Prof. Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara” menuliskan banyak hal yang berkaitan dengan perpindahan kekuasaan di Pulau Jawa pada paruh kedua abad ke-15, dari Majapahit ke Demak.
Salah satunya adalah episode ketika Raden Fatah yang tadinya seorang adipati di Demak menyerang pusat kekuasaan Majapahit di Mojokerto dan menangkap Raja Brawijaya V serta menggelandang ayah kandungnya itu ke Demak.
Kisah-kisah yang ditulis Slamet Muljana itu berasal dari naskah-naskah yang diambil paksa Belanda dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang pada 1928, dalam upaya menggulung kekuatan komunis setelah pemberontakan 1926. Naskah-naskah itu dibawa ke Belanda dan dituliskan dalam sebuah laporan yang disebutkan berkategori rahasia.
Adalah Mangaraja Onggang Parlindungan orang non-Belanda pertama yang mendapat akses untuk mempelajari naskah-naskah tersebut. Ia menyalin bagian pembuka hasil penelitian Residen Poortman yang memimpin pengambilalihan secara paksa naskah-naskah Klenteng Sam Po Kong, dan membeberkannya dalam buku “Tuanku Rao”.
Dalam kunjungan ke Demak, hari Senin lalu, saya mendengarkan kisah yang berbeda dari Pak Suwigyo, Takmir Masjid Agung Demak.
Mantan prajurit TNI AD yang sudah 20 tahun menjadi jurukunci itu membawa saya berkeliling museum dan komplek pemakaman Raden Fatah dan keturunan-keturunannya, Raden Patiunus dan Raden Trenggono.
Di lokasi itu juga terdapat makam Raja Brawijaya V yang setelah memeluk agama Islam bernama Prabu Darmo Kusumo. Ini nama yang tertulis di nisannya.
Apakah Raden Fatah memang pernah melakukan makar terhadap ayahnya? Ini satu misteri. Pak Suwigyo menyampaikan perspektifnya dalam klip singkat ini.
Teguh Santosa 