





Saya sedih.
Tanggal 19 Maret lalu, seorang sahabat, Prof. Effendi Gazali mengajak saya bertemu. Dia hendak mengkonsultasikan atau setidaknya membicarakan satu persoalan yang sedang dihadapinya. Dan menurutnya, saya dapat memberikan saran.
Kami sudah lama berkenalan. Saat saya sedang studi di Hawaii, Chief EG juga pernah ke Honolulu.
Saya ajak ia bertemu Prof. Emeritus Alice Dewey, pembimbing tesis dan disertasi Ann Dunham-Soetoro, ibunda Presiden Obama. Kepada Chief EG, Prof. Dewey memperlihatkan tiga bundle disertasi yang ditulis ibunda Obama tentang pandai besi di Jogjakarta.
(Sebagian) dari disertasi itu telah diterbitkan Mizan sebagai buku dengan judul “Pendekar-pendekar Besi Nusantara”. Adalah saya diminta Prof. Dewey dan Maya Soetoro — adik Presiden Obama — untuk membantu penerbitan buku sebelum pemilihan presiden 2008. Saya dan Prof. Dewey juga diminta untuk menuliskan kata pengantar di buku itu.
Kak Yati Pastensen, seorang pustawakan di University of Hawaii at Manoa (UHM), dan Mas Ahmad Ubaedillah yang kini bertugas sebagai Atase Pendidikan di Riyadh, ikut mengantarkan kami ke ruang kerja Prof. Dewey.
Chief EG dan dua teman lain, Bang Johan O Silalahi dan Mas Wawan H. Purwanto yang sekarang menjadi salah seorang petinggi BIN, terbang dari mainland setelah menyaksikan pemilihan presiden AS tahun itu.
Terakhir kami bertemu Chief EG di bulan Agustus 2018 — sudah lama juga ya — di depan Mahkamah Konstitusi. Bersama, antara lain, Dahnil Anzar dan Rocky Gerung, kami berorasi meminta MK memenuhi permintaan agar presidential threshold sebesar 20 persen dihapuskan dan dijadikan nol.
Harapannya, PT nol persen memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh terbaik bangsa untuk ikut dalam kontestasi pilpres. Di sisi lain, ini juga dirasa dapat mencegah pembelahan anak bangsa akibat pilpres. Selain itu, PT 20 persen di saat presiden dilakukan serentak dengan pemilihan anggota Parlemen dirasa tidak logis.
Dalam pertemuan di bulan Maret kemarin, kami tidak melulu membicarakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Saya juga melaporkan kepada Chief EG bahwa saya sedang menyelesaikan program doktoral. Dia mengatakan, dirinya bersedia menguji saya nanti. Dia sangat tertarik dengan tema disertasi saya: reunifikasi Korea.
Benar, bahwa ini tema klasik. Tapi dia percaya, pengalaman saya keluar masuk dan berinteraksi dengan kedua Korea akan memberikan perspektif baru.
Saya juga berikan cetakan kedua #DiTepiAmuDarya kepadanya, yang katanya akan diserahkan kepada perpustakaan Universitas Indonesia. Setelah mendengar sedikit penjelasan mengenai #DiTepiAmuDarya, Chief EG mengatakan, buku itu adalah perpaduan kerja jurnalistik dan kerja akademik.
Saya jarang menulis buku. Saya tak berani menilai apakah itu pujian.
Kemarin, saya mendapatkan kiriman link talkshow Chief EG dan Refly Harun. Di dalam wawancara itu, Chief EG menyampaikan satu hal yang mengejutkan saya, bahwa dia menanggalkan gelar profesor yang disandangnya, dan meninggalkan dua institusi pendidikan tinggi tempat dia selama ini mengabdi, UI dan Universitas Prof. Moestopo (Beragama).
Chief EG merasa, sebagai murid ahli komunikasi Danis McQuail dirinya gagal mengajarkan jurnalisme di Indonesia.
Lewat tulisan singkat ini, saya sungguh berharap Prof. Effendi Gazali sahabat saya bersedia meralat keputusan itu.
Saya tak berani menasehati Chief EG tentang lika-liku kehidupan. Tapi kata orang-orang bijak, what does not kill you makes you stronger.
Dalam pelantikan JMSI Aceh yang dipimpin duet Hendro Saky dan Akhiruddin Mahjuddin di Banda Aceh hari Sabtu pekan lalu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri yang hadir dalam sambutannya juga mengatakan hal senada: problem never kill us, it always brings us to be stronger.
Chief EG, jangan mundur!