Dur.
Suatu kali di awal kekuasaannya, Gus Solah mengatakan pemerintahan Gus Dur harus didampingi oleh kelompok oposisi yang kuat. Tanpa oposisi, lanjut Gus Solah, Kang Mas-nya ini tidak akan ada bedanya dengan Soekarno dan Soeharto, terjebak pada pengkultusan. GUH