











Namanya Nasir al-Din Muhammad. Lebih dikenal dengan sebutan Humayun, gelar yang didapatnya setelah dilantik menjadi penguasa Mughal di tahun 1530.
Lahir di Kabul, Afghanistan kini, 6 Maret 1508, Humayun adalah sultan kedua Emporium Mughal yang didirikan Sultan Babur, ayahnya.
Humayun berkuasa dua kali. Pertama dari 1530 sampai 1540, dan kedua dari 1555 sampai kematiannya di tahun 1556.
Di masa keemasan, kekuasaan Humayun terbentang seluas 1 juta kilometer persegi, meliputi wilayah-wilayah yang kini dikenal sebagai Afghanistan timur, Pakistan, India utara, dan Bangladesh.
Istana indah di belakang saya adalah makamnya.
Saya berkunjung ke tempat ini pekan lalu.
Lokasinya tidak jauh dari tepi Sungai Yamuna dan Purana Qila atau Benteng Tua yang didirikan Humayun di tahun 1553.
Jauh sebelum era Islam di Asia Kecil, tempat ini dipercaya sebagai Indraprastha. Ini kota penting dalam epik Mahabharata. Pusat kekuasaan Pandawa, anak-anak Pandu.
Humayun meninggal dunia di Delhi, India kini, pada 27 Januari 1556 di usia yang masih muda, 48 tahun.
Dua tahun setelah kematiannya, di tahun 1558 Permaisuri Bega Begum mulai mempersiapkan pembangunan makam megah untuk suaminya.
Bega Begum adalah wanita ningrat kelahiran Khurasan, Persia, Iran kini. Humayun dan Bega Begum menikah di tahun 1527, dan dikaruniai seorang anak yang lahir setahun kemudian, Al-aman Mirza.
Tapi, Al-aman Mirza tak berumur panjang. Ia meninggal dunia di usia 8 tahun. Kekuasaan Humayun dilanjutkan anaknya yang lain, Abu’l-Fath Jalal-ud-din Muhammad Akbar, dari pernikahan dengan Hamida Banu Begum.
Makam Humayun didisain arsitek Persia, Mirak Mirza Ghiyath dan Sayyed Muhammad.
Kelak, makam megah Humayun ini menginspirasi Sultan Shah Jahan yang berkuasa satu abad kemudian, dari 1628 sampai 1658, ketika membangun Taj Mahal, makam untuk istrinya, Mumtaz Mahal, di Agra.
Ruang utama makam Humayun terlihat sangat mirip dengan ruang utama istana Al Hambra di Granada, Andalusia, yang saya kunjungi bulan lalu.
Makam Humayun persis berada di tengah. Tanpa pagar. Siapapun bisa menyentuhnya. Hanya batu putih seperti kotak.
Saya tanya seorang petugas, apakah tulang belulang Humayun masih ada di makam itu.
Dia mengangguk. Ini hanya mock-up, katanya. Makam asli dan tulang belulang Humayun kemungkinan masih tertanam belasan meter di bawah.
Lalu ceritanya jadi panjang. Tentang kebangkitan Islam di Asia Kecil yang dibawa oleh Mamluk, lalu era Mughal, dan pemerintahan Inggris sebelum kemerdekaan India modern.
Mendengar ceritanya, saya bertanya lagi, apakah ia seorang Muslim.
“Agama saya Hindu. Cerita ini kami pelajari di sekolah. Bagaimanapun Islam dan kerajaan Islam memberikan pengaruh yang tidak kecil bagi negeri kami,” jawabnya menerangkan.
Humayun tidak sendirian di makam ini. Beberapa kerabatnya, termasuk Bega Begum dan Hamida Banu Begum, juga menemaninya. Diperkirakan ada 100 makam yang tersebar di ruangan-ruangan lain dan di taman yang indah.
Di tahun 1993 UNESCO menetapkan kompleks pemakaman Humayun ini sebagai Situs Warisan Dunia.